Khuruj (keluar) terhadap penguasa Islam menjadi topik
menarik dalam wacana Siyasah Syar'iyyah (Politik Islam). Ia merupakan
bentuk protes dan perlawanan terhadap
penguasa. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak bai’at (janji setia)
terhadap Imam, melepas bai'at yang telah
diikrarkan, hingga melalui pemberontakan. Meski demikian para Ulama' lebih
sering menyebut istilah Khuruj sebagai sebuah pemberontakan.[1]
Latar
belakang dan motifasinya juga beragam, karenanya, Abdullah bin Umar Sulaiman Ad
Dumaijy termasuk yang tidak setuju menghukumi kelompok penentang (al
khoorijun) secara mutlak dengan hukum tertentu (khos), tanpa terlebih
dahulu dilihat apa latar belakang dan motifasi sebuah pemberontakan dilakukan.
Hingga menurutnya perlu dikembalikan pada lima dasar hukum dalam Islam, yakni
haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. [2]
Karenanya, untuk mencapai kesimpulan lima dasar hukum diatas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Untuk itu diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, Al-Khoorijun (kelompok yang khuruj), Al Makhruj Alaih (Penguasa), dan Wasilatul Khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendifinisikan tiga unsur diatas tentu sangat urgen untuk beroleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Karenanya, untuk mencapai kesimpulan lima dasar hukum diatas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Untuk itu diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, Al-Khoorijun (kelompok yang khuruj), Al Makhruj Alaih (Penguasa), dan Wasilatul Khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendifinisikan tiga unsur diatas tentu sangat urgen untuk beroleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Unsur
penguasa misalnya, ia tidak akan lepas dari tiga kategori: Imam adil, Imam
Ja’ir/dhalim (maksiyat) dan Imam Murtad (kufron bawwahan). Penegasan status
kategori diatas menjadi penting karena akan mempengaruhi status hukum Al
Khoorijun (kelompok penentang). Khuruj terhadap Imam Adil misalnya, tentu tidak
bisa disamakan dengan Khuruj terhadap Imam Murtad (kufron bawwahan).
Kelompok Penentang dan Sikap Terhadap Mereka
Dua
amal yang secara lahiriyah tampak identik atau bahkan sama persis tidak
menjamin kesamaan niat, motifasi, dasar pijakan dan juga muara akhir. Dalam
konteks perlawanan terhadap penguasa misalnya, tidak bisa disamakan antara
perlawanan Hussein bin Ali RA terhadap Yazid dengan perlawanan Khowarij
terhadap Ali bin Abi Thalib. Sunnguh tidak logis menyamakan Ahmad dengan
kambing hanya karena sama-sama berjenggot.
Ulama’
mengklasifikasikan kelompok penentang penguasa Islam sekurang-kurangnya menjadi
empat kategori: Khowarij, Al Muharobun, Bughot dan Ahlul Adl.
Pertama,
Khowarij. Sebagaimana ma’lum, merupakan sekelompok orang yang
melakukan pemberontakan terhadap Imam Adil Ali bin Abi Talib. Pemberontakan
dipicu oleh penolakan mereka terhadap Tahkim antara kubu Ali bin Abi Thalib dan
kubu Mua’wiyah. Mereka digambarkan sebagai kelompok yang bersahaja namun tidak
berilmu. Akibatnya, mereka terlalu gegabah dalam menuduh selain kelompoknya
sebagai kafir. Hal ini berangkat dari logika sederhana mereka bahwa orang
muslim tidak mungkin ma’siyat, barang siapa ma’siat berarti bukan muslim.
Konyolnya, ma’siyat itu sendiri diukur atas persepsi (ro’yu) mereka, hingga apa
yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dan sahabat lain dipandang sebagai ma’siyat
karenanya telah keluar dari Islam.
Berikutnya, kelompok ini
berkembang menjadi kelompok idiologi yang memiliki prinsip-prinsip (mabadi’)
Aqidah menyimpang, yang paling menonjol adalah sikap pengkafiran terhadap
pelaku ma’siyat dan pandangan wajib memberontak kepada Imam Ja’ir. Terhadap
kelompok semacam ini Rasulullah bersabda: “Seorang diantara kamu akan mengaggap
remeh (amat sedikit) shalatnya ketika membandingkan dengan shalat mereka, akan
menganggap remeh (amat sedikit) shaumnya ketika membandingkan dengan shaum
mereka dan akan mengganggap remeh bacaan al-Qur’annya ketika membandingkan
dengan bacaan al-Qur’an mereka. Mereka membaca al-Qur’an tidak sampai melampaui
tenggorokannya. Dan mereka melesat lepas dari Islam sebagaimana melesatnya
batang anak panah dari busurnya. Dimana kamu jumpai mereka, maka bunuhlah
mereka. Sesungguhnya pembunuhan terhadap mereka akan mendapat pahala dihari
Kiamat bagi yang membunuhnya” (Bukhori Muslim). Para sahabatpun mensikapi secara tegas mereka
turut memerangi bersama Ali bin Abi Thalib.
Kedua, Al
Muhaaribun. Sekelompok pembuat onar yang sering menggangu stabilitas
keamanan, meresahkan penduduk dengan melakukan aksi terror, perampokan
pencurian dan sejenisnya. Kewajiban Imam adalah menegakkan hukum (hadd) seperti
tertera dalam QS. Al Maidah: 33. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan diakhirat mereka
beroleh siksaan yang besar”. Menjelelaskan ayat diatas, Imam Syafi’i
meriwayatkan dari Ibnu Abbas: "Jika mereka -al-muharibun- membunuh
sekaligus merampas harta, maka hukuman mereka dibunuh dan disalib, jika mereka
membunuh tanpa merampas harta maka hukumannya dibunuh tanpa disalib, jika mereka
merampas harta tanpa membunuh maka dipotong tangan dan kaki mereka secara
bertimbal balik, dan jika mereka menakut-nakuti dijalanan (terror) tanpa
merampas harta maka hukumannya diusir dari negeri...".[3]
Ketiga,
Bughot. Sekelompok yang melawan Imam Adil. Motifasinya bisa karena
menuntut hak, ambisi jabatan, ambisi dunia, kepentingan kelompok, kesalah
pahaman atas sebuah persoalan dan lain-lain. [4]
Kelompok
semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan diperlukan pola
pendekatan persuasif (islah) dengan mencoba melacak lebih jauh apa motifasi
perlawanannya. Jika ada kesalah pahaman (syubuhaat) maka perlu diberi
penjelasan, jika ada hak yang terampas maka perlu dikembalikan. Jika pola Islah
tidak membuhkan hasil, baru dilakukan cara represif. [5] Seperti firman Allah dalam QS. Al
Hujurot: 5. “Dan jika dua golongan orang beriman saling berperang, maka
islahlah antara keduanya, Jika salah satu dari keduanya melampaui batas
(bughot), maka perangilah kelompok yang melampaui batas sampai kembali kepada
urusan Allah”
Keempat, Ahlul
Haq (Pembela Kebenaran). Sekelompok penegak keadilan yang melawan Imam Ja’ir. Seperti
yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar: “Sekelompok yang khuruj terhadap penguasa
dalam keadaan marah atas dasar dien, karena melihat penguasa yang ja’ir
(dhalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi. Mereka adalah Ahlul Haq,
termasuk didalamnya, Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dalam perang Harrah, dan
mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf”. [6]
Seperti
disebut dalam sejarah, Hussein bin Ali, Ibnu Zubair dan Penduduk Madinah, pernah menentang penguasa pada masanya.
Pertikaian, disamping karena prosedur pengangkatannya yang dipersoalkan, juga
menyangkut ‘Adalah/keadilan [7]
Penguasa yang dinilai banyak menyimpang. Yazid bin Mua’wiyah dikenal
suka meminum khomer dan melakukan ma’siyat yang mengiringinya serta
meninggalkan shalat.
Al
Waqidy meriwayatkan dari jalan Adullah bin Handholah Al Ghasiil: “Demi Allah,
kami tidak khuruj terhadap Yazid kecuali karena kami takut dihujani batu dari
langit. Karena sesungguhnya ia orang yang menggauli ummahatul aulad -budak-budak
yang telah melahirkan dan tidak syah digauli-, gadis-gadis, akhwat, suka
meminum khomer, dan meninggalkan shalat. [8]
Cacat ‘Adalah
itulah yang menjadikan Hussein bin Ali Abdullah bin Zubair enggan
berba’iat. Hussein yang semula menolak
ajakan khuruj penduduk Kufah pada masa Mua’wiyah, menjadi berpikir lain ketika
Yazid tampil. Didukung penyataan tertulis penduduk Irak yang menyatakan akan
mendukungnya, Ia akhirnya pergi ke Kufah beserta kerabat dan beberapa
pendukungnya dari Hijaz. Beberapa sahabat senior seperti; Ibnu Abbas, Ibnu Umar
dan lain-lain berusaha mencegah kepergiannya karena khawatir mereka akan
dibunuh, juga, para Sahabat sangsi atas kesetiaan penduduk Irak. Namun nasehat
tersebut tidak dihiraukan, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan menjadi
kenyataan. Hussein beserta keluarga dan pendukungnya di bantai di Karbala. [9]
Tahun
63 Hijriyah, Giliran Penduduk Madinah melepaskan ba’iat terhadap Yazid, atau
yang lebih dikenal dengan tragedi Harrah. Imam Suyuthi berkata: “Sebab
penduduk Madinah melepaskan bai’ah adalah karena Yazid berlebih-lebihan dalam
ma’siyat”. [10]
Ibnu Katsir menjelaskan, tragedi Harrah bermula saat utusan penduduk
Madinah menghadap Yazid bin Mua’awiyah di Demaskus dibawah pimpinan Abdullah
bin Handhalah bin Abi Amir. Mereka disambut dengan baik. Sepulang dari
Demaskus, para utusan bercerita kepada penduduk Madinah perihal perilaku
menyimpang Yazid, seperti meminum khomer yang berdampak munculkan
kemungkaran-kemungkaran lain, termasuk kesalahan yang dinilai paling besar
adalah meninggalkan shalat karena mabuk. Penduduk Madinah kemudian bersepakat
melepaskan ketha’atan. Hal ini mereka lakukan di mimbar Nabi. Mendengar hal ini, Yazid mengutus pasukan dibawah
pimpinan Muslim bin Uqbah -para Salaf mempelesetkan menjadi Musrif (melampaui
batas) bin Uqbah- . Sesampainya di Madinah, mereka menghalalkan Madinah selama
tiga hari, ribuan penduduk dibunuh. Dari kalangan Ahli Qur’an saja, menurut
Imam Malik, tidak kurang dari 700 orang.[11]
Pasukan
mengarah ke Makkah untuk mengepung kelompok Ibnu Zubair yang tengah berlindung
di Ka’bah. Ditengah perjalanan, komandan pasukan mati, kemudian digantikan oleh
yang lain. Mereka mengepung dan memerangi kelompok Ibnu Zubair dengan
menggunakan manjaniq –pelontar batu- hingga merusak Ka’bah. Ini terjadi bulan
shofar tahun 64 Hijriyah. Pada tahun itu juga Yazid meninggal dunia, Penduduk
Syam mengangkat Mua’wiyah bin Yazid atas wasitat Amir sebelumnya, dan
kepemimpinannya hanya berlangsung 20 hari, -dalam riwayat lain 40 hari- karena
keburu meninggal dunia. Sementara
Abdullah bin Zubair menyeru penduduk untuk memba’iat (mengangkat) dirinya
menjadi Imam, Ia resmi menjadi Amirul Mukminin dan diakui oleh penduduk Hijaz,
Iraq dan Hurosan. Semenjak itu terjadi dualisme kepemimpinan.
Sepeninggal
Mu’awiyah bin Yazid, Penduduk Syam mengangkat Marwan bin Hakam. Dalam kasus ini
Adz Dzahaby menyatakan –dan pernyataan ini dibenarkan As Suyuthi- bahwa Marwan
bin Hakam tidak syah sebagai Amirul Mukminin karena menurut riwayat yang benar,
tidak ada pengangkatan dirinya oleh Amir sebelumnya. Karenanya Ia berstatus
Bughot terhadap Amir yang syah, Ibnu Zubair. [12]
Ibnu Zubair terus mengendalikan pemerintahannya dari Makkah hingga akhirnya ia
berhasil digulingkan oleh Abdul Malik
bin Marwan yang mengutus Hajjaj beserta pasukannya mengepung Makkah selama
berbulan-bulan. Seperti pasukan sebelumnya, Hajjaj juga menggunakan pelontar
batu hingga berhasil membunuh Ibnu Zubair beserta pendukungnya pada Jumadil Ula
tahun 73 Hijriyah. Sejak itu ahli sejarah semacam Suyuthi, baru menyatakan syah
atas kepemimpinan Abdul Malik bin marwan. [13]
Meski singkat, penggalan sejarah
diatas cukup memberikan gambaran tentang motifasi penentangan yang dilakukan
Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dan Ibnu Zubair terhadap penguasa masa itu.
Tak lain, adalah semangat pembelaan terhadap dien. Karenanya, para Ulama’
memasukkan mereka pada kategori Ahlul Haq, bukan Khowarij, bukan bughot dan
bukan yang lainnya.
Terhadap
kelompok semacam ini Al Hafidz berpendapat: “Adapun barang siapa yang keluar
dari keta’atan terhadap Imam Ja’ir untuk membela hak harta, jiwa dan
keluarganya maka ia ma’dhur (mendapat udhur) dan tidak halal memeranginya, dan
baginya hendaklah membela jiwa, harta dan keluarganya sesuai kemampuannya”.
Pendapat tersebut sesuai dengan perkataan Ali bin Thalib Ra yang diriwayatkan
Thobari, “Jika mereka menyelisihi Imam Adil, maka perangilah mereka, namun
jika mereka memerangi Imam Ja’ir, maka jangan perangi mereka karena bagi mereka
maqol (tempat)”. [14]
Demikianlah, empat tipe kelompok
penentang. Status masing-masing kelompok berikut cara menghadapinya
berbeda-beda, tidak bisa digeneral, baik sebutan maupun cara mensikapi mereka.
Karenanya Ibnu Taimiyah mengkritik beberapa Foqoha’ yang mencantumkan sikap Abu
Bakar memerangi mumtani’uz zakat, sikap
Ali memerangi Khowarij, dan sikap Ali
memerangi pasukan Jamal kedalam sabuah bab yang satu, “Memerangi Ahlul Baghyi”.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah mentarjih, “Adapun Jumhur ahlul ilmi maka mereka
membedakan antara Kelompok Khowarij, Pasukan Jamal dan Shiffin dan selain
Pasukan Jamal dan Siffin dari kelompok Bughot yang muta’awwil. Ini pendapat
yang dikenal di kalangan Sahabat, juga pendapat kebanyakan Ahlul Hadits,
Fuqoha’ dan Ahli Kalam.” [15]
Wallahu
a'lam.
[1] Abdullah bin Umar Sulaiman Ad Dumaijy . Al Imamah Al Udzma
‘Inda Ahlis Sunnah wal-Jama’ah. Sebuah desertasi untuk memperoleh gelar
Magister bidang Aqidah pada Fakultas Syari’ah wad Dirosat Islamiyah Universitas
Ummul Quro Makkah. Desertasi ini mendapat prediket Mumtaz (comlude).
Hal. 491
[2] ibid. 491
[3] Ibnu Taimiyah. Siyasah Syar'iyyah. Bab Uqubatul
Muharibin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa ini merupakan pendapat
mayoritas Ulama', ada juga yang berpendapat bahwa hukumannya ditentukan
kebijakan penguasa
[4] Baca juga At Tasyrie’ Al Jina’i. Abdul
Qadir Audah. II/673. Muassasah Risalah.
[5] Abdul Qodir berkata: Seluruh Madzhab bersepakat bahwa
memerangi kelompok penentang tidak boleh dilakukan sebelum menanyakan sebab
mereka melakukan pertentangan. Jika alasan mereka karena menuntut hak atau
memprotes kedhaliman sedangkan mereka berada dijalan yang benar, maka kewajiban
penguasa mengembalikan hak dan menghapuskan kedhaliman seperti yang mereka
tuntut, kemudian mengajak kepada mereka untuk kembali ta’at, sebaliknya, pihak
penentang juga harus siap taat.... Ibid. II/679.
[6] Fathul Baari 12/286
[7] Adalah, merupakan syarat kriteria yang harus dimiliki pemimpin
Islam, menyangkut sikap adil, amanah, akhlaq dan kepribadian yang terpuji,
Lihat, Al Imamah Al Udzma. 251)
[8] Imam Suyuthi. Tarikhul Khulafa’. 195)
[9] Periksa Tarikhul Khulafa’. Imam Suyuthi. 191-195 Darul Fikr
[10] Ibid. 195
[11] Periksa, Al Bidayah Wan Nihayah. Ibnu Katsir VI/619. Darul
Ma’rifah
[12] Periksa, Ibid. 197)
[13] Lihat. Ibid. 200)
[14] Lihat. Ibid. 200)
[15] Lihat. Ibid. 200)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar