Sabtu, 21 Juli 2012

Kelompok Penentang

Khuruj (keluar) terhadap penguasa Islam  menjadi topik  menarik dalam wacana Siyasah Syar'iyyah (Politik Islam). Ia merupakan bentuk protes dan  perlawanan terhadap penguasa. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak bai’at (janji setia) terhadap Imam,  melepas bai'at yang telah diikrarkan, hingga melalui pemberontakan. Meski demikian para Ulama' lebih sering menyebut istilah Khuruj sebagai sebuah pemberontakan.[1]
Latar belakang dan motifasinya juga beragam, karenanya, Abdullah bin Umar Sulaiman Ad Dumaijy termasuk yang tidak setuju menghukumi kelompok penentang (al khoorijun) secara mutlak dengan hukum tertentu (khos), tanpa terlebih dahulu dilihat apa latar belakang dan motifasi sebuah pemberontakan dilakukan. Hingga menurutnya perlu dikembalikan pada lima dasar hukum dalam Islam, yakni haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. [2] 


Karenanya, untuk mencapai kesimpulan lima dasar hukum diatas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Untuk itu diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, Al-Khoorijun (kelompok yang khuruj), Al Makhruj Alaih (Penguasa), dan Wasilatul Khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendifinisikan tiga unsur diatas tentu sangat urgen untuk beroleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Unsur penguasa misalnya, ia tidak akan lepas dari tiga kategori: Imam adil, Imam Ja’ir/dhalim (maksiyat) dan Imam Murtad (kufron bawwahan). Penegasan status kategori diatas menjadi penting karena akan mempengaruhi status hukum Al Khoorijun (kelompok penentang). Khuruj terhadap Imam Adil misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan Khuruj terhadap Imam Murtad (kufron bawwahan).

Kelompok Penentang dan Sikap Terhadap Mereka

Dua amal yang secara lahiriyah tampak identik atau bahkan sama persis tidak menjamin kesamaan niat, motifasi, dasar pijakan dan juga muara akhir. Dalam konteks perlawanan terhadap penguasa misalnya, tidak bisa disamakan antara perlawanan Hussein bin Ali RA terhadap Yazid dengan perlawanan Khowarij terhadap Ali bin Abi Thalib. Sunnguh tidak logis menyamakan Ahmad dengan kambing hanya karena sama-sama berjenggot.
Ulama’ mengklasifikasikan kelompok penentang penguasa Islam sekurang-kurangnya menjadi empat kategori: Khowarij, Al Muharobun, Bughot dan Ahlul Adl.
                Pertama, Khowarij. Sebagaimana ma’lum, merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap Imam Adil Ali bin Abi Talib. Pemberontakan dipicu oleh penolakan mereka terhadap Tahkim antara kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Mua’wiyah. Mereka digambarkan sebagai kelompok yang bersahaja namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka terlalu gegabah dalam menuduh selain kelompoknya sebagai kafir. Hal ini berangkat dari logika sederhana mereka bahwa orang muslim tidak mungkin ma’siyat, barang siapa ma’siat berarti bukan muslim. Konyolnya, ma’siyat itu sendiri diukur atas persepsi (ro’yu) mereka, hingga apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dan sahabat lain dipandang sebagai ma’siyat karenanya telah keluar dari Islam.
                Berikutnya, kelompok ini berkembang menjadi kelompok idiologi yang memiliki prinsip-prinsip (mabadi’) Aqidah menyimpang, yang paling menonjol adalah sikap pengkafiran terhadap pelaku ma’siyat dan pandangan wajib memberontak kepada Imam Ja’ir. Terhadap kelompok semacam ini Rasulullah bersabda: “Seorang diantara kamu akan mengaggap remeh (amat sedikit) shalatnya ketika membandingkan dengan shalat mereka, akan menganggap remeh (amat sedikit) shaumnya ketika membandingkan dengan shaum mereka dan akan mengganggap remeh bacaan al-Qur’annya ketika membandingkan dengan bacaan al-Qur’an mereka. Mereka membaca al-Qur’an tidak sampai melampaui tenggorokannya. Dan mereka melesat lepas dari Islam sebagaimana melesatnya batang anak panah dari busurnya. Dimana kamu jumpai mereka, maka bunuhlah mereka. Sesungguhnya pembunuhan terhadap mereka akan mendapat pahala dihari Kiamat bagi yang membunuhnya” (Bukhori Muslim).  Para sahabatpun mensikapi secara tegas mereka turut memerangi bersama Ali bin Abi Thalib.
                Kedua, Al Muhaaribun. Sekelompok pembuat onar yang sering menggangu stabilitas keamanan, meresahkan penduduk dengan melakukan aksi terror, perampokan pencurian dan sejenisnya. Kewajiban Imam adalah menegakkan hukum (hadd) seperti tertera dalam QS. Al Maidah: 33. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. Menjelelaskan ayat diatas, Imam Syafi’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas: "Jika mereka -al-muharibun- membunuh sekaligus merampas harta, maka hukuman mereka dibunuh dan disalib, jika mereka membunuh tanpa merampas harta maka hukumannya dibunuh tanpa disalib, jika mereka merampas harta tanpa membunuh maka dipotong tangan dan kaki mereka secara bertimbal balik, dan jika mereka menakut-nakuti dijalanan (terror) tanpa merampas harta maka hukumannya diusir dari negeri...".[3]
                Ketiga, Bughot. Sekelompok yang melawan Imam Adil. Motifasinya bisa karena menuntut hak, ambisi jabatan, ambisi dunia, kepentingan kelompok, kesalah pahaman atas sebuah persoalan dan lain-lain. [4]
Kelompok semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan diperlukan pola pendekatan persuasif (islah) dengan mencoba melacak lebih jauh apa motifasi perlawanannya. Jika ada kesalah pahaman (syubuhaat) maka perlu diberi penjelasan, jika ada hak yang terampas maka perlu dikembalikan. Jika pola Islah tidak membuhkan hasil, baru dilakukan cara represif. [5]  Seperti firman Allah dalam QS. Al Hujurot: 5. “Dan jika dua golongan orang beriman saling berperang, maka islahlah antara keduanya, Jika salah satu dari keduanya melampaui batas (bughot), maka perangilah kelompok yang melampaui batas sampai kembali kepada urusan Allah”
                Keempat, Ahlul Haq (Pembela Kebenaran). Sekelompok penegak keadilan yang melawan Imam Ja’ir. Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar: “Sekelompok yang khuruj terhadap penguasa dalam keadaan marah atas dasar dien, karena melihat penguasa yang ja’ir (dhalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi. Mereka adalah Ahlul Haq, termasuk didalamnya, Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dalam perang Harrah, dan mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf”. [6]
                Seperti disebut dalam sejarah, Hussein bin Ali, Ibnu Zubair dan Penduduk Madinah,  pernah menentang penguasa pada masanya. Pertikaian, disamping karena prosedur pengangkatannya yang dipersoalkan, juga menyangkut ‘Adalah/keadilan [7] Penguasa yang dinilai banyak menyimpang. Yazid bin Mua’wiyah dikenal suka meminum khomer dan melakukan ma’siyat yang mengiringinya serta meninggalkan shalat.
Al Waqidy meriwayatkan dari jalan Adullah bin Handholah Al Ghasiil: “Demi Allah, kami tidak khuruj terhadap Yazid kecuali karena kami takut dihujani batu dari langit. Karena sesungguhnya ia orang yang menggauli ummahatul aulad -budak-budak yang telah melahirkan dan tidak syah digauli-, gadis-gadis, akhwat, suka meminum khomer, dan meninggalkan shalat. [8]
Cacat ‘Adalah itulah yang menjadikan Hussein bin Ali Abdullah bin Zubair enggan berba’iat.  Hussein yang semula menolak ajakan khuruj penduduk Kufah pada masa Mua’wiyah, menjadi berpikir lain ketika Yazid tampil. Didukung penyataan tertulis penduduk Irak yang menyatakan akan mendukungnya, Ia akhirnya pergi ke Kufah beserta kerabat dan beberapa pendukungnya dari Hijaz. Beberapa sahabat senior seperti; Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lain-lain berusaha mencegah kepergiannya karena khawatir mereka akan dibunuh, juga, para Sahabat sangsi atas kesetiaan penduduk Irak. Namun nasehat tersebut tidak dihiraukan, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan menjadi kenyataan. Hussein beserta keluarga dan pendukungnya di bantai di Karbala. [9]
Tahun 63 Hijriyah, Giliran Penduduk Madinah melepaskan ba’iat terhadap Yazid, atau yang lebih dikenal dengan tragedi Harrah. Imam Suyuthi berkata: “Sebab penduduk Madinah melepaskan bai’ah adalah karena Yazid berlebih-lebihan dalam ma’siyat”. [10] Ibnu Katsir menjelaskan, tragedi Harrah bermula saat utusan penduduk Madinah menghadap Yazid bin Mua’awiyah di Demaskus dibawah pimpinan Abdullah bin Handhalah bin Abi Amir. Mereka disambut dengan baik. Sepulang dari Demaskus, para utusan bercerita kepada penduduk Madinah perihal perilaku menyimpang Yazid, seperti meminum khomer yang berdampak munculkan kemungkaran-kemungkaran lain, termasuk kesalahan yang dinilai paling besar adalah meninggalkan shalat karena mabuk. Penduduk Madinah kemudian bersepakat melepaskan ketha’atan. Hal ini mereka lakukan di mimbar Nabi. Mendengar  hal ini, Yazid mengutus pasukan dibawah pimpinan Muslim bin Uqbah -para Salaf mempelesetkan menjadi Musrif (melampaui batas) bin Uqbah- . Sesampainya di Madinah, mereka menghalalkan Madinah selama tiga hari, ribuan penduduk dibunuh. Dari kalangan Ahli Qur’an saja, menurut Imam Malik, tidak kurang dari 700 orang.[11]
Pasukan mengarah ke Makkah untuk mengepung kelompok Ibnu Zubair yang tengah berlindung di Ka’bah. Ditengah perjalanan, komandan pasukan mati, kemudian digantikan oleh yang lain. Mereka mengepung dan memerangi kelompok Ibnu Zubair dengan menggunakan manjaniq –pelontar batu- hingga merusak Ka’bah. Ini terjadi bulan shofar tahun 64 Hijriyah. Pada tahun itu juga Yazid meninggal dunia, Penduduk Syam mengangkat Mua’wiyah bin Yazid atas wasitat Amir sebelumnya, dan kepemimpinannya hanya berlangsung 20 hari, -dalam riwayat lain 40 hari- karena keburu meninggal dunia.  Sementara Abdullah bin Zubair menyeru penduduk untuk memba’iat (mengangkat) dirinya menjadi Imam, Ia resmi menjadi Amirul Mukminin dan diakui oleh penduduk Hijaz, Iraq dan Hurosan. Semenjak itu terjadi dualisme kepemimpinan.
Sepeninggal Mu’awiyah bin Yazid, Penduduk Syam mengangkat Marwan bin Hakam. Dalam kasus ini Adz Dzahaby menyatakan –dan pernyataan ini dibenarkan As Suyuthi- bahwa Marwan bin Hakam tidak syah sebagai Amirul Mukminin karena menurut riwayat yang benar, tidak ada pengangkatan dirinya oleh Amir sebelumnya. Karenanya Ia berstatus Bughot terhadap Amir yang syah, Ibnu Zubair. [12] Ibnu Zubair terus mengendalikan pemerintahannya dari Makkah hingga akhirnya ia berhasil  digulingkan oleh Abdul Malik bin Marwan yang mengutus Hajjaj beserta pasukannya mengepung Makkah selama berbulan-bulan. Seperti pasukan sebelumnya, Hajjaj juga menggunakan pelontar batu hingga berhasil membunuh Ibnu Zubair beserta pendukungnya pada Jumadil Ula tahun 73 Hijriyah. Sejak itu ahli sejarah semacam Suyuthi, baru menyatakan syah atas kepemimpinan Abdul Malik bin marwan. [13]
                Meski singkat, penggalan sejarah diatas cukup memberikan gambaran tentang motifasi penentangan yang dilakukan Hussein bin Ali, Penduduk Madinah dan Ibnu Zubair terhadap penguasa masa itu. Tak lain, adalah semangat pembelaan terhadap dien. Karenanya, para Ulama’ memasukkan mereka pada kategori Ahlul Haq, bukan Khowarij, bukan bughot dan bukan yang lainnya.
Terhadap kelompok semacam ini Al Hafidz berpendapat: “Adapun barang siapa yang keluar dari keta’atan terhadap Imam Ja’ir untuk membela hak harta, jiwa dan keluarganya maka ia ma’dhur (mendapat udhur) dan tidak halal memeranginya, dan baginya hendaklah membela jiwa, harta dan keluarganya sesuai kemampuannya”. Pendapat tersebut sesuai dengan perkataan Ali bin Thalib Ra yang diriwayatkan Thobari, “Jika mereka menyelisihi Imam Adil, maka perangilah mereka, namun jika mereka memerangi Imam Ja’ir, maka jangan perangi mereka karena bagi mereka maqol (tempat)”. [14]
                Demikianlah, empat tipe kelompok penentang. Status masing-masing kelompok berikut cara menghadapinya berbeda-beda, tidak bisa digeneral, baik sebutan maupun cara mensikapi mereka. Karenanya Ibnu Taimiyah mengkritik beberapa Foqoha’ yang mencantumkan sikap Abu Bakar memerangi mumtani’uz zakat,  sikap Ali memerangi Khowarij,  dan sikap Ali memerangi pasukan Jamal kedalam sabuah bab yang satu, “Memerangi Ahlul Baghyi”. Selanjutnya, Ibnu Taimiyah mentarjih, “Adapun Jumhur ahlul ilmi maka mereka membedakan antara Kelompok Khowarij, Pasukan Jamal dan Shiffin dan selain Pasukan Jamal dan Siffin dari kelompok Bughot yang muta’awwil. Ini pendapat yang dikenal di kalangan Sahabat, juga pendapat kebanyakan Ahlul Hadits, Fuqoha’ dan Ahli Kalam.” [15]
Wallahu a'lam.

*ditulis oleh Al-Ustadz Bambang Sukirno dan diterbitkan di Majalah Bunyan




[1] Abdullah bin Umar Sulaiman Ad Dumaijy . Al Imamah Al Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal-Jama’ah. Sebuah desertasi untuk memperoleh gelar Magister bidang Aqidah pada Fakultas Syari’ah wad Dirosat Islamiyah Universitas Ummul Quro Makkah. Desertasi ini mendapat prediket Mumtaz (comlude). Hal. 491
[2] ibid. 491
[3] Ibnu Taimiyah. Siyasah Syar'iyyah. Bab Uqubatul Muharibin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas Ulama', ada juga yang berpendapat bahwa hukumannya ditentukan kebijakan penguasa
[4] Baca juga At Tasyrie’ Al Jina’i. Abdul Qadir Audah. II/673. Muassasah Risalah.
[5] Abdul Qodir berkata: Seluruh Madzhab bersepakat bahwa memerangi kelompok penentang tidak boleh dilakukan sebelum menanyakan sebab mereka melakukan pertentangan. Jika alasan mereka karena menuntut hak atau memprotes kedhaliman sedangkan mereka berada dijalan yang benar, maka kewajiban penguasa mengembalikan hak dan menghapuskan kedhaliman seperti yang mereka tuntut, kemudian mengajak kepada mereka untuk kembali ta’at, sebaliknya, pihak penentang juga harus siap taat.... Ibid. II/679.
[6] Fathul Baari 12/286
[7] Adalah, merupakan syarat kriteria yang harus dimiliki pemimpin Islam, menyangkut sikap adil, amanah, akhlaq dan kepribadian yang terpuji, Lihat, Al Imamah Al Udzma. 251)
[8] Imam Suyuthi. Tarikhul Khulafa’. 195)
[9] Periksa Tarikhul Khulafa’. Imam Suyuthi. 191-195 Darul Fikr
[10] Ibid. 195
[11] Periksa, Al Bidayah Wan Nihayah. Ibnu Katsir VI/619. Darul Ma’rifah
[12] Periksa, Ibid. 197)
[13] Lihat. Ibid. 200)
[14] Lihat. Ibid. 200)
[15] Lihat. Ibid. 200)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar