Minggu, 25 Februari 2018

Cinta yang Tak Kunjung Datang



Belum setahun yang lalu wajahnya cerah, mengulurkan undangan pernikahan dan berkata lirih, "Saya akan memperoleh separuh agama. Doakan agar ridha Allah singgah ke rumah tangga kami."  Saya mengangguk pelan. Hati terasa bergemuruh dan haru.


Pagi itu dia datang. Mukanya keruh membuat saya heran. Dia berkata,"Saya ingin menceraikan istri saya", ujarnya dingin, tanpa ekapresi. Saya terkejut luar biasa. Bak petir menyambar.


Saya tatap wajahnya. Matanya serius dan nada suaranya terdengar tanpa ragu. Dia melanjutkan, "Sebelas bulan menikah, saya baru menyadari sebuah kenyataan. Saya tidak mencintainya. Dan saya tak sanggup melanjutkan lagi."


Mengapa romantisme dalam rumah tangga tidak hadir? Pasangan hidup kita saat ini bukanlah 'dia' yang hadir dalam memori remaja kita dulu. Disaat kita menyadari bahwa pasangan kita yang sekarang ini berbeda dengan apa yang dibayangkan, maka akan muncul perasaan sedih dan kecewa. Kemudian membuat kita tertekan.


Kondisi ini bisa disebabkan oleh paksaan keluarga, kurang mengenal calon pendamping yang baik, dan bergesernya pemahaman tentang arti berkeluarga, serta sebab lain yang muncul ditengah perjalanan.


Kalau Anda termasuk yang mengalami hal ini, maka Anda tidak sendiri. Banyak orang yang mengalami hal serupa. Suatu hal yang sangat alami dan sering terjadi. Tidak bisa didramatisir. Sebab, mencintai adalah sensivitas hati yang sangat relatif dan subyektif yang tidak dapat dipaksakan.


Jika Anda memulai pernikahan secara Islami, tidak berpacaran lebih dulu, peluang terjadinya hal seperti ini sangat besar, meski tidak selalu. Yang jelas, Anda sedang diuji. Penyelesaiannya bukan terletak pada berapa banyak orang yang mendengar kisah sedih Anda. Atau seberapa cepat Anda memutuskan untuk bercerai. Tetapi, pada bagaimana kedewasaan Anda menyikapi kondisi ini.


Mengumbar cerita, menunjukkan kualitas Anda selerti kanak-kanak. Hal tersebut juga termasuk menyebarkan aib keluarga dan menyakiti hati pasangan.


Terlalu cepat memutuskan untuk bercerai. Menunjukkan egoisme Anda dan bukan pilihan cerdas. Karena Anak-anak akan menjadi korban. Juga belum tentu akan mendapatkan yang lebih baik jika kemudian menikah lagi. Betapa banyak orang menyesali perceraian mereka yang ternyata hanya berasal dari kondisi jiwa yang tergesa-gesa tanpa pertimbangan matang.


Ketika memutuskan menikah, harusnya kita sudah memahami tujuan pernikahan yang benar. Pemahaman ini yang akan menjauhkan dari kesempitan berpikir dan menuruti kata hati serta mengabaikan pasangan. Maksudnya, jika tidak puas dengannya, bisa jadi ia juga tidak puas dengan kita dan bukan pasangan yang diharapkannya.


DR. Leo Wallman, analis kejiwaan melaporkan penelitiannya bahwa empat dari lima wanita tidak kau menikah lagi dengan suami mereka yang sekarang jika masih diberi kesempatan untuk memilih. Nah!


Bisa jadi, rasa kecewa dan tertekan yang mereka alami lebih berat dari kita. Bukankah para istri harus menaati perintah suaminya yang bisa jadi ia tidak dicintainya? Tetapi mereka bisa menyembunyikan perasaan dan tetap menunaikan kewajiban dengan baik. Harusnya  sadar bahwa posisi mereka juga sama dengan kita. Sehingga akan membuat kita lebih sabar dan bijak.


Bisa juga mendasarkan rumah tangga pada pemenuhan tugas ibadah. Dan berdoa agar Allah menumbuhkan cinta pada pasangan kita. Jika belum hadir rasa itu, semoga cinta kita kepada Allah yang akan menjadi motivasi untuk berlaku baik kepada pasangan.


Ketika ada seorang bapak bertanya kepada Al-Hasan bin Ali, "Saya mempunyai anak gadis. Menurut anda, dengan siapa saya harus menikahkanya?"  Al-Hasan menjawab, "Nikahkanlah dengan lelaki yang bertakwa kepada Allah. Jika mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika tidak mencintainya, dia tidak akan mendhaliminya."


Inilah bashirah. Ketakwaan seseorang akan mampu membuatnya berlaku adil dan tidak dhalim. Sebuah cermin besar untuk berkaca diri, seberapa takwa yang telah kita miliki. Jika cinta itu tidak datang juga, maka ketakwaan kitalah yang akan membawa kepada kesabaran, menambah tawakal dan mengharap pahala akhirat. Keridhaan atas hal ini, bisa jadi akan menjadi sebab untuk memperoleh pahala yang besar di sisi Allah Ta'ala.
Semoga!




Sumber:
Asmoro, Tri. 2011. Amanah di Pundak Ayah. Solo: Arafah

Islamofobia Bukan Fobia



Fobia merupakan gangguan anxietas fobik, yakni rasa takut berlebihan terhadap suatu hal atau fenomena. Fobia termasuk penyakit psikologis yang dapat mengganggu kehidupan pengidapnya.


Pengidap fobia mengalami rasa takut yang sulit dimengerti penyebabnya. Ia tidak mampu  mengendalikan rasa takutnya sehingga mengalami mental blocks (mental terkunci). Sehingga kondisi tersebut berefek negatif dikemudian hari.


Seseorang jika tidak mempunyai penyaluran emosi yang tepat, ketika berinteraksi dengan sumber fobia, spontan ia akan merasa cemas. Maka, ia akan segera pergi menghindari sumber tersebut.


Rasa cemas yang tidak diatasi seawal mungkin menyebabkan akumulasi emosi negatif yang terus menerus dan ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek-subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat.


Banyak istilah terkait fobia ini. Fobia gelap disebut Achluophobia. Takut/gelisah ketika tidak memegang smartphone disebut Nomofobia. Takut pada lubang yang banyak disebut Tripofobia. Takut pada laba-laba disebut Arachnophobia, dan lain sebagainya.


Ada juga istilah Islamofobia yang artinya takut kepada Islam. Namun, apakah penggunaan istilah tersebut tepat?


Sebenarnya istilah itu sudah ada sejak lama. Akan tetapi menjadi populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001 di New York, AS. Banyak orang menjadi curiga terhadap Islam, terutama kalangan politisi dan elit pemerintahan. Baik kepada individu maupun kelompok-kelompok Islam.  Ditambah lagi, munculnya al-Qaeda dan ISIS yang menurut mereka mengusung ideologi kekerasan.


Mereka menganggap Islam sebagai agama penebar kekerasan dan teror. Banyak orang Islam dicap sebagai teroris. Stereotip tersebut berlangsung dari hari ke hari, selama bertahun-tahun sejak tragedi 9/11. Sehingga memicu situasi anti-muslim di negara-negara Barat, kemudian secara halus masuk ke negara-negara Asia.


Jadi, Islamofobia bukanlah gangguan anxietas fobik (fobia). Ia menjadi istilah kontroversial yang mendiskritkan Islam dan hanya berdasarkan prasangka saja.


Islamofobia lebih kepada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama.


Islamofobia bukanlah fobia. Ia lebih kepada aksi nyata yang sedang berlangsung dengan tujuan tertentu. Aksi itu didukung oleh negara, sehingga menjadi sebuah sistem pemerintahan yang bersifat struktural.


Islamofobia menunjukkan cara berpikir yang hari ini secara formal menginformasikan  bagaimana lembaga publik, media mainstream, dan pemerintah memperlakukan umat Islam.


Saat ini sudah berada pada tahap dimana Islam dan umatnya secara keseluruhan menjadi ancaman dan berpotensi sebagai pelaku terorisme dimanapun ia berada. Cara pandang tersebut sudah mengalir  ke berbagai negara di dunia.


Ditambah lagi dengan adanya program kontraterorisme melawan 'teroris', namun realitanya tidak benar-benar menangani penyebab terorisme/ kekerasan. Strategi tersebut beranggapan bahwa kekerasan pada akhirnya disebabkan oleh muslim.


Lagi-lagi Islam yang disudutkan dan dikambing hitamkan. Dalam program tersebut ada asumsi bahwa siapa saja yang beragama Islam berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Itulah kerangka yang selama ini dibangun dalam program kontraterorisme.


Itulah mengapa kita sering mendapati anggapan bahwa seseorang yang semakin nampak 'Islami' akan dicurigai sebagai 'teroris'. Sadar atau tidak, kecurigaan itu kini melekat pada sikap pemerintah terhadapnya. Bahkan dikuatkan dengan sejumlah aturan yang dikampanyekan dan menghimbau sekolah atau universitas untuk melaporkan perilaku 'mencurigakan'.


Ketika kita menyadari bahwa saat ini seorang muslim layak diawasi dan dicurigai, maka saat itulah kita bisa mengerti makna sebenarnya dari Islamofobia.


Islamofobia berdampak negatif pada umat Islam. Mereka menjadi korban. Seorang muslim ditahan tanpa tuduhan yang jelas. Diberhentikan dan diselidiki tanpa kesalahan. Termasuk juga adanya upaya meningkatkan penyensoran terhadap muslim tanpa melihat sebagai pelanggaran hak berbicara dan normalisasi serangan fisik dan verbal kepada muslimah.


Islamofobia bukanlah fobia yang sebenarnya. Tapi lebih kepada bentuk ketakutan yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu, yakni memberi citra buruk terhadap Islam dan umatnya. Karena memang mereka benci Islam!



*irlind


Sumber:
Mustarom, K. 2017. Syamina: Islamofobia, Perang yang Tidak Dideklarasikan. Edisi 19
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Fobia
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Islamofobia

Sabtu, 24 Februari 2018

Penyebab Lemahnya Rasa Percaya Diri Pada Anak



Percaya diri merupakan sikap positif dalam diri seseorang. Sikap ini menjadi modal dasar seseorang untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadinya.


Seseorang mempunyai kebutuhan untuk kebebasan berfikir dan berperasaan sehingga akan tumbuh menjadi manusia dengan rasa percaya diri.


Percaya diri (confidence) merupakan dasar dari motivasi diri untuk berhasil. Agar termotivasi seseorang harus percaya diri. Seseorang yang mempunyai keinginan dan motivasi dalam dirinya akan mendapatkan ketenangan dan kepercayaan diri.


Dengan rasa percaya diri, banyak orang yang tadinya mengalami kekurangan kemudian bangkit melampaui kekurangannya sehingga benar-benar mengalahkan kemalangan yang menimpanya. Kepercayaan diri dan motivasi untuk terus tumbuh dapat mengubah masalah menjadi tantangan.


Menurut Thursan Hakim (2002), rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada proses tertentu didalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri.


Salah satu langkah pertama dan utama dalam membangun rasa percaya diri yaitu dengan memahami dan meyakini bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan yang ada didalam diri seseorang harus dikembangkan dan dimanfaatkan agar menjadi produktif dan berguna bagi orang lain.


Sering kita jumpai, ada sebagian anak-anak yang takut untuk menemui orang-orang yang datang bertamu kerumahnya. Adapula anak-anak yang takut untuk tampil pada acara-acara tertentu. Mereka tidak mau berbicara, atau pun kalau mau mereka berbicara dengan terbata-bata, nampak sedih dan malu.


Kondisi seperti ini sering kali disebabkan oleh lemahnya kepercayaan diri dalam diri anak tersebut. Hilangnya rasa tenang dan tentram akibat pola pendidikan yang keliru, sering dicela, dan lain sebagainya.


Lalu, apa saja yang menjadi sebab lemahnya kepercayaan diri pada anak? Sejumlah faktor berikut adalah penyebabnya:

  • Orang tua terlalu sering melarang dan mencela anak saat ia bermain. Hal ini menimbulkan perasaan resah dan mengurangi kepercayaan dirinya.
  • Orang tua mendidik anak bergantung pada orang lain. Seperti, Ibu tidak membiarkan anak makan dan mengenakan pakaian sendiri. Tetapi membiarkan anak bergantung kepada pembantu untuk memenuhi segala keperluan anak. Cara ini membuatnya selalu bergantung pada orang lain. Sehingga kepercayaan diri dan kemandiriannya tidak berkembang.
  • Orang tua membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Meskipun maksudnya untuk memotivasi atau mendorong anak untuk belajar, namun cara ini umumnya cara ini memberikan hasil yang berlawanan. Dan justru mengendurkan semangatnya dan tidak menutup kemungkinan membuatnya kehilangan rasa percaya diri.
  • Orang tua terlalu berlebihan mengatur anak-anak sehingga akan merusak kebebasan mereka dalam berfikir.
  • Pertengkaran dan pertikaian kedua orang tua akan menimbulkan perasaan tidak tenang pada diri anak, sehingga mengguncang kepercayaan dirinya.
  • Gangguan dan cacat pada anak, seperti buta, tuli, gemuk, terlalu kurus, pendek dan cacat fisik lainnya dapat melemahkan kepercayaan diri anak.


Terus bagaimana kita bisa membuat anak mempunyai rasa percaya diri?


Anak tidak akan merasa percaya diri kecuali kita sebagai orang tua mempunyai rasa percaya kepadanya. Kita bisa latih anak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa ia lakukan. Kita tuntun adik-adiknya untuk patuh dan hormat padanya selama dia menghormati dan menyayangi mereka.


Anak mempunyai keinginan untuk melakukan sebagian besar pekerjaan, namun ketika ia didesak maka ia akan membangkang dan tidak mau melakukan pekerjaan yang kita perintahkan padanya.


Untuk membangun kepercayaan diri anak bisa dengan cara berikut:


  • Melakukan pengawasan yang penuh kasih sayang terhadap anak
  • Berbicara dengan lembut bersamanya
  • Memberi arahan penuh dengan kepercayaan
  • Tidak melarangnya melakukan suatu tindakan tanpa melalui dialog yang membuatnya merasakan ketegasan kata-kata kita
  • Tidak melontarkan celaan-celaan kepadanya

Namun, jika kita tidak peduli dan tidak percaya pada anak dan selalu mengatakan padanya bahwa ia tidak mampu melakukan apapun, maka kepribadiannya akan lemah, tidak percaya diri, tidak mampu mengemban tanggung jawab, suka menyendiri, dan kelak  bisa menjadi orang yang tidak berguna. Na'udzubillah




*Irlind



Sumber:
Adz-Dzaka Al-Athifi, Dr. Daniel Golman
Dr. Hassan Syamsi. 2014. Modern Islamic Parenting. Solo: AISAR Publising
Hakim. T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Purwa Suara
http://holikulanwar.blogspot.co.id/2012/05/percaya-diri-pd-apa-itu-percaya-diri.html?m=1#


Waktu Libur, Dia Tetap Hadir



Jika Allah telah memberi kita nikmat semangat untuk menuntut ilmu,  maka jagalah nikmat tersebut. Jangan sampai nikmat tersebut menghilang dari diri kita. Karena nikmat tersebut merupakan pertanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi kita.


 Nabi Salallahu 'alaihi wassalam bersabda:
"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, maka ia akan di fahamkan oleh Allah tentang Din (agama)". (HR. Bukhori dan Muslim)


Saudaraku, mari kita renungkan kisah berikut dengan baik-baik. Al-Askari menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Karkhi berkata: “Saya selalu menghadiri majelis ilmu Abu Hazim pada hari Jum’at. Padahal hari itu tidak ada pelajaran. Aku lakukan hal itu agar kebiasaanku menghadiri majelis ilmu tidak hilang”. (Al-Hatstsu ’ala Thalabil Ilmi hlm. 78)


Dia meninggalkan keinginan dirinya dan berjuang melawan hawa nafsunya demi menuntut ilmu dan menjaga semangat tersebut agar tidak luntur. (Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilmi hlm. 69 oleh Abdul Aziz as-Sadhan)


Bandingkan hal ini dengan sikap sebagian kita yang malas menghadiri majelis ilmu dengan alasan lagu lama, “maaf saya lagi sibuk”, “maaf saya lagi banyak urusan”, dan alasan-alasan lainnya.


Alangkah indahnya ucapan penyair berikut:
"Saya melihat banyak manusia mengeluh tentang waktu,
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain kita sendiri,
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita sendiri,
Seandainya saja waktu bisa bicara tentu akan marah kepada kita".
(Manaqib Imam Syafi’i hlm. 65 oleh al-Aburri)


Saudaraku, mari kita berusaha untuk senantiasa menuntut ilmu. Karena ilmu itu harus dicari dan didatangi, di manapun ia berada. Mari kita ikuti jejak salafus shalih dalam tholabul ilmi.


Tholabul ilmi adalah tradisi para ulama dan orang-orang shalih. Jadi, jangan merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki sekarang ini. Andai kita tau betapa luasnya ilmu Allah, maka kita akan merasa selalu bodoh.


Allahu musta'an


Selasa, 20 Februari 2018

Penuntut Ilmu Kelas Elite (Bag. 2)



Lalu sang guru teringat kenangan indahnya semasa mencari ilmu dan bercerita:

"Wahai anakku (menyapa muridnya)! Dulu aku juga berpergian sepertimu. Demi menyimak hadits dari Kitab As Shahih. Berjalan kaki barsama ayahku dari kota Herat menuju Dawoudi di Busang, sedang umurku belum genap 10 tahun".


Dan kebiasaan ayahku, selalu membekaliku dua bongkahan batu dan berpesan agar aku senantiasa membawanya. Ayah adalah orang yg aku segani maka aku bersungguh-sungguh menggenggam keduanya selama perjalanan.


Ketika ia tahu bahwa kondisi jalanku mulai sempoyongan, ia menyuruhku agar membuang satu batu sehingga bebanku berkurang. Tiap kali aku terlihat letih. Beliau selalu bertanya, 'Kamu sudah merasa capek?' Dengan segan aku katakan, 'Belum'. Lantas beliau menimpali, '(jika belum), kenapa jalanmu melambat?'.


Sampai beberapa jam setelah berjalan, aku merasa benar-benar capek dan tidak kuasa lagi meneruskan. Ayahku mengetahui hal itu. Beliau pun segera mengambil batu yang tersisa dalam genggamanku dan membuangnya.


Ini pembuktian dariku, aku paksakan diri agar tetap melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya aku sampai pada titik nadir dari kekuatanku. Tubuhku tak lagi berkutik saking capeknya, hampir-hampir  tersungkur pingsan. Karena belum sampai di tempat tujuan, Ayahku rela  memanggulku di atas pundaknya dan melanjutkan perjalanan yang tersisa.


Kemudian kami berjumpa dengan sejumlah pekebun. Mereka merasa iba terhadap kami dan menawarkan bantuan, 'Wahai Syaikh Isa, bawa kemari anak Anda! Kami akan mengantarkannya dengan tunggangan kami'.


Ayahku pun menyanggah mereka, 'Hanya Allah tempat kami berlindung. Tidak mungkin kami memilih berkendaraan tatkala mencari hadits. Kami memang harus berjalan kaki'.


Demikian itu kami lakukan karena besarnya penghormatan kami terhadap hadits-hadits Rasulullah dan harapan kami terahadap pahala yg melimpah." (Siyar A'lam An Nubala' 20/307-308)


Saudaraku, Itulah perjuangan mereka dalam menuntut ilmu. Lalu mana perjuanganmu? Mereka memilih berjalan kaki bukan karena terpaksa. Tetapi karena memang itu yang mereka pilih. Bahkan sampai menolak tawaran tunggangan.


Adapun kita hari ini berjalan karana faktor keadaan terpaksa karena tidak ada pilihan lain.


Saudaraku, mungkin inilah jawaban dari pertanyaan, "Kenapa seseorang lebih memilih tidak berangkat kajian ketika tidak ada kendaraan, sekalipun dekat?". Ya, karena surutnya kesungguhan dan pasangnya kemalasan.
Allahul musta'an wa 'alaihi tuklan



*Fachrurozi. Kampus LIPIA, Jakarta Selatan.



Penuntut Ilmu Kelas Elite (Bag. 1)



Hari ini kesungguhan penuntut ilmu terancam punah. Seringkali kita dengar gumaman berikut,

"Kondisi Langit gelap ni, sepertinya akan hujan, jadi berangkat ngaji tidak ya?"

"Wah hujan rintik-rintik (senyum bahagia), semoga kajian diliburkan"

"Yah, malah gak jadi hujan (melipat muka)"

"Hari ini panas sekali, belum jalan macet, ragu mau berngkat kajian"

"Sebenarnya jalan kaki  sampai, jaraknya gak jauh kok. Cuma ngajinya  mending minggu depan aja dah, nunggu motor selesai diservis"


Sepertinya menghadiri majelis ta'lim memang sesuatu yang berat. Bayangkan, kendala sepele seperti di atas saja mampu mengkandaskan niat bertholabul ilmi. Padahal sekedar menghadiri kajian rutin, tapi pertimbangannya tak terhitung.


Elite sekali!
Harus menemukan kondisi yang nyaman dulu baru berangkat ngaji. Sepertinya kita butuh membuka mata, agar dapat melihat kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Bagaimana mereka menerjang badai kebodohan dan menaklukkan jarak yang jauh dengan berjalan kaki.


Yusuf bin Ahmad As Syairoziy dalam kitabnya "Arba'in Al Buldan", berkisah tentang sepak terjang pencari ilmu yang sesungguhnya.

(Dahulu) Ketika aku sedang dalam perjalanan mencari guru, tujuan pertamaku adalah mengembara. Namun (sepertinya) zaman enggan melihat perjalananku sia-sia. Hingga Allah takdirkan diriku bertemu dengan orang alim di kota Kerman. Sehingga berubahlah haluan niatku.


(Diawal pertemuan itu) aku ucapankan salam kepadanya terlebih dahulu, mencium keningnya lalu duduk di hadapannya. Spontan Ia menanyaiku: "Apa gerangan yg membuatmu singgah di kota ini?"


Aku pun menjawab: "Maksud kedatanganku adalah pertemuanmu, aku ingin menjadi muridmu. Ini, aku bawa catat kecilku siap berguru kepadamu. Dan aku menyengaja sampai di tempat ini dengan berjalan kaki supaya bisa meraih keberkahan ilmumu dan sanadmu yang tinggi".


"Semoga Allah memberimu dan juga kepada kami taufik-Nya. Menjadikan tujuan dan jalan yang kita tempuh ikhlas karena-Nya. Kiranya kau tahu diriku sebenarnya, niscaya kau tidak akan sudi menghadiahkan untukku ucapan salam dan duduk seperti ini". Sahut sang guru merendah.


Kemudian ia menangis terisak-isak membuat orang-orang di sekitarnya ikut menguraikan air mata. Dan berdoa: "Ya Allah Tutuplah aib-aib kami dengan kain penutup terbaik, dan anugrahi kami petunjuk menuju ridhaMu".
Lalu sang guru teringat kenangan indahnya semasa mencari ilmu dan bercerita:


Bersambung...



*Fachrurozi. Kampus LIPIA, Jakarta Selatan.

Rengkuhlah Pelita Ilmu dalam Keluarga



Hati yang tenang, pikiran yang jernih, suasana yang menyejukkan pasti menjadi dambaan setiap keluarga. Tidak ada keluarga yang menginginkan keruwetan dalam berumah tangga. Namun demikian, tidak banyak yang berusaha untuk menggapai hal tersebut dengan cara yang benar.


Suami  ibarat nahkoda kapal yang sangat menentukan kemana arah kapal akan melaju. Kalau nahkodanya tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk melabuhkan kapalnya, maka ia tidak akan berhasil menghadapi cuaca ekstrim dan gulungan ombak. Juga tidak akan dapat mengarahkan kapal sampai ke tempat tujuannya. Lebih menyedihkan lagi jika sampai tidak mempunyai keinginan (irodah) dalam upaya untuk mencari ilmu yang ia butuhkan.


Kondisi memprihatinkan seringkali menimpa aktivis pengajian dan dakwah. Sebagian ikhwan atau akhwat saat masih berstatus lajang, begitu giatnya mengikuti majelis-majelis ilmu, tabligh akbar, dan kegiatan-kegiatan keislaman lainnya. Namun, selepas menikah perjalanan hidup tidak selalu indah dan mudah.


Tuntutan keluarga mulai antri dan cukup menguras isi dompet. Dari urusan isi perut, rumah, biaya berobat, hingga anggaran menghadiri resepsi pernikahan. Nah, mulailah jadwal menghadiri majelis taklim dipangkas, dan  lama-lama ditinggalkan.


Kenapa pernikahan terkadang menjadi batu sandungan majelis ta'lim? Padahal, ilmu adalah salah satu kunci kebahagiaan sebuah keluarga.


Mestinya ketika menikah, orang menjadi lebih giat mencari ilmu. Karena ia berada dalam dunia yang baru, yang menuntut banyak pengetahuan dan ilmu syar'i yang memadai.


Maka, bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai anak, bahkan cucu, rengkuhlah ilmu sebagai pelita menuju surga Allah Ta'ala.


Sabda Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam:
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim". (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Ibnu 'Adi. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami' Shaghir no 3913 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 70)


Mari kita tengok lebih dekat rumah tangga Rasulullah. Kesibukan apa yang selalu menghiasi keluarganya? Rumah tangga Rasulullah sangat akrab dengan bacaan Al-Qur'an dan Sunnah. Keduanya menjadi referensi pertama dan ilmu yang paling utama yang diburu oleh setiap hamba.


Itulah yang diwariskan oleh Rasulullah kepada umatnya. Beliau tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi beliau mewariskan ilmu.


Motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu juga terlihat pada anak cucu Rasulullah. Diceritakan oleh Abdurrahaman bin Ardak bahwa suatu ketika Ali bin Husain memasuki masjid. Ia meminta jalan kepada mereka yang hadir sehingga ia duduk dalam halaqahnya (majelis ilmu) Zaid bin Aslam.


Melihat hal itu, Nafi' bin Jubair berkata: "Semoga Allah mengampuni anda. Anda adalah Sayyid (tuan) dari sekalian manusia. Anda bersusah-susah untuk menghadiri majelis hamba sahaya. Maka Ali bin Husain berkata: "Ilmu itu dibutuhkan, didatangi dan dicari dimanapun ia berada."


Demikianlah suasana keilmuan rumah tangga Rasulullah. Sekarang saatnya kita menciptakan suasana thalabul ilmi  yang baik di tengah keluarga kita. Sehingga akan tumbuh keluarga-keluarga muslim yang berkualitas sebagaimana yang Rasulullah bangun di keluarganya dan juga di kalangan para sahabatnya.


Maka, satu hal yang tidak boleh dilupakan bagi mereka yang hendak berumah tangga adalah menyiapkan ilmu.


Memang, menikah bagi seorang muslim adalah upaya menyempurnakan dien (agama). Akan tetapi, bukan hanya karena menikah lantas dien seseorang secara otomatis menjadi sempurna.


Menikah hanya faktor pendukung, tetapi kesempurnaan itu lebih pada proses pengejawantahan tujuan-tujuan pernikahan.


*irlind


Sumber:
Bina Keluarga. Majalah Ad-Dakwah Edisi 10

Tarbiyah yang Gagal



Tarbiyah Islamiah mempunyai tujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah  yang bertauhid dan bertaqwa kepada-Nya, serta berakhlak mulia.


Semua keluarga muslim tentu menginginkan anggota keluarganya tertarbiyah dengan baik. Namun, banyak fakta yang ditemukan tentang kegagalan akan hal tersebut. Terutama kegagalan para orang tua mendidik anak-anak mereka.  Mengapa demikian?


Ibnu Qoyyim mencatat berbagai hal yang menyebabkan kegagalan tarbiyah dalam keluarga.


Pertama, hilangnya teladan yang baik (qudwah shalihah).  Berapa banyak orang tua yang menghalangi anak-anak mereka dari kebahagiaan dunia akhirat karena buruknya keteladanan yang mereka perlihatkan di rumah?


Padahal pandangan anak akan senantiasa  tertuju kepada perilaku orang tua mereka. Jika orang tua berakhlak buruk dan berpaling dari kewajiban beragama, maka seperti itulah yang akan tertanam dan membekas dalam benak anak-anaknya.


Sedangkan orang tua yang menjadikan dirinya istiqamah dan berakhlak mulia, akan mendidik anak-anaknya dengan hal itu pula. Sehingga manfaatnya akan mudah diraih oleh anak-anaknya sebelum terlontar kata-kata nasehat untuk mereka.


Kedua, kemalasan dan pengangguran.
Sifat malas, menganggur, santai, tidak serius dan suka menunda-nunda akan memberi dampak buruk bagi orang sekitar yang melihatnya.


Apa yang kelak akan terjadi jika hal tersebut dilakukan oleh orang tua di rumah, dan disaksikan oleh anak-anaknya?


Ketiga, lalai dalam mendidik akhlak.
Mungkin orang tua hanya fokus pada kecerdasan intelektual, rangking di sekolah, ataupun kegiatan extra lainnya. Sehingga mereka lupa akan pentingnya akhlak dan budi pekerti anak.


Padahal kerusakan moral anak akan berbanding lurus dengan kelalaian orang tua dalam mendidiknya.


Penyeban lainnya adalah kesalahan dalam bergaul. Baik lingkungan tempat tinggal, teman dekat orang tua maupun kawan anak yang buruk, akan berimbas dalam pola pendidikan anak.


Kebiasaan mengabulkan keinginan anak yang cenderung menuruti hawa nafsu dan tidak mengarahkannya pada keinginan yang terpuji, akan menyumbang sebab kerusakan pada diri anak.


Banyak orang tua yang menganggap bahwa pengabulan setiap keinginan anak sebagai bentuk kasih sayang mereka kepada anak-anaknya. Padahal hal tersebut bisa menjadi sebuah kedzaliman dan penghalang tarbiyah yang benar.


Memaksa anak menekuni hal-hal yang tidak disukainya, juga bisa menjadi penyebab gagalnya tarbiyah. Pemaksaan tersebut akan membuat anak tertekan dan tidak nyaman. Selain itu, dapat menghalangi munculnya potensi anak yang asli. Kalau sudah begitu, kita sendiri yang rugi kan?


*irlind


Sumber:
Asmoro, Tri. 2011. Amanah di Pundak Ayah. Solo: Arafah

Urgensi Tarbiyah Diri Istri Muqimuddien



Seorang multazimah merupakan seseorang yang mengazzamkan dirinya masuk ke dalam barisan muqimuddien. Semestinya ia menjadi pioner dalam penerimaan syariat.


Bagaimana mungkin seorang istri yang notabene istri mujahid mampu menopang aktivitas suaminya dalam iqamatuddien, jika belum bisa menerima syariat secara totalitas? Dan bagaimana mungkin seorang istri akan menjadi al madrasatul ula yang akan melahirkan generasi militan, jika ia masih belum konsisten dalam menerima syariat?


Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang istri menjadi motor tarbiyah bagi anak-anaknya di dalam lingkup keluarga. Hal ini dikarenakan waktu interaksi dengan anak-anak yang lebih banyak daripada suami.


Kegagalan seorang istri dalam mentarbiyah diri identik dengan kegagalan tarbiyah anak-anaknya. Kemalasannya dalam mentarbiyah diri sama saja dengan mempersiapkan kejahilan untuk anak-anaknya. Padahal anaklah yang diharapkan mengambil tongkat estafet perjuangan dari tangan orang tuanya.


Tarbiyah diri sangat erat kaitannya dengan penerimaan syariat pada diri seseorang. Hubungannya berbanding lurus. Makin intens seseorang mentarbiyah dirinya, maka makin tunduk dan besar penerimaannya terhadap syariat Islam. Dan sebaliknya, makin malas seseorang mentarbiyah dirinya, maka makin tidak respek terhadap syariat.


Iman menjadi kunci dasar ketundukan seseorang dalam menerima syariat. Sudah suatu kepastian bahwa iman dapat naik dan turun. Maka tarbiyah diri adalah sebuah keniscayaan. Iman tidak akan tumbuh dengan sendirinya, tapi harus di usahakan.


Al-Iman Abdurrahman bin Amr Al-Auza'i rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah? Beliau menjawab, "Betul (bertambah), sampai seperti gunung." Lalu beliau ditanya lagi, "Apakah bisa berkurang?" Beliau menjawab, Ya, sampai tidak tersisa sedikit pun."


Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan bagaiman kesungguhan para sahabat rasulullah dalam menerima syariat Islam. Yaitu saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat bagi muslimah. Surat An-Nuur ayat 31.


 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, "Ketika turun ayat ‘....dan hendaklah mereka menutupkan  ,"khumur" –jilbab–nya ke dada mereka...'. Maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab." (HR Al-Bukhari)


Kisah berikutnya, ketika turun ayat tentang pengharaman khamr. Pada awal kedatangan Islam, khamr masih belum diharamkan. Siapa pun dapat meminumnya tanpa dosa.


Namun, setelah turun surah Al-Maidah ayat 90-91 yang menerangkan tentang pengharaman khamr secara total, mereka para sahabat tidak hanya berhenti dari meminum khamr.  Tapi juga menumpahkannya ke jalanan sebagai tanda benci terhadap apa yang diharamkan Allah atas dirinya.


Dua penggalan kisah diatas merupakan sebagian kecil contoh dari sikap para sahabat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.


Kita dapat melihat bagaimana semangat mereka dalam menaati perintah Allah. Tidak ada di antara mereka yang mempertanyakan, memperselisihkan, dan mempertimbangkan untung ruginya.


Bahkan mereka menjalankan perintah yang datang tersebut dengan segera dengan mengerahkan segala upaya yang mereka miliki pada saat tersebut.


Firman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul, apabila rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (Al- Anfal: 24)


Semoga kita diberi taufiq dan kekuatan untuk mentarbiyah diri ditengah padatnya rutinitas harian mengurus anak dan rumah tangga. Awal dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang beriman.


Meskipun perjalanannya tak sepi dari rintangan dan hambatan, namun manisnya iman menyuburkan cinta kepada kebaikan dan tak rela jika anak cucu kita jauh dari ke imanan.



*irlind


Sumber:
Risalah Keluarga. Edisi 11

Tarbiyah dalam Keluarga Itu Harus



Keluarga merupakan laboratorium untuk menyiapkan anak-anak menjadi generasi yang mengibarkan panji-panji Islam di masa yang akan datang.


Keluarga tak ubahnya seperti sebuah lembaga pendidikan (madrasah) yang mendidik anak-anak agar mempunyai fisik/jasmani yang kuat (qawiy), hati/ruhiyah yang hidup, serta mempunyai akal/daya nalar yang tinggi dan luas.


Mengingat kepentingannya yang strategis dan sangat penting, menihilkan proses tarbiyah dalam keluarga adalah sebuah kesalahan besar. Membiarkannya mengalir tanpa sebuah perencanaan oleh pasangan suami-istri juga bukan pilihan yang baik.


Visi dan misi sebuah keluarga muqimuddien seharusnya ada dan jelas renstranya (rencana strategi), meski tak tertuang di atas hitam putih.


Banyak di antara kita yang ketika masih lajang mencita-citakan atau sekedar mengangankan idealisme dalam hidup berumah tangga. Untuk kemudian bisa di sampaikan kepada pasangan untuk diwujudkan bersama setelah menikah.


 Karena keluarga merupakan sebuah amanah besar dan merupakan salah satu benteng aqidah. Yang mana benteng ini harus benar-benar kokoh dan kuat. Jika tidak, maka akan mudah bagi musuh untuk menerobosnya dan merusak segala yang di dalamnya.


Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mempertemukan antara suami dan istri serta menjadikannya pasangan yang saling membutuhkan dan menyempurnakan.


Sudah merupakan sunatullah dalam kehidupan ini, bahwa suami istri secara bersama bergandengan tangan untuk memakmurkan dan mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan dunia yang dimulai dari dalam rumah tangga.


Suami selalu butuh kepada istri begitu pula sebaliknya. Dari sini, syariat Islam memberikan petunjuk agar kaum muslimin secara umum dan pasangan suami istri secara khusus mempunyai sifat ta'awun (saling menolong).


Ta'awun dalam kebajikan sebatas kemampuan yang dimilikinya dan menjauhi segala ta'awun dalam dosa dan permusuhan.


Firman Allah Ta'ala:
"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mnegerjakan) kebajikan dan taqwa. Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamunkepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al-Maidah: 2)


Kebajikan yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengamalkan semua perintah Allah. Sedangkan taqwa adalah menjauhi segala bentuk maksiat dan larangan Allah Ta'ala.


Dari makna tersebut kita dapat mengetahui bahwa ruang lingkup ta'awun antara suami istri sangatlah luas.


Jadi, suami istri harus bersinergi dan kompak dalam menjalani bahtera keluarga. Terlebih jika telah hadir anak-anak yang menyertainya. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, keshalihan suami istri adalah modal utama untuk membentuk keshalihan anak. Dan keteladanannya adalah cermin bagi anak-anaknya.


Keharmonisan dan ta'awun antara suami istri dapat menciptakan suasana yang kondusif di dalam keluarga. Yang mana suasana ini dapat membantu proses tumbuh kembang anak, serta menstimulasi kecenderungan fitrah anak kepada kebaikan.


Hal tersebut dapat tercipta karena adanya energi keteladanan yang terus menerus menyentuh lembut potensinya. Dan semua ini merupakan proses tarbiyah yang alami, namun tetap tertata dan terencana.


Rumah menjadi madrasah pertama dan utama bagi anak, yang mana kebaikan anak sangat bergantung pada kebaikan tarbiyah dirumahnya,  demikian  pula sebaliknya. Sedangkan baik buruknya tarbiyah di rumah sangat bergantung pada kerapian kerja sama antara suami dan istri dalam mentarbiyah anak-anaknya.



*irlind



Sumber:
 Risalah Keluarga. Edisi ke-11


Wahai Suami, Didiklah Istrimu




Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika dibiarkan begitu saja maka ia akan semakin bengkok. Tetapi jika diluruskan dengan paksa maka ia akan patah.


Istri menjadi tanggung jawab suami yang tidak cukup hanya memberikan nafkah saja. Akan tetapi ada tanggung jawab lainnya yang tidak kalah penting yaitu bagaimana menjaga istri agar bisa berjalan diatas jalan yang lurus.


Suami harus lebih rajin dalam menimba ilmu agama yang bisa memperbaiki akhlak dan membina istrinya.


Bagaimana suami akan mampu membina istrinya, jika ia tidak mempunyai apapun dari ilmu yang bisa diajarkan kepada sang istri? Ibarat kaidah fiqih, "Faqidussyai laa yu'ti", orang yang tidak memiliki sesuatupun maka tidak mungkin bisa memberi.


Adapun istri yang mempunyai perilaku tidak baik, akan meracuni akal dan akhlak anak-anaknya. Istri seperti ini biasanya kurang pemahamannya terhadap agama sehingga ia mewariskan karakter buruk pada anak-anaknya.


Harus kita sadari bahwa sang istri mempunyai rentang waktu yang lebih lama dalam membersamai anak-anaknya daripada sang suami. Maka pembinaan istri menjadi kewajiban suami.


Hal tersebut tidaklah mudah, mengingat tabiat wanita yang lebih mengedepankan perasaan daripada akal. Meskipun demikian, pembinaan istri harus tetap harus berlanjut. Dan suami tidak boleh  menyalahkan istri yang masih saja membebani pundak sang suami. Karena istri adalah tanggung jawab suami.


Rasa lelah dan kesibukan suami dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga merupakan hal yang tidak bisa ditinggalkan. Jangan sampai justru suami menyandarkan nafkah keluarga kepada sang istri. Karena dominasi istri terhadap nafkah keluarga akan menjadi jalan setan untuk menjadikan istri durhaka kepada suaminya.


Bagaiman suami akan mengatur dan membina istrinya jika dia sendiri lemah untuk berdiri sebagai atap yang kokoh bagi keluarga?


Sesibuk apapun haruslah ada waktu yang disisihkan untuk keluarga. Bercengkerama dengan anak dan istri, berkomunikasi baik dengan mereka akan dapat membangun kedekatan dengan anggota keluarga.


Berapa banyak istri yang berbuat hal yang diharamkan oleh Allah disebabkan kurang perhatian suami terhadapnya. Kepala rumah tanggalah yang harus bertanggung jawab atas anggota keluarganya.


Firman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak menduhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At-Tahrim: 6).


Imam Ali, Qotadah dan Mujahid menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, "Jagalah diri kalian dari api neraka dengan perbuatan amal kalian dan jagalah keluarga kalian dengan wasiat kalian." (Tafsir Al-Qurtubi).


Kepala rumah tangga yang diemban suami mempunyai tanggungbjawab terhadap diri sendiri untuk menjaga dirinya dari ancaman api neraka. Dan berkewajiban pula untuk menjaga keluarganya dari terjerumus ke dalam api neraka.


*irlind



Sumber:
Jendela Keluarga. Media PPI Al-Ittihad. Mumtaza edisi 21

Rindu Itu Memang Berat





Setiap orang mempunyai kenangan yang membuatnya merasa rindu. Buliran air mata jatuh tak tertahankan ketika memori itu muncul. “Oh..betapa rindu dengan masa-masa itu.”


Orang tua merindukan anak-anaknya yang kini telah dewasa dan merantau ke negeri seberang. Entah sudah berapa tahun ia pergi meninggalkan ayah ibunya demi menuntut ilmu atau bekerja. 
Kini, di rumahnya terasa sepi. Tidak ada canda tawa bersama putra-putrinya. Rindukah? Iya, pasti!


Dulu ketika masih muda, berkumpul dengan teman-teman seperjuangan. Susah senang dijalani bersama. Tali ukhuwah Islamiyah yang mempersatukan di jalan dakwah. Saling menguatkan ketika lemah. Saling menasehati ketika khilaf.


Setelah masing-masing mulai sibuk dengan urusan pribadinya, sudah berpisah tempat dan tidaak bisa bertemu lagi. yang hadir tinggallah kenangan masa lalu. Meski masih bisa saling sapa via WhatsApp atau aplikasi lainnya, tapi rindu suasana ketika berkumpul dulu tidak bisa hilang begitu saja.


Teringat syair ‘Rindu’ yang dibawakan oleh grup nasyid Hijjaz.


Rindu itu adalah anugerah dari Allah
Insan yang berhati nurani, punyai rasa rindu.


Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa rindu adalah sebuah rasa yang Allah berikan kepada manusia. Jadi tidak mungkin jika ada manusia normal yang tidak pernah merindukan sesuatu. “Kamu jangan bohong! Pasti pernah merasa rindu kan?”


Rindu pada kedamaian
Rindu pada ketenangan
Rindu pada kesejahteraan
Dan juga kebahagiaan


Sebagai manusia biasa yang hidup bersosial dan bermasyarakat pasti menginginkan kehidupan yang damai, tenang, sejahtera dan bahagia. Kita tidak bisa bayangakan bagaimana perasaan saudara-saudara kita yang tinggal di daerah konflik. Setiap hari mereka diteror, dihujani bom, diburu, dipenjara, dan dihinakan seperti binatang. Allahu musta’an. Pasti mereka merasa rindu dengan suasana damai dan bahagia seperti sebelum malapetaka itu datang menghantui hari-harinya. Maka bantu dan senantiasa doakan mereka.


Orang-orang bertaqwa
Rindu akan kebenaran
Kejujuran dan keikhlasan
Keridhaan Tuhannya


Hidup di akhir zaman sungguh berat. Banyak fitnah yang berhempas. Kabur antara haq dan bathil. Sebagai seorang muslim dan mukmin pasti merasa rindu ketika membuka lembaran sejarah khilafah Islamiyah yang jaya. Sebuah masa dimana harkat dan martabat seorang muslim dijunjung tinggi. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan hukum dan tolak ukur kebenaran. Sungguh indah masa-masa itu. Tak kuasa menahan air mata berjatuhan membasahi lembaran-lembaran itu.


Orang mukmin merindukan
Anak-anak yang saleh
Istri-istri yang salehah
Keluarga bahagia


Setiap insan mukmin pasti menginginkan semua anggota keluarganya adalah orang-orang saleh yang menjadi penyejuk mata. Akan tetapi hal tersebut tidak mudah direalisasikan kecuali dengan pertolongan Allah. Ada keluarga yang diuji dengan hadirnya anak yang nakal dan bandel. Ada pula yang diuji dengan istri atau suami yang pembangkang, tidak mau melaksanakan perintah Allah. Bahkan keluarga nabi pun ada yang demikian. Seperti istri nabi Luth yang munafik, dan anak nabi Nuh yang kafir. Na’udzubillah min dzalik.


Para pecinta kebenaran
Rindukan suasana
Masyarakat terjalin
Aman dan sejahtera

Merindukan tegaknya
Kalimah Allah di muka bumi
Dan dalam merindukan
Keampunan Tuhannya

Dan seluruh umat itu
Merindukan cahaya
Yang menyinari kehidupan
Rindu kepada Tuhan


Kita rindu tegaknya kembali kalimah Allah di muka bumi. Yang denganya kehidupan manusia menjadi aman dan sejahtera di bawah naungan Islam. Para pengusung dakwah dan jihad sedang berusaha keras menuju ke arah itu. Maka dukunglah! Masuklah ke dalam barisan mereka. Agar engkau beruntung dan tidak menyesal di kemudian hari.


Manusia hidup ada batasnya. Masing-masing sudah ditentukan ajalnya. Semua akan kembali kepada Allah. Sungguh malang jika hidup di dunia yang sebentar ini sia-sia begitu saja. Tidak ada persiapan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. 


Seluruh umat Islam pasti menginginkan syurga sebagai tempat persinggahan akhir mereka. Dan puncak kebahagiaan seseorang adalah ketika ia bisa menatap wajah Rabbnya secara langsung tanpa hijab. MasyaAllah


Apakah kalian tidak rindu pada Rabbmu? Dia yang menghidupkanmu dan memenuhi segala kebutuhanmu. Dia yang memberi cahaya di hatimu. Sehingga engkau bisa merasakan nikmatnya iman dan Islam. 



 *irlind