Rabu, 03 Juli 2013

Macam-Macam Ad-Daar

A.   MUQODDIMAH
Secara etimologis kata ‘daar’, memiliki makna yang relatif luas, mencakup tanah lapang, bangunan, tempat kediaman, dan seluruh tempat yang singgahi oleh komunitas manusia. Menurut penuturan Ibnu Jinni, ‘ad-daar’ berasal dari kata kerja daaro – yaduuru (artinya beredar mengitari suatu tempat), disebut demikian karena seringnya manusia berdomisili di dalamnya (Lisaanul ‘Arob, bab dal- wawu- ro’). Al Qur’an menggunakan kata ‘daar’ dalam memberi predikat kepada surga dan neraka, bahwa surga adalah ‘Daarus Salaam’ karena ia merupakan tempat yang di dalamnya ada keselamatan, sementara neraka adalah ‘Daarul Bawaar’ karena di dalamnya terdapat kebinasaan (Al Kasaani, Al Badaa-i’ ash Shonaa-i’, hal 519). Ringkasnya, ‘daar’ secara bahasa merujuk pada arti tempat. Dalam hal ini ‘ad-daar’ juga bermakna ‘Negara’.
B.  YANG MELATAR BELAKANGI PEMBAGIAN AD-DAAR
Buroidah berkata :  
“Rasulullah bila mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus baginya dengan taqwa kepada Allah 'Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin lainnya juga dengan kebaikan-kebaikan. Lalu bersabda : Berperanglah fisabilillah atas nama Allah........, lalu ajaklah mereka untuk pindah dari negeri mereka ke negeri muhajirin.....!” (H.R. Muslim)

Para ulama' berkata, “ مِنْ دَارِهِمْ " maksudnya negeri kafir, sedangkan " دَارِ  الْمُهَاجِرِبْنَ " maksudnya Dar al-Islam.  
Juga terdapat perkataan sahabat yang membedakan daarul kufri dan daar Islam secara Ijmal.
I           1. Ibnu Abbas berkata :  
“ Sesungguhnya Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar adalah termasuk para Muhajiriin, karena mereka telah hijrah dari kaum musyrikin Makkah. Sedangkan di kalangan anshor juga terdapat muhajirin karena semula Madinah adalah sebuah Darusy-Syirk, sehingga mereka pergi (hijrah) kepada Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam  pada malam Lailatul 'Aqobah.” (An-Nasaa’iy, Shohih, No. 4169.)
      2. Az-Zuhri berkata:  
“Sesungguhnya Darul-Islam, dapat dibedakannya dengan Darul-Harbi setelah Fathu  Makkah”. (Dr. Isma’il, Ikhtilafud-Daroyn)

Dari hadits dan atsar diatas menunjukkan bahwa sebenarnya pembagian Darul kufr dan Darul Islam sudah ada. Tetapi penentuan sifat dan ciri-cirinya adalah  ijtihadiyah  para ulama'.  Ijtihadnya para ulama' akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang mereka alami.  Setiap ulama' pada masa tertentu adalah yang lebih tahu tentang keadaan zaman yang mereka alami.
Dalam hal ini telah jelas bahwa ad-daar (Negara) terbagi dua jenis, kalau bukan Darul Islam (Negara islam) maka Negara itu Darul Kafir, tidak ada Negara selain dua jenis itu, yang demikian dikatakan oleh Al-Allamah Ibnu Muflih Al-Hambali rahimahullahu dalam Adab asy-Asyar’iah (1/212). Adapun perkataan Darul Fasiq, Darul Bid’ah atau Darul Fitnah maka yang demikian dilihat apakah negeri-negeri yang disebut demikian itu sudah termasuk dikategorikan dalam Darul Kafir atau masih dikategorikan Darul Islam, maksudnya apakah negeri-negeri itu tingkat kefasikannya atau kebid’ahannya itu sudah membuat negeri itu jatuh dalam kategori Darul Kafir atau tidak.

Para pakar fiqh mengalamatkan istilah Darul kufr dan Darul Islam pada suatu fakta yang ditunjukkan oleh syara’. Sama seperti istilah Aqidah Islam, ia muncul secara konvensional, akan tetapi ia dialamatkan kepada sesuatu yang memiliki fakta di dalam nash-nash syara’ yakni, masalah-masalah keimanan (Mahmud Syaltut, Al Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan, hal. 9). Berbeda dengan kata ash-sholah, ia merupakan istilah yang digunakan oleh nash-nash syara’ dengan pengertian tertentu. Maka agar pengertian Darul kufr dan Darul Islam menjadi jelas, semua pihak perlu menyepakati dasar permasalahan yang melatarbelakangi kategorisasi tersebut.

Selain itu para pakar hukum Islam juga sering menyinggung istilah Darul kufr dan Darul Islam, khususnya dalam membahas ketentuan hukum yang mengatur relasi antara Negara Islam dengan wilayah-wilayah lain yang ada di luar batas yurisdiksinya. Meski demikian, tidak ada konsensus ulama mengenai fakta yang dikehendaki oleh istilah tersebut.

Terkait dengan hal ini, sekelompok ulama menyatakan: “Semua negeri yang di dalamnya kaum muslimin bisa menyerukan adzan, mendirikan sholat jama’ah, dan merayakan dua hari raya secara bebas, maka negeri itu tergolong darul Islam”. Adapun Taqiyuddiin An Nabhani menyatakan: “daerah yang menerapkan sistem Islam, menegakkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan keamanannya ada di tangan Islam, dinamakan Darul Islam, meskipun mayoritas penduduknya nonmuslim. Sedangkan daerah yang tidak memenuhi dua karakter tadi, dinamakan Darul Kufur, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam”(Mafaahiim Hizbit Tahrir, hal. 35). Dengan dua batasan ini –penerapan hukum Islam dan keamanan di tangan Islam-, beliau secara tegas menyatakan: “maka sesungguhnya seluruh negeri-negeri Islam sekarang ini merupakan Darul Kufur, karena negeri-negeri tersebut tidak berhukum dengan hukum Islam” (Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Jilid 2, hal. 250).

Adapun sebagian   ulama   kontemporer   seperti  Dr.  Wahbah   Zuhaili   dalam bukunya   “Atsarul  Harbi   Fi  Al-Fiqahi  Al   Islami”  menyatakan   bahwa pembagian dunia menjadi dua negara seperti ini tidak berdasar dalil baik dalil Al Qur’an maupun as sunah, pembagian ini hanyalah sekedar ijtihad para ulama setelah masa kenabian dan masa shahabat. Harus   diketahui   bahwa   pembagian   ini   adalah   pembagian   yang sudah menjadi ijma’ para ulama, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, sedang ijma’ pasti berdasar dalil Al Qur’an atau as sunah,  sebagaimana dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 7/39.  Berikut dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjadi sandaran dalam pembagian ini. Dan ini semua membantah orang yang menganggap pembagian dunia menjadi  dua bagian sebagai  sekedar ijtihad ulama semata.
1. Dari ayat Al Qur’an:
a. QS. Ibrahim: 13
“Orang-orang   kafir   berkata   kepada   rasul-rasul   mereka: "Kami sungguh-
sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama 
kami".
b. QS. Al A’raaf: 88
 “Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata:"Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari  kota kami,  kecuali  kamu kembali  kepada agama  kami"
Kata gabung dalam dua kalimat “negeri kami” dan “kota kami”, yaitu  penggabungan kata negeri dan kota kepada kata ganti pembicara “kami”, merupakan   kata   gabung   yang   menunjukkan   kepemilikan   (idzafatu tamaluk). Negeri kami dan kota kami artinya adalah negeri orang-orang kafir dan kota orang-orang kafir, yang dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang kafir, dengan segenap perintah, larangan dan kekuasaan di tangan mereka.  Karena  itulah,  mereka mengancam para  rasul,  dan  inilah  sifat Daarul kufri.
c. QS. An Nisa’: 97
”Sesungguhnya   orang-orang   yang   diwafatkan   malaikat   dalam   keadaan menganiaya   diri   sendiri,   (kepada  mereka)  malaikat   bertanya:"Dalam  keadaan bagaimana   kamu   ini".  Mereka   menjawab:"Adalah   kami   orang-orang   yang tertindas di negeri (Mekah)".  Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah  itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu".
d. QS. Al  Mumtahanah: 10
”Hai   orang-orang   yang   beriman,   apabila   datang   berhijrah   kepadamu perempuan-perempuan   yang   beriman,  maka   hendaklah   kamu   uji   (keimanan)  mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah  mengetahui   bahwa   mereka   (benar-benar)   beriman   maka   janganlah   kamu kembalikan mereka kepada   orang-orang kafir   (suami-suami  mereka)”.
e. QS. Al Anfal : 72
“Dan  (terhadap)  orang-orang yang beriman,   tetapi  belum berhijrah,  maka  tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.”
Nash-nash yang secara khusus berkaitan dngan hijrah ini dengan jelas sekali menunjukkan adanya dua negara ; Daarul Islam dan Daarul kufri. Karena setiap kali disebutkan kata hijrah dalam syariat, maka maknanya adalah berpindah dari Daarul kufri kepada Daarul Islam.
f. QS. Al A’raaf :145
“…nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik”.  
2. Dalil  dari  As-Sunnah:
Hadits-hadits yang mewajibkan hijrah  telah menunjukkan pembagian dunia menjadi dua negara.
a. HR. Abu Daud dengan sanad mursal shahih.
“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik, supaya api  keduanya  tidak bertemu.”
b. HR. Ahmad. Imam Al Haitsami mengatkan ; perawinya para perawi  ash shahih.
“Hijrah   tidak   akan   pernah   berhenti   selama  masih   ada  musuh   yang diperangi”.
c. HR. An Nasa-i dengan sanad hasan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya.
“Setiap  muslim  atas  muslim  lainnya  itu haram  (menggangu   harta   dan nyawanya).   (Setiap  muslim  atas  muslim  lainnya   adalah)  Dua saudara yang saling menolong. Allah  tidak menerima amalan  seorang musyrik yang masuk Islam  sampai   ia  mau bergabung   dengan   kaum muslimin   dan  meninggalkan orang-orang musyrik.”
Selain hadits-hadits tentang wajibnya hijrah, dalil lainnya antara lain :
a. HR Muttafaq ‘alaihi.
“Dari   Ibnu   Umar   bahwasanya   Rasulullah   melarang   bepergian   dengan membawa Al Qur’an ke negeri (daerah) musuh.”
b. Hadits Ibnu Abbas yang panjang tentang hukum rajam, dimana di dalamnya abdurahman bin Auf  berkata kepada Umar  bin Khatab saat masih di Mina : ”Undurkanlah   sampai   engkau   pulang   ke  Madinah   karena   sesungguhnya Madinah itu adalah negara hijrah dan sunah.” HR. Bukhari no. 6830.
c. Hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa-i dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar adalah kaum muhajirin karena mereka berhijrah (meninggalkan) orang-orang musyrik. Dan di kalangan ansharpun  ada   yang  tergolong muhajirin  karena Madinah  dahulunya adalah daaru syirki (negara syirik),  kemudian mereka datang kepada Rasulullah pada malam (bai’ah) Aqabah.”
d. Hadits Abu Hurairah tentang kisah hijrahnya, ia mengatakan : ”Ketika saya datang kepada nabi, di jalan saya mengatakan : Duhai alangkah panjang dan beratnya malam hari Karena meninggalkan daaratul kufri. Seorang budakku yang menemaniku melarikan diri  di  tengah  jalan. Ketika aku mendatangi nabi, aku membaiatnya, tiba-tiba datanglah budakku yang lari itu. Rasulullah bersabda,”wahai  Abu  Hurairah, ini lho budakmu ! Aku menjawab,” Ia untuk wajah Allah. Aku memerdekakannya.” [HR. Bukhari no. 4393].
Ibnu mandhur mengatakan,” Secara bahasa,  daaratun artinya daar (negara).”Lisaanul Arab 4/298, Daaru Shadir, Beirut.
e. Hadits Aisyah  tentang kisah budak perempuan yang berhijrah yang dituduh mencuri sebilah pedang. Dalam hadits itu disebutkan :  “Dٍari Aisyah bahwasanya ada seorang budak perempuan hitam di sebuah kampung arab. Mereka memerdekakan budak perempuan hitam  itu dan  ia  lalu tinggal   bersama   mereka.   Pada   suatu   hari seorang   anak perempuan yang memakai gelang kulit bertabur mutiara mendatangi budak perempuan itu. Anak perempuan   itu  meletakkan   gelangnya–atau  gelang  itu  terjatuh---, tiba-tiba lewatlah seekor burung Hud-Hud  kecil yang lantas mematuk gelang itu karena mengiranya sekerat daging. Penduduk kampung  itu mencari-cari gelang itu, namun mereka tidak menemukannya, maka mereka menuduh sayalah pencurinya. Mereka menggeledahku, bahkan sampai memeriksa kemaluanku. Demi Allah, saat aku berdiri di tengah mereka itulah, tiba-tiba burung Hud-ud kecil tadi melemparkan kembali  gelang  itu kepada mereka.  Aku katakan,”  Ini, lho,  yang kalian  tuduhkan kepadaku  tadi. Kalian mengira  aku pencurinya,  padahal  aku tidak melakukannya.   Ini  dia gelang  tersebut.” Budak perempuan  itu kemudian mendatangi  Rasulullah  shalallahu  ‘alaihi  wa salam dan masuk Islam. Aisyah rhadiyallahu  ‘anha berkata,” Budak perempuan  itu mempunyai gubuk kecil  di masjid.   Ia   biasa  datang  kepadaku  dan  bercerita.  Tidaklah  ia berada disisiku kecuali ia selalu mengatakan : Hari gelang mutiara merupakan keajaiban dari Rabb kita, Allah lah yang telah menyelamatkanku dari baldatul kufri. Aku (Aisyah) bertanya kepadanya,” Kenapa kamu selalu mengatakan hal itu setiap kali bertemu denganku ?” Budak perempuan itu kemudian menceritakan kisahnya kepadaku (Aisyah).” [HR. Bukhari no. 439].
Baldatul   kufri   dalam  hadits   ini   adalah  Daarul kufri, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar ketika menerangkan hadits ini,” hadits ini  menunjukkan keutamaan berhijrah dari  Daarul  kufri.” [Fathul  Baari 1/535].
Nash-nash  ini  menunjukkan bahwa pembagian dunia menjadi  dua negara: Daarul   Islam dan Daarul  kufri  adalah suatu pembagian yang berdasar kepada Al Qur’an, As Sunnah dan diriwayatkan dari  generasi shahabat.  Nash-nash  ini  juga menunjukkan bahwa hijrah   dari negara kedua (Daarul kufri) menuju negara pertama (Daarul Islam) adalah wajib. Lebih dari itu, dalam Al Qur’an dan as sunah---dalam nash-nash di atas---ada beberapa  istilah khusus untuk  menyebut kedua negara  tersebut, seperti Daarul hijrah wa sunah, Daarul syirki, daaratul kufri dan baldatul kufri.

B. FAKTOR UTAMA DALAM MENENTUKAN ISLAM DAN KAFIRNYA SEBUAH AD-DAAR
1. Faktor pengaruh, dan kekuasaan
As-Sarkhosiy dari kalangan ulama' Hanafiyah berkata, “Yang menjadi faktor dalam penentuan sebuah daar adalah penguasa, dan kekuatan yang menentukan berlakunya hukum-hukum”. (Al-Mabsuth, X/23.)
Ibnu Hazm Ad-Dhohiriy  berkata, “Keadaan sebuah dar ditentukan oleh penguasa dan pemerintahannya (rajanya)”. (Al-Muhalla, No Bahasan 2198, Jilid XI hal 200)
Demikian juga yang dikatakan oleh ketua para qodli tertinggi di Mamlakah 'Arobiyah As Su'udiyyah, ”Kami beritahukan kepada antum bahwa faktor tergantung kepada pemegang pemerintahan, pemegang kebijaksanaan, dan pengaruh di suatu negeri Islamiyah, walaupun disana terdapat kufar. Tetapi kalau yang memegang kufar (selain kesatuan muslimin) maka negeri tersebut negeri  kafir, walaupun disana banyak kaum muslimin.”(Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabiilillah)
Imam Ar-Rofi’i berkata: ”Eksistensi kaum muslimin itu bukanlah syarat dikatakan daarul Islam, Namun cukup sebagai syarat, negara tersebut di bawah kekuasaan Imam dan keIslamannya.”(Al-Fathul ‘Aziz VIII/14, lihat juga Hasyiyatul Anwar Li A’malil Abror, karangan Haji Ibrhim).
Madinah menjadi Dar al-Islam  setelah  kekuasaan, pengaruh dan pemegang kebijaksanaan  adalah kaum muslimin. Makkah berubah menjadi Dar al-Islam ketika ditaklukkan (futuh) oleh muslimin. Abu Zahroh berkata, “Dar al-Islam adalah daulah yang dibawah pemerintahan muslimin, dan kekuasaan dipegang muslimin. Inilah negeri yang pantas bagi seluruh muslimin untuk masuk kedalamnya, dan jihad menjadi fardlu kifayah di dalamnya.”
Dengan pendapat inilah kebanyakan ulama'-ulama' sekarang berfatwa. 

Kenapa kekuasaan itu penting ?
Imam Abu Yusuf dan Imam Shaibaani berkata: “Suatu wilayah atau daerah akan diatributkan kepada kita (Islam) atau mereka (kafir) dengan melihat siapa yang memegang kekuasaan dan dengan melihat macam peraturan yang diterapkan atas wilayah tersebut.”
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, kepada mereka malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab:”adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).” Para malaikat berkata:”bukankah bumi Allah itu kuas sehingga kamu dapat berhijrah di negeri itu?” (QS.An Nisa (4) :97)

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Qur`an, bahwa kita diperintahkan untuk hijrah dari tempat di mana kita tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan menuju ke tempat di mana kita akan mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Ibnu Hazm berkata bahwa Rosulullah Salallahu ‘alayhi wassalam bersabda: ”Saya bebas dari setiap orang yang hidup di antara orang-orang musyrik dan gilirannya kembali kepada orang-orang muslim”. 
2. Faktor Idzharul Ahkam
Para Fuqoha' berkata, “Dar al-kufr menjadi Dar al-Islam dengan keberlakuannya hukum-hukum Islam, .... dan Dar al-Islam menjadi dar al-kufr dengan keberlakuannya hukum-hukum kufr. Jumhur  Fuqoha' berpendapat bahwa bila yang berlaku didalamnya hukum kafir, sedangkan syari'at Islam tidak dijadikan undang-undang, maka negeri tersebut adalah dar al-kufr, walaupun mayoritas penduduknya muslim....”. (Ushuluddin Al-Bashaladin, 280. Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyah, Ahkamu Ahli Dzimmah I/366)
Hal ini tersirat dari keterangan  Ibnu Taimiyah,  “Negeri Islam yang  berlaku di dalamnya hukum Islam, dengan  keadaan tentaranya kaum muslimin....” 

Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata: ”Setiap negara yang berjalan di dalamnya dakwah Islam tanpa harus dijaga dan dilindungi juga didalamnya dilaksanakan hukum Islam kepada ahli dzimmah kalau penduduknya adalah ahli dzimmah dan Ahli bid’ah tidak mengiasai ahlussunnah, maka ia adalah Daarul Islam dan jikalau sebaliknya maka ia adalah Daarul kufri.” (Kitab Ushulud Din, karangan Al-Baghdadi hal.270).

Dr. Abdullah Al Qodiriy  berkata, “Kesimpulannya, bahwa Dar al-Islam adalah negeri yang hukum islam lebih nampak sedang hukum kafir tidak nampak.”
Faktor kedua dan pertama selalu akan bersamaan. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Abdullah Al-Qodiriy,“...Hukum Allah tidak akan lebih nampak dan berlaku kecuali bila pemegang pemerintahan adalah kaum muslimin  yang komitmen dengan syari'at Islam dan menegakkan hukum-hukumnya di atas bumi. Tetapi yang dinomor-satukan adalah faktor  idzharul ahkam. Sebab sering  terdapat sebuah negeri berpenduduk muslimin yang tertaklukkan oleh kekuasaan  dan jajahan non Islam. Tetapi hukum-hukum Islam masih berbekas dan menjadi dominan, serta mereka tidak rela dengan penjajahan tersebut, maka negeri tersebut masih termasuk Dar al-Islam”. (Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabilillah)
Sebagaimana dikatakan Ustadz Abdul Qodir Audah, “Dan termasuk Dar al-Islam negri yang diperintah dan dikuasai selain muslimin, selama hukum-hukum Islam masih nampak, atau tidak ada larangan bila muslimin menegakkan hukum-hukum islam”. (‘Abdul Qodir Audah, At-Tasyri’ Al-Bina’i)

Adapun bila sebuah Dar al-Islam, lalu dijajah kuffar, dan menegakkan hukum kuffar, sekaligus memerangi hukum-hukum Allah, maka langkah yang lebih baik adalah menegakkan jihad untuk membela kalimatullah, apalagi kalau mayoritas daerah tersebut muslimin yang lemah. Sebagai penghormatan bagi para penegak jihad, negeri tersebut masih pantas mempunyai gelar sebagai negeri Islam yang harus dipertahankan. Adapun bila penduduk negeri tersebut berpangku tangan, tidak menegakkan jihad karena sudah merasa sebagai Dar al-Islam maka ini termasuk sebuah penyelewengan pemahaman Dar al-Islam. (Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabilillah).

Kenapa hukum islam dan peraturannya penting?
· Imam Al-Kasaani berkata:
“Tidak ada perselisihan/pertentangan pendapat diantara ahnaaf (ulama), tentang negara yang menjadi negara Islam yaitu ketika peraturan Islam menjadi dominan (diterapkan), akan tetapi terdapat perselisihan pendapat diantara saudara-saudara kita tentang negara Islam yang kemudian berubah menjadi negara kufur, Imam kita berkata, ”Negara Islam akan menjadi negara kufur jika ada dalam 3 kondisi, yaitu: 1) Ketika hukum dan peraturannya menjadi kufur , 2) Ketika daerah perbatasan negara Islam dengan negara kufur tidak ada perjanjian , 3) Ketika di negara Islam tersebut tidak memiliki keamanan lagi untuk orang-orang muslim dan kafir dhimmi.”
· Imam Al Sarkhaasi berkata:
“Suatu negara menjadi negara Islam ketika hukum-hukum Islam menjadi dominan (diterapkan)”. (Mabsut vol.10,p.114)
· Imam Ibnu Qoyyim berkata:
“Jumhur ulama berkata negara Islam adalah negara di mana kaum muslimin dapat pergi dan tinggal di sana dan peraturan-peraturan Islam dapat diterapkan jika masyarakat tinggal di suatu tempat dan Islam diterapkan maka daerah tersebut termasuk ke dalam negara Islam dan jika aturan Islam tidak diterapkan maka tidak bisa disebut dengan negara Islam meskipun negara tersebut dekat dengan negara Islam, Thaif adalah daerah yang dekat dengan Mekkah tetapi tidak menjadi negara Islam sampai ditaklukkan.” (Kitab Ahkam Ahl Dhimmah vol.1p.366)
· Imam Ibnu Muflih berkata;
“Hanya ada dua negara yaitu negara Islam (Darul Islam) dan negara Kufur (Darul Harb), negara-negara yang diterapkan hukum-hukum Islam adalah negara Islam dan negara yang diberlakukan hukum kufur atas daerahnya adalah negara kufur, sehingga hanya ada dua perkampungan masyarakat (yaitu masyarakat kufur dan masyarakat Islam)”. (Al Adaab Al Shari’ah vol.1 p.190) 
· Qadi Abu Yala berkata:
  “Setiap negeri yang menerapkan hukum-hukum kufur adalah negeri kufur”.
· Imam Al Mawardi berkata :
“Darul Harb adalah Darul Kufur di mana hukum-hukum kufur diterapkan di tempat tersebut”.

· Imam Saukani berkata :
“Ketika kita berbicara tentang negara, maka kita dapat menilai dengan melihat sesuatu yang mendominasi negara tersebut, jika aturan tersebut aturan  dan larangannya diperuntukkan bagi orang-orang muslim, kemudian di sisi yang lain tidak ada seorangpun dari orang-orang kafir yang bisa menampakkan kekufurannya kecuali dengan apa yang diakuinya dari aturan-aturan Islam maka negara tersebut adalah negara Islam.”

· Imam Abdullah Abu Butain (Salah satu ulama Najd) berkata :
“Negara ada 2 tipe yaitu negara Islam atau negara kufur, negara Islam adalah suatu negara di mana peraturan-peraturan Islam diberlakukan kepada semuanya walaupun seandainya tidak ada seorang muslim pun di sana tapi hukum-hukum Islam tetap diberlakukan dan jika kebalikannya maka negara tersebut adalah negara kufur”.

· Sayyid Quthb berkata:
“Negara yang ada di seluruh dunia dalam pandangan Islam dibagi menjadi dua bagian, yang pertama negara Islam  (Darul Islam), dan yang kedua negara kufur (Darul Harb), Negara Islam adalah negara di mana hanya syariat Islam yang diterapkan tanpa memperhatikan mayoritas dari penduduknya apakah semuanya muslim atau muslim dan kafir Dhimmi atau semuanya kafir Dhimmi dengan hanya beberapa muslim. Negara Kafir atau Darul Harb adalah negara yang memiliki beberapa wilayah yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur meskipun setiap orang yang ada di wilayahnya muslim.” (Fi Zhilal Al-Qur`an)
3. Faktor sya-a'ir, penduduk dan keamanan
Yaitu seperti masjid, adzan, jilbab, idul fitri dan lain-lain. Al Ustadz At Turoiqiy berkata, “Sedangkan bila ada sebuah daerah atau negeri yang  tidak terikat oleh sebuah kekuasaan yang ber-ideologi, maka yang menjadi pegangan adalah penduduk. Bila mayoritas muslim, maka negeri tersebut Dar al-Islam. Bila tidak, maka negeri tersebut dar al-kufr (Al-Isti'anah 174).

Syi'ar-syi'ar  Islam bisa menjadi faktor penentu. Sebagaimana pada zaman Rasulullah Sholallahu 'alayhi wa sallam kebanyakan negeri-negeri Arab adalah negeri badui yang terjauh dari arus politik sebuah ideologi dan kekuasaan zaman itu. Bila sya-a'ir dan penduduk di negeri tersebut berlaku, sudah barang tentu sya-a'ir akan menjadi cermin pertama negeri tersebut. Hal ini tersirat dalam keterangan Abdurrahman bin Mu'alla Al-Luhaiqiy, “Maksudnya sya-a'ir tersebut menjadi cermin pertama negeri tersebut (Al Ghuluw Fiddien : 335). Sebagaimana dalam hadits: 

“Rasulullah Sholallahu'alayhi wa sallam bila fajar telah menyingsing beliau mengadakan penyerangan. Beliau selalu meneliti untuk mendengarkan adzan , bila terdengar suara adzan maka beliau batalkan penyerangan, sedangkan bila tidak terdengar, maka beliau menyerangnya”. (H R. Muslim)

“Bila kalian melihat masjid atau adzan dikumandangkan dalam sebuah negeri, maka jangan memerangi seorangpun .....”(H.R. Abu Daud  No Hadits : 2635, Tirmidzi No : 1549)
Al Imam As Syafi'iy berkata : 

“Hukum suatu daar (kafir atau Islam) tergantung atas dibolehkan atau tidaknya penyerangan kepada negeri tersebut”. (Ar Risalah Imam Syafi’i : 300)

Sedangkan bila negeri tersebut jelas-jelas termasuk dari kekuasaan dan terikat oleh politik  Romawi (misalnya), niscaya Rasulullah tidak akan membiarkannya, mesti akan berusaha membebaskannya (futuh). Karena betapa banyak negeri-negeri yang membebaskan penduduknya  yang muslim untuk menegakkan sya-a'ir saja. Sedangkan selain itu mereka melarangnya dengan dalih demokrasi. Dinamainya sebuah daar dengan daar kafir tidak menjadikan bahwa seluruh yang berada di dalamnya sebagai kufar secara ithlaq. Sehingga Dar al-Islam adalah negeri milik seluruh Umat Islam di dunia dan tak terbatas oleh darah, etnis, atau suku bangsa. Kepadanyalah seluruh muslimin    -yang berada di darul-kufri-    berhijrah dan meminta bantuan. Maka Dar al-Islam adalah sinonim dari Jama'atul Muslimin atau negeri yang termasuk Jama'atul Muslimin. (Dr. Isma’il, Ikhtilafud-Daaroyn, hal 80)

C. TINJAUAN PENDAPAT ULAMA’ DALAM MENENTUKAN SUATU NEGARA ITU SEBUAH AD-DAARUL ISLAM
Dr. Abdulloh Ath-Thuroqi, setelah memaparkan perkataan para fuqoha’ beliau memberikan kesimpulan bahwasanya di kalangan para ulama ada tiga pendapat dalam menentukan suatu negara itu daarul Islam :
1. Pendapat yang menyatakan bahwa yang dijadikan patokan untuk menentukan negara itu negara Islam atau bukan adalah kekuasaan. Bila kekuasaan berada di tangan kaum muslimin, maka negara itu daarul Islam.
2. Pendapat yang menyatakan bahwasanya negara disebut Daarul Islam kalau hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum Islam (Idzharul ahkam).
3. Pendapat yang menyatakan suatu negara disebut Daarul Islam kalau negara tersebut dihuni kaum muslimin dan bisa melaksanakan sebagian syi’ar -syi’ar ta’abudiyah (ritual peribadahan)/syi’ar -syi’ar islam. 

Sesungguhnya pendapat pertama dan kedua tidaklah berbeda apalagi bertentangan. Karena keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Sebuah negara yang menjalankan hukum Islam tidak mungkin dipimpin oleh penguasa kafir dan begitu pula sebaliknya penguasa Islam tidaklah mungkin menjalankan hukum di dalam negaranya kecuali dengan hukum Islam, karena menjalankan hukum Alloh adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim. Untuk lebih jelasnya lihat pembahasan hukum riddah dalam makalah ini.

Dengan demikian yang dijadikan patokan di dalam menentukan status sebuah negara adalah penguasa dan hukum yang berlaku didalamnya. (Sayyid Quthb berkata:  ” daarul Islam mencakup setiap negeri yang dilaksanakan didalamnya hukum-hukum Islam dan diatur dengan syari’at Islam.Sama saja apakah penduduknya seluruhnya kaum muslimin atau kaum muslimin dan dzimmiyin atau seluruhnya dzimmiyin, akan tetapi para penguasanya orang-orang muslim Yang melaksanakan didalamnya syariat Islam dan mengatur negera tersebut dengan syari’at Islam” (Fii Dlilalil Qur’an II/874), lihatlah ungkapan Al-‘Ashimi An-Najdi yang semacam ini dalam kitab Hasyiyatur Roudh Al-Murobba’ V/521.

Ibnu Yahya Al-Murtadlo Az-Zaidi berkata:”Daarul Islam adalah yang menonjol di dalamnya dua kalimat syahadat dan sholat serta tidak nampak di sana satu unsur kekafiran, walaupun disebabkan ta’wil, kecuali dengan persetujuan, tanggungan dan jaminan keamanan dari kaum muslimin.Dan Dar al- kufri adalah yang kekuatannya dimiliki orang-orang kafir, dan tidak ada dzimmah (tanggungan) kaum muslimin terhadap mereka.”(‘Uyuunul Azhar Karangan Ibnu Yahya Al-Murtadlo hal.528) 

Asy-Syaukani memberikan komentar terhadap pernyataan ini: ”Yang dijadikan patokan adalah dhuhurul kalimah, apabila perintah-perintah dan larangan-larangan yang berlaku didalamnya milik umat Islam, sehingga orang-orang kafir tidak bisa mengumbar kekafirannya kecuali atas ijin dari kaum muslimin, maka ini adalah Darul Islam dan tidak membahayakan munculnya bentuk kekafiran didalamnya karena dia tidak muncul disebabkan kekuatan orang-orang kafir atau karena kekuasaan mereka, sebagaimana yang kita saksikan pada ahli dzimmah dari orang Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah-daerah Islam, dan begitu juga sebaliknya”.     ( As Sailul Jarar IV/ 575 dalam Ikhtilaafud Daaroin, hal. 30-32.)

Hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr.Ismail Luthfi Fathoni di dalam mendudukkan pendapat para fuqoha’, beliau berkata: ” Dan setelah kita paparkan perkataan para fuqoha’ tentang pengertian dua negara tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwasanya syarat utama disebut daarul Islam atau daarul kufri menurut mereka adalah hukum dan kekuasaan yang berlaku. Apabila yang berlaku di dalamnya itu hukum Islam dan berada di bawah kekuasaan kaum muslimin maka negara ini adalah daarul Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin tinggal di dalamnya dengan aman. Apabila hukum Islam tidak berlaku , kekuasaan dan kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul harb, walaupun di dalamnya ada kaum muslimin dan berbatasan dengan negara-negara Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin di sana tidak mempunyai jaminan keamanan dari kaum muslimin.” (lihat: Ahkam Ahlidz Dzimmah I/3 dan fatwa-fatwa Muhammad Rosyid Ridlo (158) I/372).

Dan dapat kita fahami secara pasti bahwa hukum Islam itu tidak akan mendominasi kecuali memang kekuasaan berada di tangan kaum muslimin yang melindungi hukum-hukum tersebut dari musuh-musuh yang mau menyerang penganutnya atau mau menghapusnya. Karena kekuasaan orang-orang kafir tidak akan mungkin melindungi hukum-hukum Islam maka tidaklah mungkin hukum-hukum itu berjalan kecuali sebagian syi’ar-syi’ar yang diijinkan oleh penguasa tersebut karena belas kasih dari mereka, itu pun pada batasan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum kafir yang berkuasa di dalamnya. Oleh karena itu tidaklah cukup hanya dengan berlakunya sebagian dari syi’ar-syi’ar ibadah sebagai belas kasih dari kekuasaan orang-orang kafir untuk dinamakan daarul Islam (haqiqotan wa hukman). Maka atas dasar inilah Imam Abu Hanifah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Al-Kaasaani : ”Sesungguhnya maksud dari penisbatan negara kepada Islam atau kafir bukanlah Islam dan kafir itu sendiri.”(Badai’ush Shonai’ VII/131). Artinya kalau keamanan itu secara mutlak bagi kaum muslimin dan ketakutan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul Islam dan kalau keamanan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir dan ketakutan itu secara mutlak bagi kaum muslimin, maka negara ini adalah daarul kufri.(-ibid-). Kemudian Al-Kaasaani mengomentari: ”Dan yang dimaksud dengan perkataannya ‘keamanan secara mutlak’ adalah tidak perlunya meminta perlindungan dan keamanan.”(-ibid-)

Dan perlu diperhatikan disini bahwasanya Imam Abu Hanifah memfokuskan pada seputar eksistensinya kekuasaan di samping berjalannya hukum di dalam menamakan sebuah negara, karena keamanan adalah tanda dari eksistensinya kekuasaan, sebagaimana yang dikatakan oleh As-Sarkhosi ketika memberikan definisi daarul Islam : ”Nama bagi sebuah tempat yang berada dibawah kekuasaan kaum muslimin, dan tandanya adalah kaum muslimin aman tinggal di dalamnya, adapun tempat yang kaum muslimin tidak aman di dalamnya maka tempat tersebut adalah bagian dari daarul harbi.” (As-Sirul Kabiir karangan Asy-Syaibani yang disyarh oleh As-Sarkhosi IV/1253). Dan di tempat yang lain beliau berkata: ”Yang dijadikan patokan pada sebuah negara adalah kekuasaan dan kekuatan di dalam memberlakukan hukum” (ibid, hal.1073).

Begitu pula tidak cukup hanya dengan keberadaannya di tangan kaum muslimin dan di dalamnya tidak berjalan hukum Islam. Dan atas dasar inilah As-Sarkhosi mengatakan: ”Dan hanya dengan penaklukan sebelum dijalankannya hukum Islam tidak merubah statusnya menjadi daarul Islam. karena kekuasaan tidaklah sempurna kecuai dengan menjalankan hukum Islam di dalamnya” (Al-Mabsuth X/23). Dan atas dasar inilah Sayyid Quthb mengatakan : Daarul Harbi adalah mencakup setiap negara yang tidak menjalankan hukum Islam dan tidak diatur dengan syari’at Islam. Dan tidaklah sama semua penduduknya, mereka mengatakan: ’Sesungguhnya mereka muslim atau sesungguhnya mereka ahli kitab sesungguhnya mereka orang-orang kafir (Fii Dlilalil Qur’an II/874 dan lihat Ma’alim Fith-Thoriq hal.145). 

M. Rosyid Ridlo berkata: ”Sesungguhnya banyak terdapat di negara-negara yang penguasanya orang-orang Islam, orang yang terkena musibah pada agamanya sehingga tidak mampu melaksanakan apa yang ia yakini dan tidak bisa mengerjakan segala apa yang wajib ia lakukan apalagi amar makruf nahi mungkar dan mengritik penguasa yang menyeleweng dari syari’at, negara semacam ini menurut sebagian ulama’ adalah daarul harbi.”(Fatwa-fatwa M. Rosyid Rudlo hal.145) . Hal ini disebabkan karena berlakunya hukum dan eksistensi kekuasaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, karena hukum Islam tidak akan berjalan di sebuah negara kecuali dengan eksisnya kekuasaan yang nyata bagi pemerintah muslim, dan tidaklah diijinkan bagi seorang penguasa muslim untuk mengatur kecuali dengan hukum Islam  dan ketika itulah pasti kaum muslimin hidup di dalamnya dalam keadaan aman. Oleh karena itu jumhur ulama’ membatasi perkataan mereka bahwasanya daarul harbi berubah menadi daarul islam dengan berlakunya hukum Islam di dalamnya. (lihat: Al-Fatawa Al-Hindiyah II/232, Bdai’ush Shonai’ VII/130, Hasyiyatu Daaril MukhtarIV/175,Al-UmmVII/333-334, Fatawa Muhammad Rosyid Ridlo no.1058 VI/2590). Karena sesungguhnya pendapat tersebut tidak menyatakan dengan jelas bahwasanya kekuasaan itu tidak di tangan kaum muslimin namun dapat kita pahami secara pasti dan secara eksplisit, selama hukum Islam itu berjalan. Atas dasar ini As-Sarkhosi mengatakan : ”Dan setiap tempat yang didominasi oleh hukum Islam maka kekuatan di dalamnya adalah milik Islam.”(Al-Mabsuth X/114) 

Adapun pendapat yang ketiga maka sesungguhnya diantara fungsi daarul Islam adalah menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti membangun masjid-masjid, mengumandangkan adzan, mengadakan sholat ‘Ied dan lain-lain. Oleh karena itu jika sebuah kampung meninggalkan sebagian dari syi’ar-syi’ar tersebut maka kewajiban imam memerangi kampung tersebut sampai mereka menegakkan syi’ar tersebut. Namun demikian syi’ar-syi’ar tersebut menjadi tidak berarti jika sesuatu yang lebih pokok dari pada itu diabaikan yaitu berlakunya hukum Islam yang tentunya tidak akan terwujud kecuali oleh penguasa Islam.

Hal ini tersirat dalam keterangan Abdurrahman bin Mu’alla Al Luhaiqiy, maksudnya sya’air tersebut menjadi cermin pertama negeri tersebut negeri tersebut (Al Ghuluw Fiddien: 335). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu a’alaihi wasallam :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرِ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ إِلاَّ أَغَارَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila fajar telah menyingsing beliau mengadakan penyerangan. Beliau selalu meneliti untuk mendengarkan adzan, bila terdengar suara adzan, maka beliau batalkan penyerangan, sedangkan bila tidak terdengar, maka beliau menyerangnya” ( HR Muslim ).
إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُنَادِيًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا ....
“Bila kalian melihat masjid atau adzan dikumandangkan dalam sebuah negeri, maka jangan memerangi seorang pun”( H.R. Abu Daud  No Hadits : 2635, Tirmidzi No : 1549)
Al Imam Asy Syafi’I berkata :
حُكْمُ الدَّارِ : الَّذِيْ يَمْنَعُ بِهِ اْلأَغَارَةُ عَلَى الدَّار
“Hukum suatu daar ( Kafir atau Islam), tergantung atas dibolehkan atau tidaknya penyerangan kepada negeri tersebut” (Ar Risalah Imam Syafi’i : 300.)

Sedangkan bila negeri tersebut jelas-jelas termasuk dari kekuasaan dan terikat oleh Politik Romawi ( misalnya ), niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan membiarkannya, dan pasti akan berusaha membebaskannya ( futuh ). 
Karena betapa banyak negeri-negeri yang membebaskan  penduduknya yang muslim untuk menegakkan sya-a’ir saja. Sedangkan selian itu mereka melarangnya dengan dalih Demokrasi . dinamainya sebuah daar (negara) dengan daarul kafir tidak menjadikan bahwa seluruh yang berada di dalamnya sebagai kufar secara muthlaq.
Sehingga daarul Islam  adalah negeri milik seluruh umat Islam di dunia, dan tidak terbatas oleh darah, ettnis, atau suku bangsa. Kepadanyalah seluruh muslim – yang berada di daarul kufri – berhijrah dan meminta bantuan. Maka daarul Islam  adalah sinonim dari Jama’atul Muslimin atau negeri yang termasuk Jama’atul Muslimin. (Dr. Isma’il, Ikhtilafud-Daaroyn, hal 80.)

Dengan demikian sesungguhnya sahnya penamaan Daarul Islam dan Daarul Harbi dimulai oleh para fuqoha’ dengan adanya dua syarat pokok, yaitu: belakunya hukum dan adanya kekuasaan. Apabila hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum Islam serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh imam kaum muslimin, maka negara itu adalah daarul Islam, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan aman secara mutlak, dan jika hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh orang-orang kafir, maka negara itu adalah daarul harbi, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan tidak aman (ibid hal. 30-35).
Mirip juga dengan pendapat ini adalah pendapat Dr. Abdulloh Ath-Thuroiqi dalam kitab beliau Al-Isti’anah bighoiril Mulimin lihat: Al-Isti’anah bi ghoiril Muslimin karangan Dr. Abdulloh bin Ibrohim bin Ali Ath-Thuoiqi hal.169-174.

Dengan demikian maka Daarul Islam Adalah: “Negara yang berjalan di dalamnya hukum-hukum Islam, diatur oleh kekuasaan kaum muslimin dan kekuatannya berada di tangan kaum muslimin” (Ini adalah pendapat Dr. Ismail Luthfi Fathoni, ibid hal. 30). Maka dengan secara otomatis syi’ar-syi’ar Islam akan tegak dan keamanan akan terjamin bagi umat Islam.

D. DARUL ISLAM DAN DARUL KUFRI
1. Darul Islam
Telah jelas bahwa Darul Islam adalah wilayah yang dikuasai orang-orang muslim, didalamnya berlaku hukum-hukum  islam, pengaruhnya ada ditangan orang-orang muslim, meskipun ada orang-orang kafir yang menetap disana. Darul Islam Mempunyai dua pilar yang utama:
a. Hukum Islam dan peraturannya
b. Kekuatan dan kekuasaan 

Jika 2 pilar tersebut dapat diraih kembali, maka negara Islam niscaya tidak lama lagi akan tegak. Beberapa syarat untuk tegaknya pilar-pilar tersebut:
a. Harus ada propinsi (wilayah tertentu)
b. Harus ada warga negara
c. Harus ada pemimpim
d. Harus ada hukum dan peraturannya

 Abdul Wahhab Kholaf mengutip ungkapan sebagian fuqoha, bahwa Darul Islam adalah “wilayah yang didalamnya berlaku hukum-hukum Islam dan orang yang ada di dalamnya mendapatkan keamanan dengan kemamanan Islam, baik mereka itu muslim maupun dzimmi” (Abdul Wahhab Kholaf, Politik Hukum Islam, hal. 82)

Abdul Karim Zaidan menambahkan “Syarat paling penting untuk menggolongkan suatu wilayah menjadi Darul Islam ditinjau dari kenyataan bahwa wilayah itu diperintah oleh umat Islam di bawah kedaulatan dan kekuasaan mereka, dan hukum yang tampak di dalamnya adalah hukum Islam. Dan tidak disyaratkan bahwa wilayah itu harus dihuni oleh umat Islam selama ia masih di bawah kekuasaan mereka. Dalam hal ini Imam Ar Rofi’i menuturkan “Darul Islam tidak disyaratkan harus dihuni oleh umat Islam, akan tetapi yang penting ada di bawah kekuasaan Imam dan Islam”. (Zaidan, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fi Daril Islam, hal 19)

Dalam konteks inilah, Kholid bin Walid menyatakan dalam suratnya: “Dan saya tetapkan bagi mereka, barang siapa yang sudah tua dan tidak mampu bekerja, atau tertimpa musibah, atau asalnya kaya kemudian miskin, maka orang-orang yang seagama dengannya memberi shodaqoh untuknya, sementara pembayaran jizyahnya dibebaskan, dan nafkahnya ditanggung oleh Baitul Mal begitu pula keluarganya, itu selama orang tersebut masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam, namun apabila ia keluar dari darul Hijrah dan darul Islam, maka kaum muslimin tidak berkewajiban memberi belanja dan nafkah keluarga mereka” (Abu Yusuf, Al Khoroj, hal. 144).

Melalui ungkapan di atas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud Darul Islam oleh Kholid radhiallahu ‘anhu adalah daerah yang dikuasai oleh Islam dan diatur dengan hukum Islam. Sebab, siapa saja yang ada di sana menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusinya. Akan tetapi, apabila dia keluar dari wilayah tersebut, maka dia sudah di luar jangkauan hukum dan kekuasaan Islam.

Adapun Darul Harb, Az Zuhaili mendefinisikannya sebagai “wilayah yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam, baik sebagai hukum agama maupun politik, karena letaknya yang ada di luar wilayah kekuasaan Islam” (Az Zuhaili, Atsarul Harb, Hal, 170). Abdul Wahhab Kholaf menukil pernyataan sebagian fuqoha, bahwa Darul Harb adalah “daerah yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan penduduknya tidak dilindungi dengan keamanan Islam” (Politik Hukum Islam, hal. 82)

Jadi, daerah di luar Darul Islam tergolong wilayah kekufuran alias wilayah perang (darul kufur/darul harb/teretory of war), dimana masyarakatnya tidak diatur menggunakan hukum Islam, jiwa serta harta mereka tidak dijamin oleh kekuatan Islam (Abdul Karim Zaidan, Ahkam adz Dzimmiyin wal al Musta’minin fi Daril Islam, hal. 20) dan jihad untuk menaklukkan wilayah tersebut  hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin (Abu Zahroh, Al ‘Alaqot ad Dauliyah fil Islam, hal 56). Jika suatu Darul Kufur berhasil di taklukkan, dikuasai oleh umat islam dan ditegakkan hukum-hukum Islam di dalamnya, maka statusnya berubah menjadi Darul Islam (Al Kasani, Bada’i’ ash Shona-i’, hal. 519).

Wahbah Az Zuhaili menuturkan: “seluruh wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Islam di dalamnya diterapkan hukum-hukumnya dan ditegakkan syariat-syariatnya maka telah menjadi Darul Islam, kaum muslimin wajib mempertahankannya ketika ia diserang sebagai kewajiban kifayah sesuai kebutuhan, namun (jika sebagian saja tidak mencukupi) maka menjadi fardhu ‘ain” (Az Zuhaili, Atsarul Harb fil Islam)

Tipe-Tipe Darul Islam
Sekarang ini tidak ada negara Islam, begitupun  juga  jika kita mengklasifikasikan negara Islam fakta yang ada sekarang tidak ada. Kita saat ini membicarakan negara Islam dan macamnya pada masa lampau, dan masa yang akan datang (semoga segera berdiri-Aamiin-Allohu Musta’an).
a. Darul Baghie (Daerah Pemberontakan)
Daerah ini masih dalam bagiannya negara Islam, bukan dalam bagian negara kufur. Daerah ini dimasukkan ke dalam Darul Baghie, ketika masyarakat yang ada di sana melakukan pemberontakan  melawan pemerintahan Islam, seperti daerah Khawarij, Al Haruriyyah yang dikenal sebagai darul baghie, ketika mereka melawan Shahabat Rosulullah. Ibnu Abbas menyebutnya dengan Darul Baghie dan menyebutnya sebagai Kufr duna kufr (kufur dunia). Kebalikan dari  daerah ini adalah Darul ‘Adl. Daerah ini merupakan bagian dari Darul Islam (negara Islam), tetapi jika kemudian terdapat pemberontakan terhadap Darul Islam maka disebut Darul Baghie, tetapi tidak meliputi semua bagian dari negara Islam.

b. Darul Fusuq/Darul Fasiq (Daerah Dosa)
Daerah ini disebut Darul Fusuq ketika terjadi beberapa perbuatan fasiq yang berkembang di beberapa bagian daerah dari pemerintahan Islam, misalnya Ja’far bin Mubashir adalah salah seorang yang berkata bahwa “hijrah adalah fardhu  dari tempat perbuatan fasiq (bagian daerah pemerintahan Islam)”. Mereka membuat qiyas atas hijrah dari negara kufur, tetapi ini merupakan qiyas yang tidak beralasan/tidak tepat, sebagaimana kamu tidak dapat menggunakan qiyas negara Islam sebagai negara kufur. Misal ketika musik mulai menyebar di setiap tempat dan khalifah tidak mensahkannya tetapi tidak juga menindaknya maka hal ini akan menjadi suatu ucapan tentang kekufuran (Kufr duna kufr). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : ”Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau  kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir dalam jahannam” (Q.S. An Nisa’ (4) :140).

Satu dari macam-macamnya yaitu berupa ejekan mengatakan perkataan-perkataan kotor tentang apa yang telah diketahuinya sebagai suatu yang penting/perlu tetapi mengatakan “saya tidak butuh akan hukum syara, berhukum kepada thoghut. Jika kamu berada dalam situasi antara semua kefasikan dan kekufuran, maka kamu harus menghindari/menjauhi kejahatan dan kamu harus meninggalkan mereka semuanya. Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami maka tinggalkan olah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaiton menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dholim sesudah (akan larangan itu)” (Q.S. Al An’am (6) : 68).

Al-Khaud adalah ketika kamu berbicara tentang sesuatu bahwa mereka tidak layak untuk berkata mengenai hal tersebut, kita tidak pergi ke tempat pertemuan dimana orang-orang berbicara tentang hawa nafsu dan bid’ah. Darul Fisq dijelaskan dalam hadist dari Sa’id AlKhudri bahwa Rosulullah saw bersabda: ”Ada seseorang sebelum kamu yang membunuh 99 orang kemudian ia  mendatangi seorang pendeta dan berkata,”Aku telah membunuh 99 orang, maka apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat, pendeta itu berkata”Tidak, kemudian dia membunuh pendeta itu dan ia melakukan pembunuhan menjadi 100 kali. Setelah itu ia mendatangi seorang pendeta yang lain,”Aku telah membunuh seratus orang, maka apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat? Pendeta itu berkata,”Ya, pergilah kamu ke tempat di mana  masyarakatnya adalah orang-orang yang melakukan ibadah pada Allah dan janganlah kembali ke rumahmu, karena sesungguhnya ia daerah Fisq (kemudian dia mati di jalan itu (dalam keadaan taubat))”. (HR.Bukhori)

Suatu tempat di mana dia hidup adalah tempat orang-orang fasiq, tempat orang-orang yang melakukan kefasikan, dan dia dituntut atas hal tersebut karena tidak ada taubat, tetapi masih ada taubat untuk segala macam dosa kecuali syirik.  Imam Syaukani berkata :  “Darul Fisq adalah tempat dimana perbuatan dosa tersebar tetapi bagi muslim yang ada di sana harus meninggalkan tempat tersebut dan orang-orang yang ada di sana harus di hukum dan tempat tersebut akan dikenal sebagai Darul Ma’assi sampai kekufuran berkembang di sana (kemudian akan menjadi Darul Kufr)”.

c. Darul Dhimmah (Daerah yang dihuni oleh orang-orang kafir yang terikat perjanjian dengan penguasa muslim/khalifah)
Darul Dhimmah adalah bukan Darul A’had, sebab Darul A’had berada dalam Darul Kufur . Darul Dhimmah adalah klasifikasi dari negara Islam, ketika terdapat orang-orang kafir dhimmi tetapi daerah tersebut bisa juga dihuni oleh bukan orang-orang kafir dhimmi yaitu orang-orang muslim. Misalnya Khaibar dibawah kepemimpinan Rosulullah saat itu adalah Darul Dhimmah, dijelaskan bahwa: ”Jika seorang amir dari beberapa pasukan mengelilingi musuh untuk beberapa kota kemudian beberapa dari mereka (penduduk kota) berkata mereka akan menjadi muslim dan beberapa dari mereka berkata akan menjadi kafir dhimmi, maka langkah yang terbaik adalah membiarkan mereka untuk menjadi muslim dengan memberlakukan hukum Islam atas mereka dan melihat kesudahan mereka dalam menjalankan urusan dengan hukum Islam”. (Kitab Al Siyar vol.5)

Ahlu Dhimmi adalah seseorang yang menerima atau bersedia hidup di bawah hukum Islam dan diatur olehnya, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh madzhab Imam Hanafi“mengikuti hukum suatu negeri”. Sifat  Daar Ahli  Dzimmah  adalah sebagaimana yang dikatakan Muhammad   bin   Hasan   Rahimahullah: "Jika   amir   pasukan   mengepung penduduk   salah   satu   kota   musuh   lalu   sebagian   mereka   menyatakan  kami menyerah  dan yang  lain menyatakan  kami  menjadi   ahli Dzimmah dan  tetap berada ditempat tinggal kami.  Jika kaum muslimin mampu menjadikan bersama mereka orang yang mampu memerangi  Ahlul  Harb yang ada pada mereka dan memberlakukan   pada   mereka   hukum   Islam   maka   amir   tersebut harus melakukannya". Berkata pensyarah Sarkhasyi: "Sebab  memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka (Kafir) masih bisa dan negeri   tersebut  menjadi   negeri   kaum muslimin   lewat   pemberlakuan hukum-hukum  kaum muslimin.  Maka   Imam menjadikannya  sebagai negara   Islam  dan   penduduknya sebagai   ahlu  Dzimmah, (Sair Kabiir 5/2196-2197).   Demikian   penjelasannya.

2. Darul Kufr
Darul kufr ialah wilayah yang dikuasai oleh orang-orang kafir, disana diberlakukan hukum-hukum kufur dan pengaruhnya ada pada orang-orang kafir,  meskipun orang-orang islam banyak menetap disana. Jadi wilayah yang didalamnya berlaku hukum  orang-orang kafir dinamakan darul kufr, meskipun orang-orang islam banyak menetap disana.
“Suatu negara yang terdiri dari beberapa wilayah/daerah yang hukum dan peraturannya adalah kufur, meskipun penduduk yamg mendiami mayoritas muslim”.

Tidak menutup kemungkinan darul islam dapat berubah menjadi darul kufr, yakni ketika berhasil dikuasai oleh kekuatan kufur, sehingga keamanan wilayah itu dipegang oleh kekuatan kufur, contohnya adalah sebagian besar wilayah Palestina yang dikuasai Israel. Al Kasani mengatakan: “Apabila hukum kufur telah tampak jelas di suatu wilayah, maka ia berubah menjadi Darul Kufur, dan idhofah itu menjadi benar” (Al Kasani, Bada’i’ ash Shona-i’, hal. 519)
 
Pembagian Darul kufr     
Darul kufr dibagi dalam beberapa bagian, menurut berbagai tinjauan. Nama yang disepakati adalah negara kafir atau negara syirik. Pembagiannya sebagai berikut:  

1. Dilihat dari sudut pandang apakah kekafiran terjadi sejak awal atau belakangan, menjadi:
a. negara kafir asli, yaitu negara yang sebelumnya bekun pernah dikuasai oleh Islam, seperti Jepang, China Timur, Inggris, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Australia.
b. Negara kafir insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam, namun kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Seperti Andalusia (spanyol dan Portugal hari ini), Palestina, negara-negara Eropa Timur  yang dahulu berada di bawah kekuasaan daulah Utsmaniyah, seperti Rumania, Bulgaria, Yugoslavia (Bosnia, Serbia, Kroasia hari ini), Yunani dan Albania.
c. Negara murtad ; bagian dari negara kafir insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam lalu dikuasai oleh orang-orang murtad dan mereka memberlakukan hukum-hukum kafir.  Seperti negara-negara yang hari ini disebut sebagai negara-negara Islam, termasuk di dalamnya negara-negara arab. Dalam rentang waktu yang lama, mayoritas negara-negara ini adalah negara kafir insidental karena diperintah oleh negara-negara kolonialis salibis yang menerapkan undang-undang kafir, mereka kemudian meninggalkan negara-negara ini dan pemerintahan diteruskan oleh orang-orang murtad dari penduduk  pribumi. Ada beberapa perbedaan hukum fiqih  antara negara kafir dan negara murtad, disebutkan oleh Al Mawardi dalam (Al Ahkam As Sulthaniyah hal. 57, cetakan Al Halabi). Saya perlu mengingatkan di sini bahwa dalam beberapa buku karangan saya, saya sering menyebut negara-negara seperti ini dengan istilah negara-negara kaum muslimin, dengan melihat kepada mayoritas penduduknya yang merupakan umat Islam. Namun istilah (negara-negara kaum muslimin) ini tidak sama dengan istilah (negara Islam).  Negara-negara kaum muslimin tetap adalah negara kafir dan murtad, jihad melawan pemerintahan yang menguasainya adalah fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang menjadi warga negaranya, sebagaimana sering saya sebutkan dalam banyak tempat dalam buku-buku saya.

2. Dilihat dari sudut pandang hubungannya dengan Darul Islam, darul kufri dibagi menjadi:
a. Daarul Harbi, yaitu negara yang tidak mempunyai perjanjian damai atau gencatan senjata dengan darul Islam. Penamaan daarul harbi ini tidak disyaratkan adanya perang, namun cukup dengan tidak adanya perjanjian damai antara kedua negara. Maknanya, kaum muslimin boleh memerangi penduduk darul harbi kapanpun, karena itu negaratersebut disebut  darul harb.
b. Daarul ‘Ahdi, yaitu negara yang mengadakan perjanjian damai dan gencatan senjata dengan darul Islam. Seperti Makkah pada masa antara perjanjian Hudaibiyah dengan penaklukan Makah (tahun 6-8 H).  Tidak boleh mengadakan perjanjian damai dengan tidak memerangi daarul harbi, kecuali bila ada maslahat bagi kaum muslimin seperti bila kaum muslimin sedang lemah, sebagaimana firman Allah Ta’ala : 
“ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas.” (QS. Muhammad,47 :35).

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk memerangi orang-orang  kafir sehingga dien hanya untuk Allah Ta’ala, dan Allah tidak memerintahkan kita untuk berdamai dengan mereka kecuali kondisi menuntut kita untuk berdamai. Allah ta’ala berfirman : 
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah ;5). 
“Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal :39).
[lihat Al Mughni Ma’a Asy Syarhil Kabir 10/517, As Siyar Al Kabir 5/1689 karya imam Muhammad bin Hasan]

Perjanjian damai dengan negara harbi hanya boleh dilakukan oleh imam atau wakil yang ditunjuk oleh imam. Karena pada zaman sekarang ini tidak ada imam syar’i, maka tidak ada ikatan dengan perjanjian negara yang ditekan oleh para pemerintah kafir, karena perjanjian damai tersebut dilakukan oleh orang yang secara syar’i tidak mempunyai wewenang memerintah kaum muslimin. Maka, keberadaan perjanjian damai tersebut sama dengan ketidak adanya perjanjian damai, karena yang tidak ada secara de jure adalah seperti yang tidak ada secara de facto.

3. Dilihat dari sudut pandang kaum muslimin merasakan keamanan di negara tersebut, darul kufri bisa dibagi menjadi:
a. Darul amni, yaitu negara kafir di mana kaum musliminbisa menetap dengan aman, seperti negeri Habasyah pada masa awal Islam. Kaum muslimin berhijrah dari Makkah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dari kekejaman kafir Quraisy.
b. Darul fitnah, yaitu negeri kafir di mana kaum muslimi tidak merasakan keamanan di dalamnya, seperti Makkah pada masa awal Islam, dan sebagian besar daruridah hari ini.

Wallahu a’lam bis showab!

Sumber:
  • Makalah Ramadhan 1427 H. Hukum Menetap Di Darul Kufr, dengan referensi :Tafsir Al Quranul Adzim, Ibnu Katsir, Ad Difa 'An Ahlus Sunnah Wal Itba', Ibnu Atiq dan Syarh Sunnah, Al Baghowy. 
  • Makalah Bab Pembagian Negara Dan Penduduk Dunia Dalam Islam, oleh Ust Nur Kholis 
  • Terjemah kitab Al Jaami-u Fi Thalabil Ilmi Asy Syarif  2 hal 638-655, Bab Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Negara, Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz 
  • http://bengkelfikrah.wordpress.com/2011/06/25/darul-islam-dan-darul-kufur-darul-harb/ 
  • http://rumahku-indah.blogspot.com/2010/11/darul-islam.html
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar