A. MUQODDIMAH
Secara etimologis kata ‘daar’, memiliki
makna yang relatif luas, mencakup tanah lapang, bangunan, tempat kediaman, dan
seluruh tempat yang singgahi oleh komunitas manusia. Menurut penuturan Ibnu
Jinni, ‘ad-daar’ berasal dari kata kerja daaro – yaduuru (artinya
beredar mengitari suatu tempat), disebut demikian karena seringnya manusia
berdomisili di dalamnya (Lisaanul ‘Arob, bab dal- wawu- ro’). Al Qur’an menggunakan kata ‘daar’
dalam memberi predikat kepada surga dan neraka, bahwa surga adalah ‘Daarus
Salaam’ karena ia merupakan tempat yang di dalamnya ada keselamatan,
sementara neraka adalah ‘Daarul Bawaar’ karena di dalamnya terdapat
kebinasaan (Al Kasaani, Al Badaa-i’ ash Shonaa-i’, hal 519). Ringkasnya, ‘daar’ secara
bahasa merujuk pada arti tempat. Dalam hal ini ‘ad-daar’ juga bermakna ‘Negara’.
B. YANG MELATAR BELAKANGI PEMBAGIAN
AD-DAAR
Buroidah berkata
:
“Rasulullah bila
mengangkat seorang amir pasukan dan ekspedisi selalu memberi wasiyat khusus
baginya dengan taqwa kepada Allah 'Azza Wa Jalla dan kepada kaum muslimin
lainnya juga dengan kebaikan-kebaikan. Lalu bersabda : Berperanglah
fisabilillah atas nama Allah........, lalu ajaklah mereka untuk pindah dari
negeri mereka ke negeri muhajirin.....!” (H.R. Muslim)
Para ulama' berkata, “ مِنْ دَارِهِمْ " maksudnya negeri kafir,
sedangkan " دَارِ الْمُهَاجِرِبْنَ "
maksudnya Dar al-Islam.
Juga terdapat perkataan sahabat yang membedakan daarul kufri dan daar Islam secara
Ijmal.
I 1. Ibnu Abbas berkata :
“ Sesungguhnya Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam,
Abu Bakar, dan Umar adalah termasuk para Muhajiriin, karena mereka telah hijrah
dari kaum musyrikin Makkah. Sedangkan di kalangan anshor juga terdapat
muhajirin karena semula Madinah adalah sebuah Darusy-Syirk, sehingga mereka
pergi (hijrah) kepada Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam pada malam Lailatul 'Aqobah.” (An-Nasaa’iy,
Shohih, No. 4169.)
2. Az-Zuhri berkata:
“Sesungguhnya Darul-Islam, dapat dibedakannya dengan Darul-Harbi
setelah Fathu Makkah”. (Dr.
Isma’il, Ikhtilafud-Daroyn)
Dari hadits dan atsar diatas menunjukkan bahwa sebenarnya
pembagian Darul kufr dan Darul Islam sudah ada. Tetapi
penentuan sifat dan ciri-cirinya adalah
ijtihadiyah para ulama'. Ijtihadnya para ulama' akan berubah-ubah
sesuai dengan kondisi yang mereka alami.
Setiap ulama' pada masa tertentu adalah yang lebih tahu tentang keadaan
zaman yang mereka alami.
Dalam hal
ini telah jelas bahwa ad-daar
(Negara) terbagi dua jenis, kalau bukan Darul Islam (Negara islam) maka Negara
itu Darul Kafir, tidak ada Negara selain dua jenis itu, yang demikian dikatakan
oleh Al-Allamah Ibnu Muflih Al-Hambali rahimahullahu dalam Adab asy-Asyar’iah (1/212). Adapun perkataan Darul Fasiq, Darul Bid’ah
atau Darul Fitnah maka yang demikian
dilihat apakah negeri-negeri yang disebut demikian itu sudah termasuk
dikategorikan dalam Darul Kafir atau masih dikategorikan Darul Islam, maksudnya
apakah negeri-negeri itu tingkat kefasikannya atau kebid’ahannya itu sudah
membuat negeri itu jatuh dalam kategori Darul Kafir atau tidak.
Para pakar fiqh mengalamatkan istilah Darul kufr dan Darul Islam pada suatu fakta yang ditunjukkan oleh syara’. Sama seperti istilah Aqidah Islam, ia muncul secara konvensional, akan tetapi ia dialamatkan kepada sesuatu yang memiliki fakta di dalam nash-nash syara’ yakni, masalah-masalah keimanan (Mahmud Syaltut, Al Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan, hal. 9). Berbeda dengan kata ash-sholah, ia merupakan istilah yang digunakan oleh nash-nash syara’ dengan pengertian tertentu. Maka agar pengertian Darul kufr dan Darul Islam menjadi jelas, semua pihak perlu menyepakati dasar permasalahan yang melatarbelakangi kategorisasi tersebut.
Selain itu para pakar hukum Islam juga sering menyinggung istilah Darul kufr dan Darul Islam, khususnya dalam membahas ketentuan hukum yang mengatur relasi antara Negara Islam dengan wilayah-wilayah lain yang ada di luar batas yurisdiksinya. Meski demikian, tidak ada konsensus ulama mengenai fakta yang dikehendaki oleh istilah tersebut.
Terkait dengan hal ini, sekelompok ulama menyatakan: “Semua negeri yang di dalamnya kaum muslimin bisa menyerukan adzan, mendirikan sholat jama’ah, dan merayakan dua hari raya secara bebas, maka negeri itu tergolong darul Islam”. Adapun Taqiyuddiin An Nabhani menyatakan: “daerah yang menerapkan sistem Islam, menegakkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan keamanannya ada di tangan Islam, dinamakan Darul Islam, meskipun mayoritas penduduknya nonmuslim. Sedangkan daerah yang tidak memenuhi dua karakter tadi, dinamakan Darul Kufur, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam”(Mafaahiim Hizbit Tahrir, hal. 35). Dengan dua batasan ini –penerapan hukum Islam dan keamanan di tangan Islam-, beliau secara tegas menyatakan: “maka sesungguhnya seluruh negeri-negeri Islam sekarang ini merupakan Darul Kufur, karena negeri-negeri tersebut tidak berhukum dengan hukum Islam” (Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Jilid 2, hal. 250).
Adapun sebagian ulama kontemporer seperti Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya “Atsarul Harbi Fi Al-Fiqahi Al Islami” menyatakan bahwa pembagian dunia menjadi dua negara seperti ini tidak berdasar dalil baik dalil Al Qur’an maupun as sunah, pembagian ini hanyalah sekedar ijtihad para ulama setelah masa kenabian dan masa shahabat. Harus diketahui bahwa pembagian ini adalah pembagian yang sudah menjadi ijma’ para ulama, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, sedang ijma’ pasti berdasar dalil Al Qur’an atau as sunah, sebagaimana dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 7/39. Berikut dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjadi sandaran dalam pembagian ini. Dan ini semua membantah orang yang menganggap pembagian dunia menjadi dua bagian sebagai sekedar ijtihad ulama semata.
1. Dari ayat Al Qur’an:
a. QS. Ibrahim: 13
“Orang-orang kafir
berkata kepada rasul-rasul
mereka: "Kami sungguh-
sungguh akan mengusir
kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama
kami".
b. QS. Al A’raaf: 88
“Pemuka-pemuka
dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata:"Sesungguhnya kami akan
mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami,
kecuali kamu kembali kepada agama
kami"
Kata gabung dalam dua kalimat “negeri kami” dan “kota kami”, yaitu
penggabungan kata negeri dan kota kepada kata ganti pembicara “kami”,
merupakan kata gabung
yang menunjukkan kepemilikan
(idzafatu tamaluk). Negeri
kami dan kota kami artinya adalah negeri orang-orang kafir dan kota orang-orang
kafir, yang dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang kafir, dengan segenap
perintah, larangan dan kekuasaan di tangan mereka. Karena
itulah, mereka mengancam para rasul,
dan inilah sifat Daarul kufri.
c. QS. An Nisa’: 97
”Sesungguhnya orang-orang
yang diwafatkan malaikat
dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka)
malaikat
bertanya:"Dalam keadaan
bagaimana kamu ini".
Mereka
menjawab:"Adalah kami orang-orang
yang tertindas di negeri (Mekah)".
Para malaikat berkata:"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
dibumi itu".
d. QS. Al Mumtahanah: 10
”Hai orang-orang
yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami
mereka)”.
e. QS. Al Anfal : 72
“Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi
belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah.”
Nash-nash yang secara khusus
berkaitan dngan hijrah ini dengan jelas sekali menunjukkan adanya dua negara ;
Daarul Islam dan Daarul kufri. Karena setiap kali disebutkan kata hijrah dalam
syariat, maka maknanya adalah berpindah dari Daarul kufri kepada Daarul Islam.
f. QS. Al A’raaf :145
“…nanti
Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik”.
2. Dalil dari
As-Sunnah:
Hadits-hadits
yang mewajibkan hijrah telah menunjukkan
pembagian dunia menjadi dua negara.
a. HR. Abu Daud dengan sanad mursal
shahih.
“Saya
berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik,
supaya api keduanya tidak bertemu.”
b. HR. Ahmad. Imam Al Haitsami
mengatkan ; perawinya para perawi ash
shahih.
“Hijrah tidak
akan pernah berhenti
selama masih ada
musuh yang diperangi”.
c. HR. An Nasa-i dengan sanad hasan
dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya.
“Setiap muslim
atas muslim lainnya
itu haram (menggangu harta
dan nyawanya). (Setiap muslim
atas muslim lainnya
adalah) Dua saudara yang saling
menolong. Allah tidak menerima
amalan seorang musyrik yang masuk
Islam sampai ia
mau bergabung dengan kaum muslimin dan
meninggalkan orang-orang musyrik.”
Selain
hadits-hadits tentang wajibnya hijrah, dalil lainnya antara lain :
a. HR Muttafaq ‘alaihi.
“Dari Ibnu
Umar bahwasanya Rasulullah
melarang bepergian dengan membawa Al Qur’an ke negeri (daerah)
musuh.”
b. Hadits Ibnu Abbas yang panjang
tentang hukum rajam, dimana di dalamnya abdurahman bin Auf berkata kepada Umar bin Khatab saat masih di Mina : ”Undurkanlah sampai
engkau pulang ke
Madinah karena sesungguhnya Madinah itu adalah negara
hijrah dan sunah.” HR. Bukhari no. 6830.
c. Hadits yang diriwayatkan oleh An
Nasa-i dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar adalah kaum muhajirin
karena mereka berhijrah (meninggalkan) orang-orang musyrik. Dan di kalangan
ansharpun ada yang
tergolong muhajirin karena
Madinah dahulunya adalah daaru syirki
(negara syirik), kemudian mereka datang
kepada Rasulullah pada malam (bai’ah) Aqabah.”
d. Hadits Abu Hurairah tentang kisah
hijrahnya, ia mengatakan : ”Ketika saya datang kepada nabi, di jalan saya
mengatakan : Duhai alangkah panjang dan beratnya malam hari Karena meninggalkan
daaratul kufri. Seorang budakku yang menemaniku melarikan diri di
tengah jalan. Ketika aku
mendatangi nabi, aku membaiatnya, tiba-tiba datanglah budakku yang lari itu.
Rasulullah bersabda,”wahai Abu Hurairah, ini lho budakmu ! Aku menjawab,” Ia
untuk wajah Allah. Aku memerdekakannya.” [HR. Bukhari no. 4393].
Ibnu mandhur mengatakan,” Secara
bahasa, daaratun artinya daar (negara).”Lisaanul Arab 4/298, Daaru Shadir, Beirut.
e. Hadits Aisyah tentang kisah budak perempuan yang berhijrah
yang dituduh mencuri sebilah pedang. Dalam hadits itu disebutkan : “Dٍari
Aisyah bahwasanya ada seorang budak perempuan hitam di sebuah kampung arab.
Mereka memerdekakan budak perempuan hitam
itu dan ia lalu tinggal
bersama mereka. Pada
suatu hari seorang anak perempuan yang memakai gelang kulit
bertabur mutiara mendatangi budak perempuan itu. Anak perempuan itu
meletakkan gelangnya–atau gelang
itu terjatuh---, tiba-tiba lewatlah
seekor burung Hud-Hud kecil yang lantas
mematuk gelang itu karena mengiranya sekerat daging. Penduduk kampung itu mencari-cari gelang itu, namun mereka
tidak menemukannya, maka mereka menuduh sayalah pencurinya. Mereka
menggeledahku, bahkan sampai memeriksa kemaluanku. Demi Allah, saat aku berdiri
di tengah mereka itulah, tiba-tiba burung Hud-ud kecil tadi melemparkan
kembali gelang itu kepada mereka. Aku katakan,”
Ini, lho, yang kalian tuduhkan kepadaku tadi. Kalian mengira aku pencurinya, padahal
aku tidak melakukannya. Ini dia gelang
tersebut.” Budak perempuan itu
kemudian mendatangi Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam dan masuk Islam.
Aisyah rhadiyallahu ‘anha berkata,” Budak
perempuan itu mempunyai gubuk kecil di masjid.
Ia biasa datang
kepadaku dan bercerita.
Tidaklah ia berada disisiku
kecuali ia selalu mengatakan : Hari gelang mutiara merupakan keajaiban dari
Rabb kita, Allah lah yang telah menyelamatkanku dari baldatul kufri. Aku
(Aisyah) bertanya kepadanya,” Kenapa kamu selalu mengatakan hal itu setiap kali
bertemu denganku ?” Budak perempuan itu kemudian menceritakan kisahnya kepadaku
(Aisyah).” [HR.
Bukhari no. 439].
Baldatul kufri
dalam hadits ini
adalah Daarul kufri, sebagaimana
dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar ketika menerangkan hadits ini,” hadits ini menunjukkan keutamaan berhijrah dari Daarul
kufri.” [Fathul Baari 1/535].
Nash-nash ini
menunjukkan bahwa pembagian dunia menjadi dua negara:
Daarul Islam dan Daarul kufri
adalah suatu pembagian yang berdasar
kepada Al Qur’an, As Sunnah dan diriwayatkan dari generasi
shahabat. Nash-nash ini juga menunjukkan bahwa hijrah dari negara kedua (Daarul kufri) menuju negara pertama (Daarul Islam) adalah
wajib. Lebih dari itu, dalam Al
Qur’an dan as sunah---dalam nash-nash di atas---ada beberapa istilah khusus untuk menyebut kedua negara tersebut,
seperti Daarul hijrah wa sunah, Daarul syirki, daaratul kufri dan baldatul kufri.
B. FAKTOR UTAMA DALAM MENENTUKAN ISLAM DAN KAFIRNYA SEBUAH AD-DAAR
1. Faktor pengaruh, dan kekuasaan
As-Sarkhosiy dari kalangan ulama'
Hanafiyah berkata, “Yang menjadi faktor
dalam penentuan sebuah daar adalah penguasa, dan kekuatan yang menentukan
berlakunya hukum-hukum”. (Al-Mabsuth,
X/23.)
Ibnu Hazm Ad-Dhohiriy berkata, “Keadaan sebuah dar ditentukan oleh penguasa dan pemerintahannya
(rajanya)”. (Al-Muhalla, No
Bahasan 2198, Jilid XI hal 200)
Demikian juga yang dikatakan oleh ketua para qodli tertinggi di Mamlakah
'Arobiyah As Su'udiyyah, ”Kami
beritahukan kepada antum bahwa faktor tergantung kepada pemegang pemerintahan,
pemegang kebijaksanaan, dan pengaruh di suatu negeri Islamiyah, walaupun disana
terdapat kufar. Tetapi kalau yang memegang kufar (selain kesatuan muslimin)
maka negeri tersebut negeri kafir,
walaupun disana banyak kaum muslimin.”(Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabiilillah)
Imam Ar-Rofi’i berkata: ”Eksistensi kaum muslimin itu bukanlah
syarat dikatakan daarul Islam, Namun cukup sebagai syarat, negara tersebut di
bawah kekuasaan Imam dan keIslamannya.”(Al-Fathul
‘Aziz VIII/14, lihat juga Hasyiyatul Anwar Li A’malil Abror, karangan Haji Ibrhim).
Madinah menjadi Dar al-Islam
setelah kekuasaan, pengaruh dan
pemegang kebijaksanaan adalah kaum
muslimin. Makkah berubah menjadi Dar al-Islam ketika ditaklukkan (futuh) oleh
muslimin. Abu Zahroh berkata, “Dar al-Islam adalah daulah yang dibawah
pemerintahan muslimin, dan kekuasaan dipegang muslimin. Inilah negeri yang
pantas bagi seluruh muslimin untuk masuk kedalamnya, dan jihad menjadi fardlu
kifayah di dalamnya.”
Dengan
pendapat inilah kebanyakan ulama'-ulama' sekarang berfatwa.
Kenapa
kekuasaan itu penting ?
Imam Abu
Yusuf dan Imam Shaibaani berkata: “Suatu
wilayah atau daerah akan diatributkan kepada kita (Islam) atau mereka (kafir)
dengan melihat siapa yang memegang kekuasaan dan dengan melihat macam peraturan
yang diterapkan atas wilayah tersebut.”
Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, kepada mereka
malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab:”adalah
kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).” Para malaikat
berkata:”bukankah bumi Allah itu kuas sehingga kamu dapat berhijrah di negeri
itu?” (QS.An Nisa‟ (4) :97)
Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Qur`an, bahwa kita diperintahkan untuk hijrah dari tempat di mana kita tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan menuju ke tempat di mana kita akan mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Ibnu Hazm berkata bahwa Rosulullah Salallahu ‘alayhi wassalam bersabda: ”Saya bebas dari setiap orang yang hidup di antara orang-orang musyrik dan gilirannya kembali kepada orang-orang muslim”.
2. Faktor Idzharul Ahkam
Para Fuqoha' berkata, “Dar al-kufr
menjadi Dar al-Islam dengan keberlakuannya hukum-hukum Islam, .... dan Dar
al-Islam menjadi dar al-kufr dengan keberlakuannya hukum-hukum kufr.
Jumhur Fuqoha' berpendapat bahwa bila
yang berlaku didalamnya hukum kafir, sedangkan syari'at Islam tidak dijadikan
undang-undang, maka negeri tersebut adalah dar al-kufr, walaupun mayoritas
penduduknya muslim....”. (Ushuluddin
Al-Bashaladin, 280. Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyah, Ahkamu Ahli Dzimmah I/366)
Hal ini tersirat dari keterangan Ibnu Taimiyah, “Negeri Islam yang berlaku di dalamnya hukum Islam, dengan keadaan tentaranya kaum muslimin....”
Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata: ”Setiap negara yang berjalan di dalamnya dakwah Islam tanpa harus dijaga dan dilindungi juga didalamnya dilaksanakan hukum Islam kepada ahli dzimmah kalau penduduknya adalah ahli dzimmah dan Ahli bid’ah tidak mengiasai ahlussunnah, maka ia adalah Daarul Islam dan jikalau sebaliknya maka ia adalah Daarul kufri.” (Kitab Ushulud Din, karangan Al-Baghdadi hal.270).
Dr. Abdullah Al Qodiriy berkata, “Kesimpulannya, bahwa Dar al-Islam adalah negeri yang hukum islam lebih nampak sedang hukum kafir tidak nampak.”
Faktor kedua dan pertama selalu akan bersamaan. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Abdullah Al-Qodiriy,“...Hukum Allah tidak akan lebih nampak dan
berlaku kecuali bila pemegang pemerintahan adalah kaum muslimin yang komitmen dengan syari'at Islam dan
menegakkan hukum-hukumnya di atas bumi. Tetapi yang dinomor-satukan adalah
faktor idzharul ahkam. Sebab sering terdapat sebuah negeri berpenduduk muslimin
yang tertaklukkan oleh kekuasaan dan
jajahan non Islam. Tetapi hukum-hukum Islam masih berbekas dan menjadi dominan,
serta mereka tidak rela dengan penjajahan tersebut, maka negeri tersebut masih
termasuk Dar al-Islam”. (Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabilillah)
Sebagaimana dikatakan Ustadz
Abdul Qodir Audah, “Dan termasuk Dar
al-Islam negri yang diperintah dan dikuasai selain muslimin, selama hukum-hukum
Islam masih nampak, atau tidak ada larangan bila muslimin menegakkan
hukum-hukum islam”. (‘Abdul Qodir Audah, At-Tasyri’ Al-Bina’i)
Adapun bila sebuah Dar al-Islam, lalu dijajah kuffar, dan menegakkan hukum kuffar, sekaligus memerangi hukum-hukum Allah, maka langkah yang lebih baik adalah menegakkan jihad untuk membela kalimatullah, apalagi kalau mayoritas daerah tersebut muslimin yang lemah. Sebagai penghormatan bagi para penegak jihad, negeri tersebut masih pantas mempunyai gelar sebagai negeri Islam yang harus dipertahankan. Adapun bila penduduk negeri tersebut berpangku tangan, tidak menegakkan jihad karena sudah merasa sebagai Dar al-Islam maka ini termasuk sebuah penyelewengan pemahaman Dar al-Islam. (Dr. ‘Abdullah Al-Qodiriy, Al-Jihad fi Sabilillah).
Kenapa hukum islam dan peraturannya penting?
· Imam Al-Kasaani berkata:
“Tidak ada
perselisihan/pertentangan pendapat diantara ahnaaf (ulama), tentang negara yang
menjadi negara Islam yaitu ketika peraturan Islam menjadi dominan (diterapkan),
akan tetapi terdapat perselisihan pendapat diantara saudara-saudara kita
tentang negara Islam yang kemudian berubah menjadi negara kufur, Imam kita
berkata, ”Negara Islam
akan menjadi negara kufur jika ada dalam 3 kondisi, yaitu: 1) Ketika hukum dan
peraturannya menjadi kufur , 2) Ketika daerah perbatasan negara Islam dengan
negara kufur tidak ada perjanjian , 3) Ketika di negara Islam tersebut tidak
memiliki keamanan lagi untuk orang-orang muslim dan kafir dhimmi.”
· Imam Al Sarkhaasi berkata:
“Suatu negara
menjadi negara Islam ketika hukum-hukum Islam menjadi dominan (diterapkan)”. (Mabsut vol.10,p.114)
· Imam Ibnu Qoyyim berkata:
“Jumhur
ulama berkata negara Islam adalah negara di mana kaum muslimin dapat pergi dan
tinggal di sana dan peraturan-peraturan Islam dapat diterapkan jika masyarakat
tinggal di suatu tempat dan Islam diterapkan maka daerah tersebut termasuk ke
dalam negara Islam dan jika aturan Islam tidak diterapkan maka tidak bisa disebut
dengan negara Islam meskipun negara tersebut dekat dengan negara Islam, Tha‟if adalah
daerah yang dekat dengan Mekkah tetapi tidak menjadi negara Islam sampai
ditaklukkan.” (Kitab Ahkam Ahl
Dhimmah vol.1p.366)
· Imam Ibnu Muflih berkata;
“Hanya ada
dua negara yaitu negara Islam (Darul Islam) dan negara Kufur (Darul Harb),
negara-negara yang diterapkan hukum-hukum Islam adalah negara Islam dan negara
yang diberlakukan hukum kufur atas daerahnya adalah negara kufur, sehingga
hanya ada dua perkampungan masyarakat (yaitu masyarakat kufur dan masyarakat
Islam)”. (Al Adaab Al Shari’ah vol.1 p.190)
· Qadi Abu Ya‟la berkata:
“Setiap
negeri yang menerapkan hukum-hukum kufur adalah negeri kufur”.
· Imam Al Mawardi berkata :
“Darul Harb
adalah Darul Kufur di mana hukum-hukum kufur diterapkan di tempat tersebut”.
· Imam Saukani berkata :
“Ketika kita
berbicara tentang negara, maka kita dapat menilai dengan melihat sesuatu yang
mendominasi negara tersebut, jika aturan tersebut aturan dan larangannya diperuntukkan bagi
orang-orang muslim, kemudian di sisi yang lain tidak ada seorangpun dari
orang-orang kafir yang bisa menampakkan kekufurannya kecuali dengan apa yang
diakuinya dari aturan-aturan Islam maka negara tersebut adalah negara Islam.”
· Imam Abdullah Abu Butain (Salah satu ulama Najd) berkata :
“Negara ada
2 tipe yaitu negara Islam atau negara kufur, negara Islam adalah suatu negara
di mana peraturan-peraturan Islam diberlakukan kepada semuanya walaupun
seandainya tidak ada seorang muslim pun di sana tapi hukum-hukum Islam tetap
diberlakukan dan jika kebalikannya maka negara tersebut adalah negara kufur”.
· Sayyid Quthb berkata:
“Negara yang
ada di seluruh dunia dalam pandangan Islam dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama negara Islam (Darul Islam), dan
yang kedua negara kufur (Darul Harb), Negara Islam adalah negara di mana hanya
syariat Islam yang diterapkan tanpa memperhatikan mayoritas dari penduduknya
apakah semuanya muslim atau muslim dan kafir Dhimmi atau semuanya kafir Dhimmi
dengan hanya beberapa muslim. Negara Kafir atau Darul Harb adalah negara yang
memiliki beberapa wilayah yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur
meskipun setiap orang yang ada di wilayahnya muslim.” (Fi Zhilal Al-Qur`an)
3. Faktor sya-a'ir, penduduk dan
keamanan
Yaitu seperti masjid, adzan, jilbab, idul fitri dan lain-lain. Al Ustadz At Turoiqiy berkata, “Sedangkan bila ada sebuah daerah atau
negeri yang tidak terikat oleh sebuah
kekuasaan yang ber-ideologi, maka yang menjadi pegangan adalah penduduk. Bila
mayoritas muslim, maka negeri tersebut Dar al-Islam. Bila tidak, maka negeri
tersebut dar al-kufr” (Al-Isti'anah
174).
Syi'ar-syi'ar Islam bisa menjadi faktor penentu. Sebagaimana pada zaman Rasulullah Sholallahu 'alayhi wa sallam kebanyakan negeri-negeri Arab adalah negeri badui yang terjauh dari arus politik sebuah ideologi dan kekuasaan zaman itu. Bila sya-a'ir dan penduduk di negeri tersebut berlaku, sudah barang tentu sya-a'ir akan menjadi cermin pertama negeri tersebut. Hal ini tersirat dalam keterangan Abdurrahman bin Mu'alla Al-Luhaiqiy, “Maksudnya sya-a'ir tersebut menjadi cermin pertama negeri tersebut” (Al Ghuluw Fiddien : 335). Sebagaimana dalam hadits:
“Rasulullah Sholallahu'alayhi wa sallam bila fajar telah menyingsing beliau
mengadakan penyerangan. Beliau selalu meneliti untuk mendengarkan adzan , bila
terdengar suara adzan maka beliau batalkan penyerangan, sedangkan bila tidak
terdengar, maka beliau menyerangnya”. (H R. Muslim)
“Bila kalian melihat masjid atau adzan dikumandangkan dalam
sebuah negeri, maka jangan memerangi seorangpun .....”(H.R. Abu
Daud No Hadits : 2635, Tirmidzi No :
1549)
Al Imam As
Syafi'iy berkata :
“Hukum suatu
daar (kafir atau Islam) tergantung atas dibolehkan atau tidaknya penyerangan
kepada negeri tersebut”. (Ar Risalah Imam
Syafi’i : 300)
Sedangkan bila negeri tersebut jelas-jelas termasuk dari kekuasaan
dan terikat oleh politik Romawi
(misalnya), niscaya Rasulullah tidak akan membiarkannya, mesti akan berusaha
membebaskannya (futuh). Karena betapa banyak negeri-negeri yang membebaskan
penduduknya yang muslim untuk menegakkan
sya-a'ir saja. Sedangkan selain itu mereka melarangnya dengan dalih demokrasi.
Dinamainya sebuah daar dengan daar kafir tidak menjadikan bahwa seluruh yang
berada di dalamnya sebagai kufar secara ithlaq. Sehingga Dar al-Islam adalah
negeri milik seluruh Umat Islam di dunia dan tak terbatas oleh darah, etnis,
atau suku bangsa. Kepadanyalah seluruh muslimin -yang berada di darul-kufri- berhijrah dan meminta bantuan. Maka Dar
al-Islam adalah sinonim dari Jama'atul Muslimin atau negeri yang termasuk
Jama'atul Muslimin. (Dr. Isma’il,
Ikhtilafud-Daaroyn, hal 80)
C. TINJAUAN PENDAPAT ULAMA’ DALAM MENENTUKAN SUATU NEGARA ITU SEBUAH AD-DAARUL ISLAM
Dr.
Abdulloh Ath-Thuroqi, setelah
memaparkan perkataan para fuqoha’ beliau memberikan kesimpulan bahwasanya di
kalangan para ulama ada tiga pendapat dalam menentukan suatu negara itu daarul Islam :
1. Pendapat yang menyatakan bahwa
yang dijadikan patokan untuk menentukan negara itu negara Islam atau bukan
adalah kekuasaan. Bila kekuasaan berada di tangan kaum muslimin, maka negara
itu daarul Islam.
2. Pendapat yang menyatakan
bahwasanya negara disebut Daarul Islam kalau hukum yang berlaku di dalamnya
adalah hukum Islam (Idzharul ahkam).
3. Pendapat yang menyatakan suatu
negara disebut Daarul Islam kalau
negara tersebut dihuni kaum muslimin dan bisa melaksanakan sebagian syi’ar -syi’ar ta’abudiyah (ritual
peribadahan)/syi’ar
-syi’ar islam.
Sesungguhnya pendapat pertama dan kedua tidaklah berbeda apalagi bertentangan. Karena keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Sebuah negara yang menjalankan hukum Islam tidak mungkin dipimpin oleh penguasa kafir dan begitu pula sebaliknya penguasa Islam tidaklah mungkin menjalankan hukum di dalam negaranya kecuali dengan hukum Islam, karena menjalankan hukum Alloh adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim. Untuk lebih jelasnya lihat pembahasan hukum riddah dalam makalah ini.
Dengan demikian yang dijadikan patokan di dalam menentukan status sebuah negara adalah penguasa dan hukum yang berlaku didalamnya. (Sayyid Quthb berkata: ” daarul Islam mencakup setiap negeri yang dilaksanakan didalamnya hukum-hukum Islam dan diatur dengan syari’at Islam.Sama saja apakah penduduknya seluruhnya kaum muslimin atau kaum muslimin dan dzimmiyin atau seluruhnya dzimmiyin, akan tetapi para penguasanya orang-orang muslim Yang melaksanakan didalamnya syariat Islam dan mengatur negera tersebut dengan syari’at Islam” (Fii Dlilalil Qur’an II/874), lihatlah ungkapan Al-‘Ashimi An-Najdi yang semacam ini dalam kitab Hasyiyatur Roudh Al-Murobba’ V/521.
Ibnu Yahya Al-Murtadlo Az-Zaidi berkata:”Daarul Islam adalah yang menonjol di dalamnya dua kalimat syahadat dan sholat serta tidak nampak di sana satu unsur kekafiran, walaupun disebabkan ta’wil, kecuali dengan persetujuan, tanggungan dan jaminan keamanan dari kaum muslimin.Dan Dar al- kufri adalah yang kekuatannya dimiliki orang-orang kafir, dan tidak ada dzimmah (tanggungan) kaum muslimin terhadap mereka.”(‘Uyuunul Azhar Karangan Ibnu Yahya Al-Murtadlo hal.528)
Asy-Syaukani memberikan komentar terhadap pernyataan ini: ”Yang dijadikan patokan adalah dhuhurul kalimah, apabila perintah-perintah dan larangan-larangan yang berlaku didalamnya milik umat Islam, sehingga orang-orang kafir tidak bisa mengumbar kekafirannya kecuali atas ijin dari kaum muslimin, maka ini adalah Darul Islam dan tidak membahayakan munculnya bentuk kekafiran didalamnya karena dia tidak muncul disebabkan kekuatan orang-orang kafir atau karena kekuasaan mereka, sebagaimana yang kita saksikan pada ahli dzimmah dari orang Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah-daerah Islam, dan begitu juga sebaliknya”. ( As Sailul Jarar IV/ 575 dalam Ikhtilaafud Daaroin, hal. 30-32.)
Hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr.Ismail Luthfi Fathoni di dalam mendudukkan pendapat para fuqoha’, beliau berkata: ” Dan setelah kita paparkan perkataan para fuqoha’ tentang pengertian dua negara tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwasanya syarat utama disebut daarul Islam atau daarul kufri menurut mereka adalah hukum dan kekuasaan yang berlaku. Apabila yang berlaku di dalamnya itu hukum Islam dan berada di bawah kekuasaan kaum muslimin maka negara ini adalah daarul Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin tinggal di dalamnya dengan aman. Apabila hukum Islam tidak berlaku , kekuasaan dan kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul harb, walaupun di dalamnya ada kaum muslimin dan berbatasan dengan negara-negara Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin di sana tidak mempunyai jaminan keamanan dari kaum muslimin.” (lihat: Ahkam Ahlidz Dzimmah I/3 dan fatwa-fatwa Muhammad Rosyid Ridlo (158) I/372).
Dan dapat kita fahami secara pasti bahwa hukum Islam itu tidak akan mendominasi kecuali memang kekuasaan berada di tangan kaum muslimin yang melindungi hukum-hukum tersebut dari musuh-musuh yang mau menyerang penganutnya atau mau menghapusnya. Karena kekuasaan orang-orang kafir tidak akan mungkin melindungi hukum-hukum Islam maka tidaklah mungkin hukum-hukum itu berjalan kecuali sebagian syi’ar-syi’ar yang diijinkan oleh penguasa tersebut karena belas kasih dari mereka, itu pun pada batasan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum kafir yang berkuasa di dalamnya. Oleh karena itu tidaklah cukup hanya dengan berlakunya sebagian dari syi’ar-syi’ar ibadah sebagai belas kasih dari kekuasaan orang-orang kafir untuk dinamakan daarul Islam (haqiqotan wa hukman). Maka atas dasar inilah Imam Abu Hanifah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Al-Kaasaani : ”Sesungguhnya maksud dari penisbatan negara kepada Islam atau kafir bukanlah Islam dan kafir itu sendiri.”(Badai’ush Shonai’ VII/131). Artinya kalau keamanan itu secara mutlak bagi kaum muslimin dan ketakutan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul Islam dan kalau keamanan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir dan ketakutan itu secara mutlak bagi kaum muslimin, maka negara ini adalah daarul kufri.(-ibid-). Kemudian Al-Kaasaani mengomentari: ”Dan yang dimaksud dengan perkataannya ‘keamanan secara mutlak’ adalah tidak perlunya meminta perlindungan dan keamanan.”(-ibid-)
Dan perlu diperhatikan disini bahwasanya Imam Abu Hanifah memfokuskan pada seputar eksistensinya kekuasaan di samping berjalannya hukum di dalam menamakan sebuah negara, karena keamanan adalah tanda dari eksistensinya kekuasaan, sebagaimana yang dikatakan oleh As-Sarkhosi ketika memberikan definisi daarul Islam : ”Nama bagi sebuah tempat yang berada dibawah kekuasaan kaum muslimin, dan tandanya adalah kaum muslimin aman tinggal di dalamnya, adapun tempat yang kaum muslimin tidak aman di dalamnya maka tempat tersebut adalah bagian dari daarul harbi.” (As-Sirul Kabiir karangan Asy-Syaibani yang disyarh oleh As-Sarkhosi IV/1253). Dan di tempat yang lain beliau berkata: ”Yang dijadikan patokan pada sebuah negara adalah kekuasaan dan kekuatan di dalam memberlakukan hukum” (ibid, hal.1073).
Begitu pula tidak cukup hanya dengan keberadaannya di tangan kaum muslimin dan di dalamnya tidak berjalan hukum Islam. Dan atas dasar inilah As-Sarkhosi mengatakan: ”Dan hanya dengan penaklukan sebelum dijalankannya hukum Islam tidak merubah statusnya menjadi daarul Islam. karena kekuasaan tidaklah sempurna kecuai dengan menjalankan hukum Islam di dalamnya” (Al-Mabsuth X/23). Dan atas dasar inilah Sayyid Quthb mengatakan : ”Daarul Harbi adalah mencakup setiap negara yang tidak menjalankan hukum Islam dan tidak diatur dengan syari’at Islam. Dan tidaklah sama semua penduduknya, mereka mengatakan: ’Sesungguhnya mereka muslim atau sesungguhnya mereka ahli kitab sesungguhnya mereka orang-orang kafir (Fii Dlilalil Qur’an II/874 dan lihat Ma’alim Fith-Thoriq hal.145).
M. Rosyid Ridlo berkata: ”Sesungguhnya banyak terdapat di negara-negara yang penguasanya orang-orang Islam, orang yang terkena musibah pada agamanya sehingga tidak mampu melaksanakan apa yang ia yakini dan tidak bisa mengerjakan segala apa yang wajib ia lakukan apalagi amar makruf nahi mungkar dan mengritik penguasa yang menyeleweng dari syari’at, negara semacam ini menurut sebagian ulama’ adalah daarul harbi.”(Fatwa-fatwa M. Rosyid Rudlo hal.145) . Hal ini disebabkan karena berlakunya hukum dan eksistensi kekuasaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, karena hukum Islam tidak akan berjalan di sebuah negara kecuali dengan eksisnya kekuasaan yang nyata bagi pemerintah muslim, dan tidaklah diijinkan bagi seorang penguasa muslim untuk mengatur kecuali dengan hukum Islam dan ketika itulah pasti kaum muslimin hidup di dalamnya dalam keadaan aman. Oleh karena itu jumhur ulama’ membatasi perkataan mereka bahwasanya daarul harbi berubah menadi daarul islam dengan berlakunya hukum Islam di dalamnya. (lihat: Al-Fatawa Al-Hindiyah II/232, Bdai’ush Shonai’ VII/130, Hasyiyatu Daaril MukhtarIV/175,Al-UmmVII/333-334, Fatawa Muhammad Rosyid Ridlo no.1058 VI/2590). Karena sesungguhnya pendapat tersebut tidak menyatakan dengan jelas bahwasanya kekuasaan itu tidak di tangan kaum muslimin namun dapat kita pahami secara pasti dan secara eksplisit, selama hukum Islam itu berjalan. Atas dasar ini As-Sarkhosi mengatakan : ”Dan setiap tempat yang didominasi oleh hukum Islam maka kekuatan di dalamnya adalah milik Islam.”(Al-Mabsuth X/114)
Adapun pendapat yang ketiga maka sesungguhnya diantara fungsi daarul Islam adalah menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti membangun masjid-masjid, mengumandangkan adzan, mengadakan sholat ‘Ied dan lain-lain. Oleh karena itu jika sebuah kampung meninggalkan sebagian dari syi’ar-syi’ar tersebut maka kewajiban imam memerangi kampung tersebut sampai mereka menegakkan syi’ar tersebut. Namun demikian syi’ar-syi’ar tersebut menjadi tidak berarti jika sesuatu yang lebih pokok dari pada itu diabaikan yaitu berlakunya hukum Islam yang tentunya tidak akan terwujud kecuali oleh penguasa Islam.
Hal ini tersirat dalam keterangan Abdurrahman bin Mu’alla Al Luhaiqiy, maksudnya sya’air tersebut menjadi cermin pertama negeri tersebut negeri tersebut (Al Ghuluw Fiddien: 335). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu a’alaihi wasallam :
Sesungguhnya pendapat pertama dan kedua tidaklah berbeda apalagi bertentangan. Karena keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Sebuah negara yang menjalankan hukum Islam tidak mungkin dipimpin oleh penguasa kafir dan begitu pula sebaliknya penguasa Islam tidaklah mungkin menjalankan hukum di dalam negaranya kecuali dengan hukum Islam, karena menjalankan hukum Alloh adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim. Untuk lebih jelasnya lihat pembahasan hukum riddah dalam makalah ini.
Dengan demikian yang dijadikan patokan di dalam menentukan status sebuah negara adalah penguasa dan hukum yang berlaku didalamnya. (Sayyid Quthb berkata: ” daarul Islam mencakup setiap negeri yang dilaksanakan didalamnya hukum-hukum Islam dan diatur dengan syari’at Islam.Sama saja apakah penduduknya seluruhnya kaum muslimin atau kaum muslimin dan dzimmiyin atau seluruhnya dzimmiyin, akan tetapi para penguasanya orang-orang muslim Yang melaksanakan didalamnya syariat Islam dan mengatur negera tersebut dengan syari’at Islam” (Fii Dlilalil Qur’an II/874), lihatlah ungkapan Al-‘Ashimi An-Najdi yang semacam ini dalam kitab Hasyiyatur Roudh Al-Murobba’ V/521.
Ibnu Yahya Al-Murtadlo Az-Zaidi berkata:”Daarul Islam adalah yang menonjol di dalamnya dua kalimat syahadat dan sholat serta tidak nampak di sana satu unsur kekafiran, walaupun disebabkan ta’wil, kecuali dengan persetujuan, tanggungan dan jaminan keamanan dari kaum muslimin.Dan Dar al- kufri adalah yang kekuatannya dimiliki orang-orang kafir, dan tidak ada dzimmah (tanggungan) kaum muslimin terhadap mereka.”(‘Uyuunul Azhar Karangan Ibnu Yahya Al-Murtadlo hal.528)
Asy-Syaukani memberikan komentar terhadap pernyataan ini: ”Yang dijadikan patokan adalah dhuhurul kalimah, apabila perintah-perintah dan larangan-larangan yang berlaku didalamnya milik umat Islam, sehingga orang-orang kafir tidak bisa mengumbar kekafirannya kecuali atas ijin dari kaum muslimin, maka ini adalah Darul Islam dan tidak membahayakan munculnya bentuk kekafiran didalamnya karena dia tidak muncul disebabkan kekuatan orang-orang kafir atau karena kekuasaan mereka, sebagaimana yang kita saksikan pada ahli dzimmah dari orang Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah-daerah Islam, dan begitu juga sebaliknya”. ( As Sailul Jarar IV/ 575 dalam Ikhtilaafud Daaroin, hal. 30-32.)
Hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr.Ismail Luthfi Fathoni di dalam mendudukkan pendapat para fuqoha’, beliau berkata: ” Dan setelah kita paparkan perkataan para fuqoha’ tentang pengertian dua negara tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwasanya syarat utama disebut daarul Islam atau daarul kufri menurut mereka adalah hukum dan kekuasaan yang berlaku. Apabila yang berlaku di dalamnya itu hukum Islam dan berada di bawah kekuasaan kaum muslimin maka negara ini adalah daarul Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin tinggal di dalamnya dengan aman. Apabila hukum Islam tidak berlaku , kekuasaan dan kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul harb, walaupun di dalamnya ada kaum muslimin dan berbatasan dengan negara-negara Islam dan dampaknya adalah kaum muslimin di sana tidak mempunyai jaminan keamanan dari kaum muslimin.” (lihat: Ahkam Ahlidz Dzimmah I/3 dan fatwa-fatwa Muhammad Rosyid Ridlo (158) I/372).
Dan dapat kita fahami secara pasti bahwa hukum Islam itu tidak akan mendominasi kecuali memang kekuasaan berada di tangan kaum muslimin yang melindungi hukum-hukum tersebut dari musuh-musuh yang mau menyerang penganutnya atau mau menghapusnya. Karena kekuasaan orang-orang kafir tidak akan mungkin melindungi hukum-hukum Islam maka tidaklah mungkin hukum-hukum itu berjalan kecuali sebagian syi’ar-syi’ar yang diijinkan oleh penguasa tersebut karena belas kasih dari mereka, itu pun pada batasan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum kafir yang berkuasa di dalamnya. Oleh karena itu tidaklah cukup hanya dengan berlakunya sebagian dari syi’ar-syi’ar ibadah sebagai belas kasih dari kekuasaan orang-orang kafir untuk dinamakan daarul Islam (haqiqotan wa hukman). Maka atas dasar inilah Imam Abu Hanifah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Al-Kaasaani : ”Sesungguhnya maksud dari penisbatan negara kepada Islam atau kafir bukanlah Islam dan kafir itu sendiri.”(Badai’ush Shonai’ VII/131). Artinya kalau keamanan itu secara mutlak bagi kaum muslimin dan ketakutan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir, maka negara ini adalah daarul Islam dan kalau keamanan itu secara mutlak bagi orang-orang kafir dan ketakutan itu secara mutlak bagi kaum muslimin, maka negara ini adalah daarul kufri.(-ibid-). Kemudian Al-Kaasaani mengomentari: ”Dan yang dimaksud dengan perkataannya ‘keamanan secara mutlak’ adalah tidak perlunya meminta perlindungan dan keamanan.”(-ibid-)
Dan perlu diperhatikan disini bahwasanya Imam Abu Hanifah memfokuskan pada seputar eksistensinya kekuasaan di samping berjalannya hukum di dalam menamakan sebuah negara, karena keamanan adalah tanda dari eksistensinya kekuasaan, sebagaimana yang dikatakan oleh As-Sarkhosi ketika memberikan definisi daarul Islam : ”Nama bagi sebuah tempat yang berada dibawah kekuasaan kaum muslimin, dan tandanya adalah kaum muslimin aman tinggal di dalamnya, adapun tempat yang kaum muslimin tidak aman di dalamnya maka tempat tersebut adalah bagian dari daarul harbi.” (As-Sirul Kabiir karangan Asy-Syaibani yang disyarh oleh As-Sarkhosi IV/1253). Dan di tempat yang lain beliau berkata: ”Yang dijadikan patokan pada sebuah negara adalah kekuasaan dan kekuatan di dalam memberlakukan hukum” (ibid, hal.1073).
Begitu pula tidak cukup hanya dengan keberadaannya di tangan kaum muslimin dan di dalamnya tidak berjalan hukum Islam. Dan atas dasar inilah As-Sarkhosi mengatakan: ”Dan hanya dengan penaklukan sebelum dijalankannya hukum Islam tidak merubah statusnya menjadi daarul Islam. karena kekuasaan tidaklah sempurna kecuai dengan menjalankan hukum Islam di dalamnya” (Al-Mabsuth X/23). Dan atas dasar inilah Sayyid Quthb mengatakan : ”Daarul Harbi adalah mencakup setiap negara yang tidak menjalankan hukum Islam dan tidak diatur dengan syari’at Islam. Dan tidaklah sama semua penduduknya, mereka mengatakan: ’Sesungguhnya mereka muslim atau sesungguhnya mereka ahli kitab sesungguhnya mereka orang-orang kafir (Fii Dlilalil Qur’an II/874 dan lihat Ma’alim Fith-Thoriq hal.145).
M. Rosyid Ridlo berkata: ”Sesungguhnya banyak terdapat di negara-negara yang penguasanya orang-orang Islam, orang yang terkena musibah pada agamanya sehingga tidak mampu melaksanakan apa yang ia yakini dan tidak bisa mengerjakan segala apa yang wajib ia lakukan apalagi amar makruf nahi mungkar dan mengritik penguasa yang menyeleweng dari syari’at, negara semacam ini menurut sebagian ulama’ adalah daarul harbi.”(Fatwa-fatwa M. Rosyid Rudlo hal.145) . Hal ini disebabkan karena berlakunya hukum dan eksistensi kekuasaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, karena hukum Islam tidak akan berjalan di sebuah negara kecuali dengan eksisnya kekuasaan yang nyata bagi pemerintah muslim, dan tidaklah diijinkan bagi seorang penguasa muslim untuk mengatur kecuali dengan hukum Islam dan ketika itulah pasti kaum muslimin hidup di dalamnya dalam keadaan aman. Oleh karena itu jumhur ulama’ membatasi perkataan mereka bahwasanya daarul harbi berubah menadi daarul islam dengan berlakunya hukum Islam di dalamnya. (lihat: Al-Fatawa Al-Hindiyah II/232, Bdai’ush Shonai’ VII/130, Hasyiyatu Daaril MukhtarIV/175,Al-UmmVII/333-334, Fatawa Muhammad Rosyid Ridlo no.1058 VI/2590). Karena sesungguhnya pendapat tersebut tidak menyatakan dengan jelas bahwasanya kekuasaan itu tidak di tangan kaum muslimin namun dapat kita pahami secara pasti dan secara eksplisit, selama hukum Islam itu berjalan. Atas dasar ini As-Sarkhosi mengatakan : ”Dan setiap tempat yang didominasi oleh hukum Islam maka kekuatan di dalamnya adalah milik Islam.”(Al-Mabsuth X/114)
Adapun pendapat yang ketiga maka sesungguhnya diantara fungsi daarul Islam adalah menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti membangun masjid-masjid, mengumandangkan adzan, mengadakan sholat ‘Ied dan lain-lain. Oleh karena itu jika sebuah kampung meninggalkan sebagian dari syi’ar-syi’ar tersebut maka kewajiban imam memerangi kampung tersebut sampai mereka menegakkan syi’ar tersebut. Namun demikian syi’ar-syi’ar tersebut menjadi tidak berarti jika sesuatu yang lebih pokok dari pada itu diabaikan yaitu berlakunya hukum Islam yang tentunya tidak akan terwujud kecuali oleh penguasa Islam.
Hal ini tersirat dalam keterangan Abdurrahman bin Mu’alla Al Luhaiqiy, maksudnya sya’air tersebut menjadi cermin pertama negeri tersebut negeri tersebut (Al Ghuluw Fiddien: 335). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu a’alaihi wasallam :
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ
الْفَجْرِ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ
إِلاَّ أَغَارَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila fajar telah menyingsing beliau mengadakan
penyerangan. Beliau selalu meneliti untuk mendengarkan adzan, bila terdengar
suara adzan, maka beliau batalkan penyerangan, sedangkan bila tidak terdengar,
maka beliau menyerangnya” ( HR Muslim ).
إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا
أَوْ سَمِعْتُمْ مُنَادِيًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا ....
“Bila kalian melihat masjid atau adzan dikumandangkan dalam
sebuah negeri, maka jangan memerangi seorang pun”( H.R. Abu Daud No Hadits : 2635, Tirmidzi No : 1549)
Al Imam Asy Syafi’I berkata :
حُكْمُ الدَّارِ : الَّذِيْ
يَمْنَعُ بِهِ اْلأَغَارَةُ عَلَى الدَّار
“Hukum suatu daar ( Kafir atau Islam), tergantung atas
dibolehkan atau tidaknya penyerangan kepada negeri tersebut” (Ar
Risalah Imam Syafi’i : 300.)
Sedangkan bila negeri tersebut jelas-jelas termasuk dari kekuasaan dan terikat oleh Politik Romawi ( misalnya ), niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan membiarkannya, dan pasti akan berusaha membebaskannya ( futuh ).
Karena betapa banyak negeri-negeri
yang membebaskan penduduknya yang muslim
untuk menegakkan sya-a’ir saja. Sedangkan selian itu mereka melarangnya dengan
dalih Demokrasi . dinamainya sebuah daar (negara) dengan daarul kafir tidak menjadikan bahwa
seluruh yang berada di dalamnya sebagai kufar secara muthlaq.
Sehingga daarul Islam adalah negeri
milik seluruh umat Islam di dunia, dan tidak terbatas oleh darah, ettnis, atau
suku bangsa. Kepadanyalah seluruh muslim – yang berada di daarul kufri – berhijrah dan meminta bantuan. Maka daarul Islam adalah sinonim dari Jama’atul Muslimin atau
negeri yang termasuk Jama’atul Muslimin. (Dr. Isma’il, Ikhtilafud-Daaroyn, hal 80.)
Dengan demikian sesungguhnya sahnya penamaan Daarul Islam dan Daarul Harbi dimulai oleh para fuqoha’ dengan adanya dua syarat pokok, yaitu: belakunya hukum dan adanya kekuasaan. Apabila hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum Islam serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh imam kaum muslimin, maka negara itu adalah daarul Islam, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan aman secara mutlak, dan jika hukum-hukum yang berlaku di dalamnya hukum kafir serta kekuasaan dan kekuatan dipegang oleh orang-orang kafir, maka negara itu adalah daarul harbi, dan tandanya adalah kaum muslimin di sana dalam keadaan tidak aman (ibid hal. 30-35).
Mirip juga dengan pendapat ini adalah
pendapat Dr. Abdulloh Ath-Thuroiqi dalam kitab beliau Al-Isti’anah bighoiril
Mulimin lihat: Al-Isti’anah bi ghoiril Muslimin karangan Dr. Abdulloh bin
Ibrohim bin Ali Ath-Thuoiqi hal.169-174.
Dengan demikian maka Daarul Islam Adalah: “Negara yang berjalan di dalamnya hukum-hukum Islam, diatur oleh kekuasaan kaum muslimin dan kekuatannya berada di tangan kaum muslimin” (Ini adalah pendapat Dr. Ismail Luthfi Fathoni, ibid hal. 30). Maka dengan secara otomatis syi’ar-syi’ar Islam akan tegak dan keamanan akan terjamin bagi umat Islam.
D. DARUL ISLAM
DAN DARUL KUFRI
1. Darul Islam
Telah jelas bahwa Darul Islam adalah
wilayah yang dikuasai orang-orang muslim, didalamnya berlaku hukum-hukum islam, pengaruhnya ada ditangan orang-orang
muslim, meskipun ada orang-orang kafir yang menetap disana. Darul Islam Mempunyai
dua pilar yang utama:
a. Hukum Islam dan peraturannya
b. Kekuatan dan kekuasaan
Jika 2 pilar tersebut dapat diraih kembali, maka negara Islam niscaya tidak lama lagi akan tegak. Beberapa syarat untuk tegaknya pilar-pilar tersebut:
a. Harus ada propinsi (wilayah
tertentu)
b. Harus ada warga negara
c. Harus ada pemimpim
d. Harus ada hukum dan
peraturannya
Abdul Wahhab Kholaf mengutip ungkapan sebagian fuqoha, bahwa Darul Islam adalah “wilayah yang didalamnya berlaku hukum-hukum Islam dan orang yang ada di dalamnya mendapatkan keamanan dengan kemamanan Islam, baik mereka itu muslim maupun dzimmi” (Abdul Wahhab Kholaf, Politik Hukum Islam, hal. 82)
Abdul Karim Zaidan menambahkan “Syarat paling penting untuk menggolongkan suatu wilayah menjadi Darul Islam ditinjau dari kenyataan bahwa wilayah itu diperintah oleh umat Islam di bawah kedaulatan dan kekuasaan mereka, dan hukum yang tampak di dalamnya adalah hukum Islam. Dan tidak disyaratkan bahwa wilayah itu harus dihuni oleh umat Islam selama ia masih di bawah kekuasaan mereka. Dalam hal ini Imam Ar Rofi’i menuturkan “Darul Islam tidak disyaratkan harus dihuni oleh umat Islam, akan tetapi yang penting ada di bawah kekuasaan Imam dan Islam”. (Zaidan, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fi Daril Islam, hal 19)
Dalam konteks inilah, Kholid bin Walid menyatakan dalam suratnya: “Dan saya tetapkan bagi mereka, barang siapa yang sudah tua dan tidak mampu bekerja, atau tertimpa musibah, atau asalnya kaya kemudian miskin, maka orang-orang yang seagama dengannya memberi shodaqoh untuknya, sementara pembayaran jizyahnya dibebaskan, dan nafkahnya ditanggung oleh Baitul Mal begitu pula keluarganya, itu selama orang tersebut masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam, namun apabila ia keluar dari darul Hijrah dan darul Islam, maka kaum muslimin tidak berkewajiban memberi belanja dan nafkah keluarga mereka” (Abu Yusuf, Al Khoroj, hal. 144).
Melalui ungkapan di atas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud Darul Islam oleh Kholid radhiallahu ‘anhu adalah daerah yang dikuasai oleh Islam dan diatur dengan hukum Islam. Sebab, siapa saja yang ada di sana menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusinya. Akan tetapi, apabila dia keluar dari wilayah tersebut, maka dia sudah di luar jangkauan hukum dan kekuasaan Islam.
Adapun Darul Harb, Az Zuhaili mendefinisikannya sebagai “wilayah yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam, baik sebagai hukum agama maupun politik, karena letaknya yang ada di luar wilayah kekuasaan Islam” (Az Zuhaili, Atsarul Harb, Hal, 170). Abdul Wahhab Kholaf menukil pernyataan sebagian fuqoha, bahwa Darul Harb adalah “daerah yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan penduduknya tidak dilindungi dengan keamanan Islam” (Politik Hukum Islam, hal. 82)
Jadi, daerah di luar Darul Islam tergolong wilayah kekufuran alias wilayah perang (darul kufur/darul harb/teretory of war), dimana masyarakatnya tidak diatur menggunakan hukum Islam, jiwa serta harta mereka tidak dijamin oleh kekuatan Islam (Abdul Karim Zaidan, Ahkam adz Dzimmiyin wal al Musta’minin fi Daril Islam, hal. 20) dan jihad untuk menaklukkan wilayah tersebut hukumnya fardhu kifayah bagi kaum muslimin (Abu Zahroh, Al ‘Alaqot ad Dauliyah fil Islam, hal 56). Jika suatu Darul Kufur berhasil di taklukkan, dikuasai oleh umat islam dan ditegakkan hukum-hukum Islam di dalamnya, maka statusnya berubah menjadi Darul Islam (Al Kasani, Bada’i’ ash Shona-i’, hal. 519).
Wahbah Az Zuhaili menuturkan: “seluruh wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Islam di dalamnya diterapkan hukum-hukumnya dan ditegakkan syariat-syariatnya maka telah menjadi Darul Islam, kaum muslimin wajib mempertahankannya ketika ia diserang sebagai kewajiban kifayah sesuai kebutuhan, namun (jika sebagian saja tidak mencukupi) maka menjadi fardhu ‘ain” (Az Zuhaili, Atsarul Harb fil Islam)
Tipe-Tipe Darul Islam
Sekarang ini
tidak ada negara Islam, begitupun
juga jika kita mengklasifikasikan
negara Islam fakta yang ada sekarang tidak ada. Kita saat ini membicarakan
negara Islam dan macamnya pada masa lampau, dan masa yang akan datang (semoga segera
berdiri-Aamiin-Allohu Musta’an).
a. Darul Baghie (Daerah
Pemberontakan)
Daerah ini
masih dalam bagiannya negara Islam, bukan dalam bagian negara kufur. Daerah ini
dimasukkan ke dalam Darul Baghie,
ketika masyarakat yang ada di sana melakukan pemberontakan melawan pemerintahan Islam, seperti daerah Khawarij, Al Haruriyyah yang dikenal sebagai darul baghie, ketika mereka melawan Shahabat Rosulullah. Ibnu Abbas
menyebutnya dengan Darul Baghie dan
menyebutnya sebagai Kufr duna kufr (kufur dunia). Kebalikan dari daerah ini adalah Darul ‘Adl. Daerah ini merupakan bagian dari Darul Islam (negara
Islam), tetapi jika kemudian terdapat pemberontakan terhadap Darul Islam maka
disebut Darul Baghie, tetapi tidak
meliputi semua bagian dari negara Islam.
b. Darul Fusuq/Darul Fasiq (Daerah Dosa)
Daerah ini
disebut Darul Fusuq ketika terjadi beberapa
perbuatan fasiq yang berkembang di beberapa bagian daerah dari pemerintahan
Islam, misalnya Ja’far bin Mubashir
adalah salah seorang yang berkata bahwa “hijrah
adalah fardhu dari tempat perbuatan
fasiq (bagian daerah pemerintahan Islam)”. Mereka membuat qiyas atas hijrah
dari negara kufur, tetapi ini merupakan qiyas yang tidak beralasan/tidak tepat,
sebagaimana kamu tidak dapat menggunakan qiyas negara Islam sebagai negara
kufur. Misal ketika musik mulai menyebar di setiap tempat dan khalifah tidak
mensahkannya tetapi tidak juga menindaknya maka hal ini akan menjadi suatu
ucapan tentang kekufuran (Kufr duna kufr). Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala : ”Dan sungguh Allah telah
menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang
lain, karena sesungguhnya (kalau kamu
berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir dalam jahannam”
(Q.S. An Nisa’ (4) :140).
Satu dari macam-macamnya yaitu berupa ejekan mengatakan perkataan-perkataan kotor tentang apa yang telah diketahuinya sebagai suatu yang penting/perlu tetapi mengatakan “saya tidak butuh akan hukum syara‟, berhukum kepada thoghut. Jika kamu berada dalam situasi antara semua kefasikan dan kekufuran, maka kamu harus menghindari/menjauhi kejahatan dan kamu harus meninggalkan mereka semuanya. Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami maka tinggalkan olah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaiton menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dholim sesudah (akan larangan itu)” (Q.S. Al An’am (6) : 68).
Al-Khaud adalah ketika kamu berbicara tentang sesuatu bahwa mereka tidak layak untuk berkata mengenai hal tersebut, kita tidak pergi ke tempat pertemuan dimana orang-orang berbicara tentang hawa nafsu dan bid’ah. Darul Fisq dijelaskan dalam hadist dari Sa’id AlKhudri bahwa Rosulullah saw bersabda: ”Ada seseorang sebelum kamu yang membunuh 99 orang kemudian ia mendatangi seorang pendeta dan berkata,”Aku telah membunuh 99 orang, maka apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat, pendeta itu berkata”Tidak, kemudian dia membunuh pendeta itu dan ia melakukan pembunuhan menjadi 100 kali. Setelah itu ia mendatangi seorang pendeta yang lain,”Aku telah membunuh seratus orang, maka apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat? Pendeta itu berkata,”Ya, pergilah kamu ke tempat di mana masyarakatnya adalah orang-orang yang melakukan ibadah pada Allah dan janganlah kembali ke rumahmu, karena sesungguhnya ia daerah Fisq (kemudian dia mati di jalan itu (dalam keadaan taubat))”. (HR.Bukhori)
Suatu tempat di mana dia hidup adalah tempat orang-orang fasiq, tempat orang-orang yang melakukan kefasikan, dan dia dituntut atas hal tersebut karena tidak ada taubat, tetapi masih ada taubat untuk segala macam dosa kecuali syirik. Imam Syaukani berkata : “Darul Fisq adalah tempat dimana perbuatan dosa tersebar tetapi bagi muslim yang ada di sana harus meninggalkan tempat tersebut dan orang-orang yang ada di sana harus di hukum dan tempat tersebut akan dikenal sebagai Darul Ma’assi sampai kekufuran berkembang di sana (kemudian akan menjadi Darul Kufr)”.
c. Darul Dhimmah (Daerah yang dihuni oleh orang-orang kafir yang terikat perjanjian dengan penguasa muslim/khalifah)
Darul Dhimmah adalah bukan
Darul A’had, sebab Darul A’had
berada dalam Darul Kufur . Darul Dhimmah
adalah klasifikasi dari negara Islam, ketika terdapat orang-orang kafir dhimmi
tetapi daerah tersebut bisa juga dihuni oleh bukan orang-orang kafir dhimmi
yaitu orang-orang muslim. Misalnya Khaibar
dibawah kepemimpinan Rosulullah saat itu adalah Darul Dhimmah, dijelaskan bahwa: ”Jika seorang amir dari beberapa pasukan mengelilingi musuh untuk
beberapa kota kemudian beberapa dari mereka (penduduk kota) berkata mereka akan
menjadi muslim dan beberapa dari mereka berkata akan menjadi kafir dhimmi, maka
langkah yang terbaik adalah membiarkan mereka untuk menjadi muslim dengan
memberlakukan hukum Islam atas mereka dan melihat kesudahan mereka dalam
menjalankan urusan dengan hukum Islam”. (Kitab Al Siyar vol.5)
Ahlu Dhimmi adalah seseorang yang menerima atau bersedia hidup di bawah hukum Islam dan diatur olehnya, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh madzhab Imam Hanafi“mengikuti hukum suatu negeri”. Sifat Daar Ahli Dzimmah adalah sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Hasan Rahimahullah: "Jika amir pasukan mengepung penduduk salah satu kota musuh lalu sebagian mereka menyatakan kami menyerah dan yang lain menyatakan kami menjadi ahli Dzimmah dan tetap berada ditempat tinggal kami. Jika kaum muslimin mampu menjadikan bersama mereka orang yang mampu memerangi Ahlul Harb yang ada pada mereka dan memberlakukan pada mereka hukum Islam maka amir tersebut harus melakukannya". Berkata pensyarah Sarkhasyi: "Sebab memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka (Kafir) masih bisa dan negeri tersebut menjadi negeri kaum muslimin lewat pemberlakuan hukum-hukum kaum muslimin. Maka Imam menjadikannya sebagai negara Islam dan penduduknya sebagai ahlu Dzimmah,” (Sair Kabiir 5/2196-2197). Demikian penjelasannya.
2. Darul Kufr
Darul kufr ialah wilayah yang dikuasai
oleh orang-orang kafir, disana diberlakukan hukum-hukum kufur dan pengaruhnya
ada pada orang-orang kafir, meskipun
orang-orang islam banyak menetap disana. Jadi wilayah
yang didalamnya berlaku hukum orang-orang
kafir dinamakan darul kufr, meskipun orang-orang islam banyak menetap disana.
“Suatu
negara yang terdiri dari beberapa wilayah/daerah yang hukum dan peraturannya
adalah kufur, meskipun penduduk yamg mendiami mayoritas muslim”.
Tidak menutup kemungkinan darul islam dapat berubah menjadi darul kufr, yakni ketika berhasil dikuasai oleh kekuatan kufur, sehingga keamanan wilayah itu dipegang oleh kekuatan kufur, contohnya adalah sebagian besar wilayah Palestina yang dikuasai Israel. Al Kasani mengatakan: “Apabila hukum kufur telah tampak jelas di suatu wilayah, maka ia berubah menjadi Darul Kufur, dan idhofah itu menjadi benar” (Al Kasani, Bada’i’ ash Shona-i’, hal. 519)
Pembagian Darul kufr
Darul
kufr dibagi dalam beberapa bagian, menurut berbagai tinjauan. Nama yang
disepakati adalah negara kafir atau negara syirik. Pembagiannya sebagai
berikut:
1. Dilihat
dari sudut pandang apakah kekafiran terjadi sejak awal atau belakangan,
menjadi:
a. negara kafir
asli, yaitu negara yang sebelumnya bekun pernah dikuasai oleh Islam, seperti
Jepang, China Timur, Inggris, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Australia.
b. Negara kafir
insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam,
namun kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Seperti Andalusia (spanyol dan
Portugal hari ini), Palestina, negara-negara Eropa Timur yang dahulu berada di bawah kekuasaan daulah
Utsmaniyah, seperti Rumania, Bulgaria, Yugoslavia (Bosnia, Serbia, Kroasia hari
ini), Yunani dan Albania.
c. Negara murtad ;
bagian dari negara kafir insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah
menjadi negara Islam lalu dikuasai oleh orang-orang murtad dan mereka
memberlakukan hukum-hukum kafir. Seperti
negara-negara yang hari ini disebut sebagai negara-negara Islam, termasuk di
dalamnya negara-negara arab. Dalam rentang waktu yang lama, mayoritas
negara-negara ini adalah negara kafir insidental karena diperintah oleh
negara-negara kolonialis salibis yang menerapkan undang-undang kafir, mereka
kemudian meninggalkan negara-negara ini dan pemerintahan diteruskan oleh
orang-orang murtad dari penduduk
pribumi. Ada beberapa perbedaan hukum fiqih antara negara kafir dan negara murtad,
disebutkan oleh Al Mawardi dalam (Al
Ahkam As Sulthaniyah hal. 57, cetakan Al Halabi). Saya perlu mengingatkan
di sini bahwa dalam beberapa buku karangan saya, saya sering menyebut
negara-negara seperti ini dengan istilah negara-negara kaum muslimin, dengan
melihat kepada mayoritas penduduknya yang merupakan umat Islam. Namun istilah
(negara-negara kaum muslimin) ini tidak sama dengan istilah (negara
Islam). Negara-negara kaum muslimin
tetap adalah negara kafir dan murtad, jihad melawan pemerintahan yang
menguasainya adalah fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang menjadi warga
negaranya, sebagaimana sering saya sebutkan dalam banyak tempat dalam buku-buku
saya.
2. Dilihat dari sudut pandang hubungannya dengan Darul Islam, darul kufri dibagi menjadi:
a. Daarul Harbi, yaitu
negara yang tidak mempunyai perjanjian damai atau gencatan senjata dengan darul
Islam. Penamaan daarul harbi ini tidak disyaratkan adanya perang, namun cukup
dengan tidak adanya perjanjian damai antara kedua negara. Maknanya, kaum
muslimin boleh memerangi penduduk darul harbi kapanpun, karena itu
negaratersebut disebut darul harb.
b. Daarul ‘Ahdi, yaitu
negara yang mengadakan perjanjian damai dan gencatan senjata dengan darul
Islam. Seperti Makkah pada masa antara perjanjian Hudaibiyah dengan penaklukan
Makah (tahun 6-8 H). Tidak boleh
mengadakan perjanjian damai dengan tidak memerangi daarul harbi, kecuali bila
ada maslahat bagi kaum muslimin seperti bila kaum muslimin sedang lemah,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas.” (QS. Muhammad,47 :35).
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk memerangi orang-orang kafir sehingga dien hanya untuk Allah Ta’ala, dan Allah tidak memerintahkan kita untuk berdamai dengan mereka kecuali kondisi menuntut kita untuk berdamai. Allah ta’ala berfirman :
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah ;5).
“Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal :39).
[lihat Al Mughni Ma’a Asy Syarhil Kabir 10/517, As Siyar Al Kabir 5/1689 karya imam Muhammad bin Hasan]
Perjanjian damai dengan negara harbi hanya boleh dilakukan oleh imam atau wakil yang ditunjuk oleh imam. Karena pada zaman sekarang ini tidak ada imam syar’i, maka tidak ada ikatan dengan perjanjian negara yang ditekan oleh para pemerintah kafir, karena perjanjian damai tersebut dilakukan oleh orang yang secara syar’i tidak mempunyai wewenang memerintah kaum muslimin. Maka, keberadaan perjanjian damai tersebut sama dengan ketidak adanya perjanjian damai, karena yang tidak ada secara de jure adalah seperti yang tidak ada secara de facto.
“ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas.” (QS. Muhammad,47 :35).
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk memerangi orang-orang kafir sehingga dien hanya untuk Allah Ta’ala, dan Allah tidak memerintahkan kita untuk berdamai dengan mereka kecuali kondisi menuntut kita untuk berdamai. Allah ta’ala berfirman :
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah ;5).
“Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal :39).
[lihat Al Mughni Ma’a Asy Syarhil Kabir 10/517, As Siyar Al Kabir 5/1689 karya imam Muhammad bin Hasan]
Perjanjian damai dengan negara harbi hanya boleh dilakukan oleh imam atau wakil yang ditunjuk oleh imam. Karena pada zaman sekarang ini tidak ada imam syar’i, maka tidak ada ikatan dengan perjanjian negara yang ditekan oleh para pemerintah kafir, karena perjanjian damai tersebut dilakukan oleh orang yang secara syar’i tidak mempunyai wewenang memerintah kaum muslimin. Maka, keberadaan perjanjian damai tersebut sama dengan ketidak adanya perjanjian damai, karena yang tidak ada secara de jure adalah seperti yang tidak ada secara de facto.
3. Dilihat dari sudut pandang kaum muslimin merasakan keamanan di negara tersebut, darul kufri bisa dibagi menjadi:
a. Darul amni, yaitu
negara kafir di mana kaum musliminbisa menetap dengan aman, seperti negeri
Habasyah pada masa awal Islam. Kaum muslimin berhijrah dari Makkah ke Habasyah
untuk menyelamatkan diri dari kekejaman kafir Quraisy.
b. Darul fitnah, yaitu
negeri kafir di mana kaum muslimi tidak merasakan keamanan di dalamnya, seperti
Makkah pada masa awal Islam, dan sebagian besar daruridah hari ini.
Wallahu a’lam bis showab!
Sumber:
- Makalah Ramadhan 1427 H. Hukum Menetap Di Darul Kufr, dengan referensi :Tafsir Al Quranul Adzim, Ibnu Katsir, Ad Difa 'An Ahlus Sunnah Wal Itba', Ibnu Atiq dan Syarh Sunnah, Al Baghowy.
- Makalah Bab Pembagian Negara Dan Penduduk Dunia Dalam Islam, oleh Ust Nur Kholis
- Terjemah kitab Al Jaami-u Fi Thalabil Ilmi Asy Syarif 2 hal 638-655, Bab Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Negara, Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
- http://bengkelfikrah.wordpress.com/2011/06/25/darul-islam-dan-darul-kufur-darul-harb/
- http://rumahku-indah.blogspot.com/2010/11/darul-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar