Perkara aqidah merupakan perkara yang sangat krusial. Sebab
aqidah merupakan syarat mutlak dan fondasi utama diterimanya amal. Bila
aqidahnya benar maka amaliahnya insya Allah akan diterima oleh Allah Subhanahu
wata’ala. Sebaliknya apabila aqidahnya batil hingga keluar dari islam maka seluruh
amaliyahnya akan sia-sia, tidak diterima oleh Allah.
Batalnya aqidah yang mengakibatkan rusaknya amal
itu bukan sekadar seperti batalnya shalat ketika batalnya wudhu, yang hal itu
mudah, dengan wudhu lagi kemudian mengulang shalat lagi dari awal maka sah.
Namun kalau batalnya aqidah, akan menghapus seluruh amal. Karenanya,
membentengi aqidah dari aneka kesesatan dan penyimpangan merupakan kewajiban
yang tidak boleh dinomor duakan.
Untuk urusan kesyirikan mungkin banyak yang dapat
menjaga diri darinya. Berbeda dengan aliran serta pemikiran yang
mengatasnamakan islam, banyak yang tidak mengetahuinya. Berangkat dari
ketidaktahuan tersebut masih ada sebagian kaum muslimin yang latah serta
menerimanya mentah-mentah tanpa mencoba mencari tahu asal usul ajaran tersebut.
Mereka mengira hal tersebut merupakan ajaran rasulullah salallohu ‘alayhi
wassalam.
Maka dari itu diharapkan kita bisa mengetahui
berbagai macam aliran dan pemikiran menyimpang tersebut, salah satu caranya
dengan mempelajari dirosatul firoq. Setidaknya hal tersebut dapat menjadi
benteng bagi pribadi kita dari penyimpangan aqidah tersebut, juga membentengi
aqidah umat dari berbagai penyimpangan aqidah. Dengan mempelajarinya dapat
memperingatkan umat tentang bahaya aliran sesat yang menyebar dewasa ini.
Terlebih dengan munculnya berbagai aliran-aliran yang mengatasnamakan islam
padahal telah keluar jauh dari ajaran islam sesungguhnya.
Di dalam dirosatul firoq tidak saja dibahas tentang
teologi (firqoh aqidah) klasik saja, tetapi juga berbagai aliran-aliran
kontemporer terutama yang banyak menyebar di Indonesia khususnya. Di dalamnya
juga membahas sejarah kemunculan dan perkembangannya, pendiri firqoh, para
tokoh yang turut andil dalam penyebaran aliran, pokok-pokok ajaran, komentar
para ulama tentangnya, serta ciri khusus yang terdapat pada aliran tersebut dan
penyimpangan dari aqidah ahli sunnah wal jama’ah.
Dengan dipaparkannya pemikiran-pemikiran sesat
mereka bukan berarti ingin turut menyebarkan pikiran sesat terebut. Justru hal
ini lakukan agar kita bisa mengetahui kesesatan pemahaman tersebut. Sehingga
bisa menghindarinya dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikutinya, serta
mengajak mereka yang sudah terlanjur terjerembab ke dalamnya agar bisa kembali
ke jalan yang benar. Yaitu jalan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang merupakan Al
Firqoh An Najiyah (kelompok yang selamat). Wallahu a’lam bi showab.
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PERPECAHAN UMAT ISLAM
1.
Pengertian Iftiraq
Dr. Nashir bin
Abdul Karim al-Aql dalam bukunya “Perpecahan Umat Islam” menjelaskan definisi Iftiraq secara etimologis berasal dari kata mufaraqah,
yang berarti “perceraian, perpisahan, dan pemutusan”. Iftiraq juga
diambil dari kata insyaab (pertentangan) dan syudzudz (nyeleneh,
ganjil, atau aneh). Dari kata ini iftiraq berarti “sesuatu yang keluar dari
asal (pokok), atau segala sesuatu yang keluar dari kesungguhan atau segala
sesuatu yang keluar dari jama’ah”.
Iftiraq menurut istilah
adalah “keluar dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam salah satu pokok (ushul)
dari pokok-pokok agama yang qathiyyah ataupun pokok-pokok amaliyah yang
sifatnya qath’iyyah ataupun pokok-pokok yang erat hubungannya dengan kemashlahatan kaum muslimin.
Dengan begitu, membuat selisih
dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah pada masalah-masalah pokok yang berhubungan
dengan akidah merupakan perbuatan iftiraq serta membuat selisih dengan
Jama’atul Muslimin dan iman mereka pada masalah-masalah yang yang mendatangkan
kemashlahatan dan kemajuan bagi kaum Muslimin juga merupakan iftiraq. Keluar dari ijma’ (kesepakatan)
kaum Muslimin secara praktis dinamakan iftiraq, setiap kufur besar dinamakan
juga iftiraq, tetapi tidak setiap
bentuk iftiraq adalah menjurus kepada
kekufuran. Setiap amalan atau keyakinan yang mengeluarkan manusia dari
pokok-pokok islam, pokok-pokok Islam, kepastian-kepastian agama, dan dari Ahlu
Sunnah wal Jama’ah yang membuat dia kufur, maka hal itu juga berarti tindakan iftiraq. Namun, tidak setiap iftiraq itu kufur. Artinya, mungkin
terjadi iftiraq dari sekelompok atau
segolongan manusia atau jama’ah, tetapi kadang-kadang tidak bisa disebut kufur
sampai dia dipastikan berbuat iftiraq
(berpecah-belah) dari Jama’atul Muslimin dalam salah satu perbuatan, seperti
pemisahan diri yang dilakukan kaum Khawarij. Kaum Khawarij telah memisahkan diri dari Jama’atul
Muslimin, dam mengadakan pemberontakan kepada kaum Muslimin yang lebih besar.
Oleh karena itu, mereka benar mengadakan pemisahan diri dengan Jama’atul
Muslimin dan imam Yang dibai’at. Saat itu para sahabat belum memvonis kaum
Khawarij sebagai kafir, tetapi masih dalam batas sebagai orang yang berselisih.
Apakah perpecahan
benar-benar melanda umat
Islam? Benarkah hal itu
terjadi? Persoalan ini terangkum dalam sembilan point berikut:
Pertama, Hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengenai perpecahan yang
melanda umat. Di antaranya adalah hadits iftiraq yang berbunyi. "Artinya: Umat Yahudi
telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh
satu golongan. Dan umat Nasrani telah terpecah belah menjadi tujuh puluh
dua golongan. Sementara umat ini (Islam) akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan"
Hadits Nabi ini sangat
masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan dicantumkan oleh para imam dan
huffazh dalam kitab-kitab sunan, seperti Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya'la Al-Maushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu
Baththah, Al-Ajurri, Ad-Darimi, Al-Lalikai dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan
shahih oleh beberapa ahli ilmu di antaranya; At-Tirmidzi, Al-Hakim,
Adz-Dzahabi, As-Suyuthi, Asy-Syathibi
dan lainnya. Di samping
banyak terdapat jalur
sanad bagi hadits
ini, secara keseluruhan dapat mencapai derajat hadits shahih.
Kedua, Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengabarkan bahwa umat ini bakal mengikuti tradisi umat-umat
terdahulu. Hadits tersebut berbunyi. Artinya: ”Kalian pasti akan
mengikuti tradisi umat-umat
terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta. Hingga
sekalipun mereka masuk
lubang biawak, kalian pasti
mengikutinya. "Kami bertanya: 'Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum
Yahudi dan Nashrani? Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
menjawab: 'Siapa lagi kalau bukan mereka!" [Hadits Riwayat
Al-Bukhari, silakan baca Fathul Bari, 8/300 dan
Muslim hadits no. 2669]. Hadits ini
shahih muttafaqun alaihi,
tercantum dalam kitab-kitab shahih dan sunan.
Dalam beberapa matan dan lafalnya secara eksplisit
hadist ini menjelaskan
makna "menyerupai dan mengikuti" yang dimaksud. Diantaranya
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: “Ibarat bulu-bulu anak panah yang sama persis". Dan beberapa
lafal lainnya yang sama menunjukkan
bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memperingatkan bahaya perpecahan
yang bakal melanda umat
ini. Bahwa hal itu pasti menimpa umat ini. Dan perpecahan yang bakal
terjadi itu bukanlah cela dan cacat atas Islam, atas Ahlus Sunnah wal Jama'ah
dan atas Ahlul Haq, namun merupakan kecaman terhadap orang-orang yang
memisahkan diri dari jama'ah.
Orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah
tentunya bukan termasuk Ahlus
Sunnah wal Jama'ah. Sebab Ahlus Sunnah
wal Jama'ah adalah
orang-orang yang memegang teguh Al-Qur'an dan Sunnah, yang
tetap berada di
atas nilai-nilai keislaman. Merekalah para penegak kebenaran yang
dibangkitkan Allah kepada manusia hingga hari
Kiamat.
Jadi, perpecahan pasti terjadi berdasarkan berita
yang sangat akurat, meskipun relitas dan logika belum mampu membuktikan
kebenarannya!. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikannya
melalui hadits-hadits beliau yang shahih
dengan beragam lafal. Peringatan terhadap bahayanya juga telah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
sampaikan. Peringatan yang disampaikan berkali-kali itu merupakan sinyalemen
bahwa perpecahan pasti terjadi tanpa bisa dihindari.
Ketiga, Adanya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang
mencakup larangan mengikuti jalan-jalan
hawa nafsu dan perpecahan. Di antaranya Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
a. Q.S Ali Imran: 103
“Dan berpegang
teguhlah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai"
b. Q.S Al Anfal: 46
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan"
c. Q.S Ali Imran: 105
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka"
d. Q.S Asy-Syura: 13
“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya"
e. Q.S Al-An'am: 153
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya"
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menjelaskan ayat
di atas, beliau menarik sebuah garis lurus yang panjang kemudian menarik
garis-garis ke kanan dan ke kiri menyimpang dari garis lurus tadi. Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa garis lurus tersebut adalah jalan Allah, sementara
garis-garis ke kanan dan ke kiri adalah jalan buntu yang menyimpang dari jalan
yang utama yang lurus tadi. Beliau
juga menjelaskan bahwa pada jalan-jalan
kesesatan tadi terdapat juru-juru
dakwah yang menyeru kepada jalan setan. Siapa mengikuti mereka, niscaya akan
dilemparkan ke dalam jurang kehancuran. [Hal ini
disebutkan dalam sejumlah
hadits, sebagian dari jalur
sanad itu dinyatakan shalih oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi dan Al-Albani. Silakan lihat kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi
Ashim 1/13-14]
3. Sejarah Munculnya Iftiroq
Sejarah iftiraq penting untuk diketahui, karena apa yang terjadi pada
awal Islam merupakan ibrah (pelajaran/ renungan). Syeikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-'Aql dalam bukunya “Al-Iftiraq (Perpecahan Umat) Pengertian,
Sebab, dan Cara Penanggulangannya” mengungkapkan bahwa tidak bisa membicarakan sejarah iftiraq secara terinci, tetapi beliau akan
berhenti pada beberapa butir yang bisa dijadikan sebagai ibrah. Dan memang
perlu ada pelurusan tentang pengertian serta pemahaman beberapa butir sejarah
tersebut yang dewasa ini dipahami salah oleh kebanyakan orang.
a. Awal timbulnya aqidah-aqidah iftiraq di tengah umat
(aqidah yang menyimpang dari jama'ah) semula hanyalah berbentuk fikrah atau
aqidah keji yang samar-samar, yaitu aqidah saba'iyah (aqidah Khawarij dan
Syi'ah).
Itulah yang pertama kali didengar oleh kaum
Muslimin, dan didengar oleh para shahabat tentang aqidah iftiraq dan
benih-benih firqah di kalangan kaum Muslimin yang ditiupkan oleh para
pemeluknya. Memang betul, ketika itu ada orang asing yang telah menyerukan
benih-benih perpecahan. Tentang namanya orang berbeda pendapat, namun yang
terkenal namanya adalah Abdullah bin Saba'. Mulailah dia melancarkan godaan-godaan fitnahnya di kalangan umat Islam,
sehingga banyaklah yang memeluk aqidahnya dari kalangan kaum munafiqin,
orang-orang yang hampir masuk Islam, orang jahil, para pemuda, dan para
pendendam yang menyaksikan Islam tegak di negara mereka, menumbangkan dan merobohkan
agama serta kekuasan mereka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka mereka
pun mengikuti pernyataan-pernyataan Ibnu Saba'.
Begitulah keyakinan yang dilancarkan Ibnu Saba' ini terus berjalan di
kalangan umat Islam secara rahasia sampai akhirnya muncul Syi'ah dan Khawarij. Ini jika dipandang dari sudut sejarah awal
munculnya aqidah-aqidah atau pernyataan-pernyataan kelompok-kelompok sesat yang
muncul di tengah-tengah kaum Muslimin. Aqidah serta pernyataan yang
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang meliputi semua perkara aqidah. Adapun jika
dipandang dari firqah yang pertama kali muncul dan melakukan tindakan keluar
dari imamah serta jama'ah kaum Muslimin adalah kelompok Khawarij. Khawarij
merupakan sempalan Saba'iyah, jadi Khawarij adalah Saba'iyah.
Memang ada sebagian orang menganggap Saba'iyah
sebagai kelompok tersendiri, sedangkan Khawarij pun merupakan kelompok
tersendiri, namun pada hakikatnya Khawarij tumbuh dari tubuh Saba'iyah. Begitu
juga Syi'ah tumbuh dari sana. Saba'iyah pecah menjadi dua golongan besar yaitu Khawarij dan Syi'ah,
meskipun kemudian ada beberapa perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah, tetapi
sebenarnya asal-usul mereka itu satu, semuanya tumbuh dari peristiwa fitnah
terhadap Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu sebagai akibat dari apa yang
dilancarkan oleh Ibnu Saba' dengan pemikiran-pemikiran, aqidah-aqidah serta
perbuatan-perbuatannya. Dari sanalah munculnya aqidah yang paling keji pada
waktu itu yaitu aqidah Khawarij dan Syi'ah.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah dibuat
sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya untuk memecah belah umat, yakni Abdullah
bin Saba' yang menabur benih untuk menghidupkan sekelompok pengikut hawa nafsu,
dan menabur benih yang lain untuk menumbuhkan kelompok sesat lainnya.
Kemudian antara keduanya dibuat semacam ada
permusuhan guna memecah belah umat, seperti yang terjadi dewasa ini, ketika
terlihat musuh-musuh Islam mengadu domba umat Islam dengan istilah yang mereka
namakan permainan Blok kanan dan Blok kiri. Umat Islam dibagi menjadi berpartai-partai; partai sayap kanan dan
partai sayap kiri. Muncullah permainan istilah sekularisme, fundamentalisme,
modernisme, terbelakang, ekstrim, modernis, dan seterusnya. Semuanya adalah
permainan yang sama dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya sama dan
tujuannya pun sama, meskipun bentuk dan coraknya berbeda. Jadi semuanya ini
mencerminkan kokohnya kebatilan, meskipun mereka saling bertentangan.
b.
Adanya masalah
penting yang harus diperhatikan. Dalam sejarah iftiraq, para shahabat tidak
pernah tertimpa perpecahan sama sekali.
Perbedaan pendapat yang terjadi hanyalah perbedaan yang akhirnya dapat
diselesaikan baik dengan ijma', atau dengan tunduk kepada pendapat jama'ah,
atau dengan komitmen berkumpul di sekitar imam. Itulah yang terjadi dikalangan
para shahabat. Tidak pernah terjadi shahabat meninggalkan jama'ah, tidak ada di
antara beliau yang mengucapkan kata-kata bid'ah atau mengada-adakan perkara
baru dalam agama Islam. Sungguh, para shahabat yang merupakan para Imam agama
yang harus diteladani, tidak satu pun dari para shahabat yang meninggalkan
jama'ah selama-lamanya. Tak ada satu pun yang pendapatnya menjadi sumber bid'ah
atau sumber iftiraq.
Adapun orang-orang yang menisbatkan pendapat-pendapat sesat atau
menisbatkan golongan sesat kepada shahabat, tentu mereka telah mendustakannya
dan menimbuni para shahabat ini dengan cerita bohong. Dengan demikian, sama
sekali tidak benar jika Ali dikatakan sumber Syi'ah, Abu Dzar dikatakan sumber
sosialisme, ahlush-Shufah (orang-orang yang mensucikan diri) dikatakan sebagai
asal-usul kelompok Sufi, Mu'awiyah dikatakan sumber Jabbariyah, Abu Darda
dikatakan sumber Qadariyah, dan salah seorang shahabat menjadi sumber pendapat
sesat ini atau itu, mengada-ada, bid'ah, atau sikap-sikap aneh lainnya. Akan
tetapi semua itu hanya berasal dari kebatilan murni.
Sungguh iftiraq (Perpecahan umat) tidak pernah terjadi kecuali setelah
terbunuhnya Utsman radhiyallahu 'anhu , bahkan belum ada iftiraq yang nyata di
masa beliau. Baru pada masa
terjadinya fitnah terhadap Ali radhiyallahu 'anhu, muncullah kelompok Khawarij
dan sekelompok Syi'ah. Ada pun di masa dua khalifah Abu Bakar dan Umar
radhiyallahu 'anhuma, bahkan sampai pada masa khalifah Utsman radhiyallahu
'anhu belum terjadi sama sekali iftiraq yang hakiki. Selanjutnya para shahabat
pun melakukan penentangan terhadap iftiraq dan janganlah disangka bahwa para
shahabat lalai atau tidak tahu menahu atau mereka tidak waspada menghadapi
persoalan iftiraq; baik dalam hal pemikiran, aqidah, sikap maupun perbuatan.
Bahkan mereka tegak menentang iftiraq dengan sebaik-baiknya. Mereka telah
teruji secara baik dalam sejak terjang menghadapi iftiraq tersebut dengan
segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala
pasti tetap terjadi.
Setelah berbicara tentang sejarah iftiraq,
sepantasnyalah kita tahu asal-usul bid'ah atau tahu siapa tokoh-tokoh pencetus
golongan sesat yang menimbulkan iftiraq. Yang dimaksud dengan tokoh di sini ialah orang yang berjaya dan menjadi
imam-imam sesat sampai hari kiamat. Dan sepeninggal mereka terbukalah pintu
iftiraq, sehingga semakin banyaklah orang yang tersesat.
Di antara tokoh-tokoh (Yang pertama menimbulkan perpecahan) tersebut
adalah:
a. Pelopor mereka : Abdullah bin Saba',
seorang Yahudi yang mengaku-aku Islam, begitu pula pengikut-pengikut dan kelompoknya berjumlah banyak sekali.
Ide-idenya mulai muncul pada tahun 34 H, yang meliputi bid'ah kaum Khawarij dan
bid'ah golongan Syi'ah.
b. Setelah itu muncul bid'ah dalam
berpendapat mengenai qadar (takdir) pada tahun 64 H. Orang pertama yang
menyerukan ide tersebut ialah seorang yang berpengaruh di lingkungannya yaitu
Ma'bad al-Juhani -meninggal pada tahun 80 H. Dia telah memunculkan
pernyataannya, tetapi bid'ahnya belum sampai berkembang sebagaimana
penyimpangan serta bahayanya berkembang di masa-masa sesudah itu.
c. Kemudian datanglah Ghailan ad-Damsyiq
(ad-Dimasyqi). Dia mengibarkan
pengaruhnya yang besar tentang masalah qadar sebelum tahun 98 H. Juga tentang
ta'wil, ta'thil (mengingkari sifat-sifat Allah) dan raja'. Di antara yang
menentang Ghailan ialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau yang menegakkan
hujjah atasnya, maka Ghailan menghentikan (kegiatannya) sampai Umar bin Abdul Aziz
wafat. Setelah itu Ghailan kembali lagi melancarkan bid'ahnya. Inilah ciri-ciri
umum bagi ahlul iftiraq dan ahlul ahwa' (pengikut hawa nafsu), artinya mereka
tidak mau bertobat. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap
menyimpang dan kembali lagi pada kegiatannya. Ghailan dibunuh pada tahun 105 H,
setelah dia tidak mau bertobat.
d. Sesudahnya muncullah Al-Ja'd bin
Dirham, yang memperluas pendapat-pendapat sesat ini, kemudian memadukan
pendapat Qadariyah dengan Mu'athilah (pengikut madzhab yang mengingkari
sifat-sifat Allah), dan Mu'awwilah (kaum pena'wil sifat Allah). Kemudian menyebarkan syubhat di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga
para ulama salaf memperingatkan dan menghimbaunya agar bertobat, tetapi ia
tidak mau. Mereka membantah pendapatnya dan menegakkan hujjah atasnya, tetapi
ia tidak mau kembali. Maka setelah semakin banyak orang terkena fitnahnya,
mereka menjatuhkan hukuman mati kepada Al-Ja'd sebagai pencegah (tersebarnya)
fitnah. Khalid bin Abdullah al-Qasiri membunuhnya sebagaimana termuat dalam
kisahnya yang masyhur ketika beliau berkata seusai khutbah 'Idul Adha :
“Sembelihlah kurban, semoga Allah menerima sembelihan kurban kalian.
Sesungguhnya aku akan menyembelih Ja'd bin Dirham sebagai kurban, karena
mendakwa bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya dan Allah
tidak mengajak berbicara langsung kepada Isa alahissalam ... dan seterusnya”.
Kemudian beliau turun dari mimbar dan membunuhnya pada tahun 124 H.
e. Setelah itu fitnah sempat padam untuk
beberapa lama sampai kemudian muncul Jahm bin Shafwan, yang menghimpun
kejahatan serta kesesatan orang-orang terdahulu, dan menambahkannya dengan
kesesatan baru. Dari perbuatannya muncul bid'ah Jahmiyah. Bid'ah-bid'ah, pernyataan-pernyataan serta penyelewengan-penyelewengan
Jahmiyah, semuanya merupakan kekufuran. Jahm bin Shafwan banyak mengambil
pendapat-pendapat Ghailan dan Al-Ja'du kemudian menambahnya dengan ta'thil
(penolakan terhadap sifat-sifat Allah), dan al-Jabar (Jabariyah), serta
mengingkari istiwa'nya Allah, al-'Uluw dan masalah ru'yah. Jahm bin Shafwan
dihukum penggal pada tahun 128 H.
f. Dalam waktu yang bersamaan muncul
Washil bin Atha', Amr bin 'Ubaid yang keduanya meletakkan dasar-dasar
Mu'tazilah Qadariyah.
Setelah itu
terbukalah pintu iftiraq, muncullah kelompok Rafidhah (Syiah) mengumumkan
aqidah-aqidahnya dan sekte ini terbagi menjadi beberapa golongan. Muncullah
kelompok Musyabbihah dari kalangan Rafidhah di tangan tokoh-tokohnya.; Daud
al-Jawaribi, Hisyam bin al-Hakam, dan Hisyam al-Jawaliqi. Mereka itulah peletak dasar Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan
makhluk) yang pertama, mereka adalah orang-orang Rafidhah. Sesudah itu datang
lagi kelompok Mutakallimin (tokoh-tokoh ilmu kalam), lalu kelompok sufi dan
ahli-ahli filsafat, maka terbukalah pintu iftiraq dari berbagai celah bagi
orang-orang sesat, pembuat bid'ah dan pengikut hawa nafsu. Sehingga
tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum Muslimin sampai sekarang
ini.
Begitulah
pokok-pokok perpecahan di kalangan kaum Muslimin terus tetap ada, bahkan bertambah
dengan munculnya bid'ah-bid'ah dan peristiwa-peristiwa baru, sehingga di
samping perpecahan ynag sudah ada, muncul pula perpecahan yang baru sejalan
dengan hawa-hawa nafsu manusia, dan terbiasanya mereka dengan bid'ah-bid'ah dan
kesesatan-kesesatan.
Sebagian orang -yang tidak
tahu atau pura-pura tidak tahu- menyangka bahwa firqah-firqah tersebut sudah
sirna dan sudah menjadi simpanan cerita-cerita bersejarah atau tumpukan warisan
masa lalu. Hal ini jelas keliru. Setiap golongan
sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu, masih tetap ada sekarang di
tengah-tengah kaum Muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya, dan
semakin menyimpang.
Rafidhah dengan
kelompok-kelompoknya yang batil, serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij,
Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahlul Kalam, Sufi, dan Filsafat (dan
semacamnya), semuanya masih berusaha untuk menohok umat. Bahkan mulai
menampakkan leher-lehernya. Aqidah-aqidahnya mulai bergelombang dengan gaya
bahasa yang mampu menarik simpati umat satu demi satu, dan setiap waktu
berkembang berdasarkan apa yang mereka klaim sebagai 'ilmu pengetahuan,
kebudayaan,dan pemikiran', di samping sedikitnya pengetahuan pemuda tentang
ad-Dien.
4. Perbedaan Antara Ikhtilaf Dan Iftiraq
Mengetahui perbedaan antara ikhtilaf
dengan iftiraq amatlah penting. Para cendekiawan dan pakar Muslim
harus mewaspadainya hal ini, karena para da’i
dan pemuda yang bangkit masih belum sempurna pemahaman mereka terhadap agama.
Mereka cenderung tidak membedakan masalah ikhtilaf
atau “perselisihan” dan masalah iftiraq atau “perpecahan”. Akibatnya mereka menghukumi ikhtilaf
dengan iftiraq. Jelas ini merupakan kesalahan fatal yang berakar
dari ketidak tahuannya tentang masalah pokok perpecahan. Perbedaan antara ikhtilaf
dengan iftiraq dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Iftiraq adalah bentuk ikhtilaf
yang lebih keras, bahkan bisa dikatakan pula merupakan buah ikhtilaf. Kadang-kadang ikhtilaf
berkelanjutan kepada iftiraq dan
kadang-kadang pula tidak. Jadi bisa dikatakan bahwa iftiraq itu merupakan ikhtilaf dengan tambahan (berbagai
unsur). Meski demikian, tidak semua ikhtilaf
itu adalah iftiraq dan dari
sinilah akan muncul perbedaan dari keduanya.
b. Tidak semua ikhtilaf
bisa disebut iftiraq, tetapi setiap iftiraq pasti dimulai dari ikhtilaf. Kebanyakan masalah-masalah
yang dipertentangkan kaum muslimin adalah masalah Khilafiah. Oleh karena itu,
tidak boleh orang berselisih faham divonis kafir, atau memisahkan diri dari
Jama’atul Muslimin atau keluar dari As-Sunnah.
c. Iftiraq tidak akan terjadi pada hal-hal pokok yang besar
(masalah ushuluddin) yang tidak diberi keleluasaan untuk terjadi ikhtilaf sebab hal itu telah menjadi
ketetapan yang qath’i, telah menjadi ijma’, atau telah ditetapkan berdasarkan
manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang tidak ada lagi perselisihan atas masalah
tersebu. Hal-hal yang demikian itulah yang disebut dengan hal-hal pokok
(ushul). Siapa saja yang menyelisihi atas hal tersebut berarti dia telah muftariq (orang-orang yang menyempal).
Adapun hal-hal yang selain dari itu termasuk dalam masalah ikhtilaf. Oleh karena itu, perselisihan terjadi pada masalah yang
bukan pokok, dimana dalam perkara tersebut masih dimungkinkan masuknya pendapat
dan ijtihad. Bagi orang yang
menyatakkan beda pendapat masih diperbolehkan, sebab hal iu biasanya disebabkan
kaena kurang mengerti, pemahaman yang dipaksakan, atau salah penafsiran. Hal
itu terjadi dalam medan ijtihadiyah dan masalah furu’ (cabang agama) atau juga disebabkan masalah pokok yang
bertentangan di antara para imam agama. Sedangkan masalah furu’ biasanya terjadi pada masalah akidah yang pokok-pokoknya
sudah disepakati tetapi bagiab-bagiannya diperselisihkan, seperti kesepakatan
para imam tentang Isra’ Mi’raj. Mereka berselisih dalam hal apakah Nabi
Muhammad melihat Allah dengan mata kepala atau dengan mata hati.
d. Perselisihan kadang terjadi karena suatu ijtihad, yang mana masih didasari niat
yang baik dan para pelakunya (mujtahid)
akan diberi satu pahala bila ijtihadnya salah selagi masih dalam rangka mencari
kebenaran. Sedangkan apabila ijtihadnya yang tepat, maka ia akan mendapatkan
dua kali pahal mujtahid yang salah
tersebut. Meskipun demikian, ijtihad
yang salah masih diberikan pujian juga. Sedang bila mengakibatkan perpecaan
maka hal itu akan mendapatkan celaan. Perpecahan tidak boleh disebabkan oleh
suatu ijtihad yang didasari niat
baik. Apabila ini dilakukan, pelakunya tidak akan mendapat pahala bahkan
mendapat celaan dan dosa. Dari ketentuam ini, maka tidak mungkin terjadi
perpecahan karena suatu ijtihad yang
didasari oleh niat baik kecuali karena tindakan bid’ah, yaiu mengikuti hawa
nafsu atau taqlid kepada hal yang
tercela.
e. Iftiraq selalu dikaitkan dengan peringatan kepada kita
untuk menjauhinya, karena iftiraq
akan mengakibatkan kita terjerumus kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan ikhtilaf bukanlah demikian, selagi ikhtilaf tersebut terjadi karena
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad, atau memiliki pendapat
berbeda tidaklah menjadi persoalan, atau pelakunya kurang mengerti alasan dan
tidak didukung dengan argumentasi yang jelas, atau karena pemaksaan ide yang
tidak dimengerti oleh orang lain, atau karena penafsiran yang tidak akan jelas
kecuali diperkuat oleh argument yang kuat.
5. Meluruskan
Beberapa Kesalah Pahaman
Ada beberapa
kekeliruan sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan, berkaitan dengan
beda antara iftiraq dengan ikhtilaf. Khususnya bagi para penegak amar ma'ruf nahi mungkar
dan para juru dakwah. Yang lebih banyak lagi disebabkan karena lemahnya ilmu
dan pemahaman dalam
agama serta minimnya
pengalaman, atau karena ketidakjelian
dan salah persepsi.
Terlebih lagi bagi
para penopang dakwah islamiyah pada hari ini. Beberapa
kekeliruan itu di dantaranya:
Pertama, Mengingkari terjadinya perpecahan dalam umat ini.
yang berakibat sebagian orang
menolak hadits ifftiraq
yang telah dinukil
secara shahih dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan
kesalahan fatal. Beberapa orang
berasumsi atau mendakwahkan bahwa perpecahan
umat tidak mungkin
terjadi! Selintas kelihatannya
ia ingin menampakkan keinginan
yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir saja (yaitu semuanya muslimun),
Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau
mentakwilkannya kepada makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan
hanya terjadi pada
kelompok-kelompok yang jelas-jelas
di luar Islam atau
kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam. Ini
jelas keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
nash-nash dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan terjadinya perpecahan
umat.
Umat memang
telah dilanda perpecahan, realita
itulah yang benar-benar
telah terjadi. Perpecahan termasuk bala', sementara kebenaran tidak akan tampak kecuali dengan lawannya
(kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menuliskannya dalam catatan takdir
bahwa pengikut kebenaran sangat
sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini terjadinya perpecahan bukan
berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan begitulah realita yang harus
diakui. Berita yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan
fenomena perpecahan itu sendiri bukan berarti seorang muslim harus menerimanya tanpa usaha menghindar. Apalagi beranggapan
bahwa berpecah itu dibolehkan, rela
berpecah, tidak berusaha
mencari kebenaran karena
pasrah menerima takdir. Namun
sebaliknya, perpecahan yang
pasti terjadi itu justru mendorongnya mencari dan memegang
teguh kebenaran. Memicunya mengenal keburukan untuk dihindari
dan dijauhi. Dan
hendaklah ia ketahui bahwa
kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam serta manhaj Salafus
Shalih.
Kedua, Asumsi
bahwa perpecahan pasti
terjadi, berarti umat
harus menerimanya dengan rela.
Dan para du'at harus menerima kenyataan ini, menerima kesesatan yang ada tanpa
berusaha memperbaikinya.
Asumsi seperti ini sering dijadikan
alasan melegitimasi perpecahan. Mereka
beranggapan seorang muslim
bebas memilih kelompok manapun!
Beralasan dengan realita perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap orang
bebas memilih kelompok
manapun yang disukainya,
meski jelas-jelas bid'ah dan
sesat. Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut atau
berusaha menyatukan mereka. Ini merupakan anggapan batil, bahkan termasuk memperdayai kaum muslimin. Sudah
barang tentu tidak
boleh menjadikan hadits
iftiraq tersebut sebagai
alasan untuk berpecah belah atau
sebagai dalih menerima
bid'ah dan menuruti hawa
nafsu atau rela berada diatas
kesalahan. Sebab hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.
Lebih parah lagi,
sebagian orang yang
mengaku juru dakwah
berpendapat, selagi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
membenarkan terjadinya perpecahan
umat, maka kita terima
dan kita benarkan
saja bid'ah dan
kesesatan yang terjadi
sebagai suatu realita. Bukankah kita
tahu bahwa pasti
dalam beragama itu
ada cemar dan kurangnya. Jelas ini
pendapat yang batil,
bahkan termasuk perangkap
setan yang menjerat umat manusia.
Sebab, di samping
Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menghabarkan terjadinya
perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap ada satu kelompok
yang teguh diatas
kebenaran, yaitu Ath-Thaifah
Al-Manshurah. Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran, menegakkan
amar ma'ruf dan nahi mungkar. Golongan yang menegakkan hujjah yang nyata, yang
membawa panji hidayah bagi siapa yang
menghendakinya, yang menjadi panutan
bagi yang ingin kebenaran, kebaikan dan sunnah.
Jadi, hujjah mesti
selalu tegak, kebenaran
pasti senantiasa tampak,
tidak akan tersamar sedikitpun
bagi orang-orang yang memiliki bashirah dan bagi para pencari al-haq yang
jujur. Siapa bertakwa
kepada Allah niscaya
Dia akan memberinya
jalan keluar. Selama kebenaran masih tampak
jelas dan panji
sunnah masih tetap tegak, siapapun tidak boleh berpaling darinya, meski
dengan itu pengikutnya jadi berkurang, baik ia
seorang da'i atau
bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid'ah dan kesesatan meski dengan
begitu pengikutnya semakin betambah banyak. Golongan yang selamat (Al-Firqatun
Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh tiga kelompok umat ini.
Maka menerima
bid'ah dan kesesatan
dengan dalih takdir
tidaklah dibolehkan. Anggapan
seperti itu termasuk memperdayai kaum muslimin,
termasuk pembenaran bagi kebatilan
serta berpaling dari
kebenaran, dan termasuk juga selain jalan orang-orang yang
beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.
Ketiga, Menjadikan ikhtilaf sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan
dengannya, atau menghukumi mereka keluar dari agama atau dari Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Serta beberapa sikap kelewat batas
lainnya dalam menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa merujuk kepada
kaidah-kaidah syari'at dan metode alim ulama dalam masalah ini. Perlu
diketahui bahwa dalam memvonis kafir ada
batasan dan kaidah yang perlu diperhatikan. Meskipun terhadap
ahli bid'ah dan
ahli ahwa' (hawa nafsu).
Sebab vonis kafir,
bara'ah (berlepas diri),
bughdu (kebencian), hajr (pemboikotan) dan
tahdzir (peringatan) tidak
boleh dilakukan tanpa
meneliti dan menegakkan hujjah terlebih dahulu. Maksudnya, tidak
boleh terburu-buru memvonis seseorang keluar dari jama'ah karena bid'ah yang
ada padanya atau karena menyalahi syari'at
dan menyelisihi sunah.
Sebab barangkali ia
tidak tahu hukumnya,
seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi) hingga ia
mengetahui ilmunya.
Banyak sekali kaum
muslimin yang terperangkap lingkungan yang mengitarinya, hingga jatuh kedalam
penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di beberapa negara-negara Islam. Banyak
orang yang mencukur jenggotnya, meninggalkan shalat berjama'ah, melakukan
amal-amal yang menyalahi syari'at bahkan mengucapkan kalimat
kufur karena lingkungan memaksanya. Sekiranya
tidak melakukannya mereka
bisa dibunuh, disiksa,
atau dirusak kehormatannya. Jadi, bilamana ia lakukan itu semua karena 'terpaksa', maka seorang hakim yang bijaksana
hendaknya dapat menggambarkan hukum apa
yang layak diajatuhkannya.
Boleh jadi seorang
pelaku bid'ah dan
seorang yang meyakini
i'tiqad sesat meyakininya
karena takwil (anggapan
keliru), sementara hujjah
belum ditegakkan atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas
mereka.
Barangkali
diantara kita pernah melihat seorang melakukan sebuah bid'ah yang pada umumnya dilakukan
oleh pengikut kelompok-kelompok sesat, misalnya bid'ah maulid
nabi, jika ternyata dia
seorang awam yang
tidak tahu, maka kita
tidak boleh tergesa-gesa memvonis ia orang sesat
dan tidak boleh pula menghukuminya keluar dari
jama'ah sebelum dijelaskan duduk perkara
tersebut dan ditegakkan hujjah
atasnya. Adapun perbuatannya
dapat kita hukumi
sebagai bid'ah. Namun
jangan cepat-cepat
memvonisnya keluar dari
jama'ah atau menghukumi
sebagai pengikut aliran sesat hanya karena
bid'ah yang dilakukannya
sebelum ditegakkan hujjah. Kecuali bid'ah mukaffirah (yang
menyebabkan pelakunya kafir),
akan tetapi risalah
kecil ini tidak mungkin memuat perinciannya. Bahkan
sebaliknya, terburu-buru memvonis orang lain
keluar dari Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dalam masalah-masalah furu termasuk bid'ah dan penyimpangan yang tidak boleh
dilakukan. Sikap seperti
itu sangat tercela.
Bila ia melihat
saudaranya jatuh dalam perbuatan
bid'ah, hendaknya mengecek
terlebih dahulu, menanyakannya kepada ahli
ilmu, serta menganggap orang
yang melakukannya
jahil/tidak tahu, atau melakukannya karena takwil atau
ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta bimbingan. Dan hendaknya
ia perlakukan saudaranya
itu dengan lemah
lembut terlebih dahulu. Sebab tujuan kita adalah
membimbingnya kepada hidayah bukan memojokkannya.
Keempat, Tidak mengetahui perkara mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat
dan mana yang tidak boleh. Yaitu tidak dapat membedakan perkara-perkara
khilafiyah dan perkara-perkara yang tidak boleh diperselisihkan. Hal ini banyak
menimpa orang awam, bahkan juga para du'at. Berikut ada beberapa contoh:
a. Sebagian orang
menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam masalah ushul (pokok). Tanpa merujuk kaidah dan
arahan ahli ilmu
serta tanpa bimbingan dari ahli
fiqih yang dapat membantu mereka dalam hal ini.
b. Tidak
membedakan antara perkara
mukaffirah (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam). Tidak memperhatikan
tingkatan-tingkatan bid'ah, di antara bid'ah ada yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam
dan ada yang tidak. Banyak sekali
kesalahan yang dilakukan seseorang, sebuah kelompok atau jama'ah di vonis kafir
secara terburu-buru oleh sebagian oknum. Sebenarnya tidak demikian caranya.
Sebab setiap orang yang mengetahui
perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini bahwa
Al-Qur'an makhluk, lalu ia menerapkan
hukum kafir itu atas setiap orang yang meyakini demikian tanpa membedakan antara
menghukumi ucapan dan menghukumi
orang yang mengucapkannya, maka
ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah membedakan antara menghukumi
kafir, bid'ah atau
fasik terhadap sesuatu secara
umum dengan menghukumi orang
tertentu. Boleh jadi kita
menghukumi kufur suatu
amalan atau sebuah
ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya atau
melakukannya jatuh kafir.
Banyak sekali orang yang tidak
membedakan hal ini. Mereka menjatuhkan
vonis kafir secara zhahir saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah takfir
(pengkafiran). Padahal vonis kafir
tidak boleh dijatuhkan
sehingga benar-benar diteliti,
ditegakkan hujjah dan
dalil, serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzdur lainnya yang
menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang
tertentu. Boleh jadi
karena ia jahil,
dipaksa atau mentakwil.
Masalah takfir
(mengkafirkan), seseorang perlu
penelitian lebih dalam
dan perlu mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti
kondisinya disamping perlu diajak
diskusi dan diberi
nasihat. Janganlah kita memvonis kafir setiap orang yang
melakukan perbuatan kufur,
mengucapkan dan meyakini
keyakinan kufur. Kecuali dalam masalah-masalah prinsipil
yang sudah dikenal luas
oleh segenap kaum muslimin. Seperti mengingkari syahadat
Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mencela Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan
masalah-masalah prinsip lainnya. Perlu diketahui, bahwa ada juga beberapa
permasalahan usuhuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian orang awam.
Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah pada hari Kiamat,
masalah syafa'at, mensikapi sahabat dan beberapa
permasalahan lain yang
tidak diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar
perinciannya atas sebagian ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat
kufur tanpa mereka sadari, tanpa mereka
sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa memperhatikan dengan seksama
ucapan yang dilontarkan. Apakah harus dihukumi kafir ? Jawabannya tentu saja
tidak.
Kesalahan besar
yang sering dilakukan
oleh beberapa oknum-oknum yang suka menghukumi orang
lain adalah tidak
berhati-hati dalam masalah
ini sehingga jatuh dalam
bahaya. Khususnya penuntut ilmu
yang masih pemula dan masih muda serta belum matang
mendalami ilmu agama
melalui para ulama,
namun hanya belajar secara otodidak
dari buku-buku dan
sarana-sarana lainnya, tanpa
dibimbing dan dituntun para
ulama, dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan penetapan
hukum. Mereka kerap kali
keliru dalam menempatkan kaidah
umum dan dalam menerapkan
kaidah itu pada
perkara-perkara parsial dan
kasus-kasus tertentu.
Hukum kufur dan
kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti
hukum kafir bagi
setiap orang yang melakukan,
mengucapkan dan meyakininya. Demikian pula
halnya hukum-hukum yang
berkaitan dengan al-wala'
(loyalitas) serta al-bara' (berlepas
diri), bukan berarti
setiap orang divonis
kafir lalu diterapkan padanya hukum-hukum tersebut.
Sehingga
perkaranya menjadi jelas. Maksudnya adalah jelas hukum-hukum
al-bara', sementara al-wala', adalah hak bagi
setiap muslim. Tidak
boleh memutus al-wala', sebab
al-wala' wajib diberikan kepada setiap orang yang menunjukkan identitas dirinya
sebagai muslim sehingga kita mendapatinya menyelisihi identitas tersebut.
Di antara
kesalahan mereka juga adalah tidak memperhatikan maslahat dan mafsadat serta tidak mengetahui
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat. Hal ini juga merupakan
salah satu pemicu utamanya.
B. PENUTUP
Sesungguhnya pembicaraan
tentang firqah-firqah bukanlah mrupakan penjabaran sejarah semata yang
bertujuan sekedar menelaah pokok-pokok firqah untuk dimengerti seperti
dipelajarinya kejadian dan peristiwa sejarah lain yang telah lewat. Tetapi
sesungguhnya pembicaraan tentang firqah-firqah memiliki kedudukan yang lebih
besar dari sekedar mengerti sejarah yaitu sebagai peringatan dari
kejelekan-kejelekan dan bid’ah-bid’ah firqah-firqah tersebut dan sebagai
anjuran untuk berpegang dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Meninggalkan penyimpangan-penyimpangan yang ada pada firqah-firqah tersebut
tidak bisa dilaksanakan secara spontan oleh setiap manusia kecuali setelah
mempelajari dan mengerti apa itu golongan yang selamat. Dengan demikian ia
dapat berhati-hati dan waspada terhadapnya karena barangsiapa yang tidak
mengenal kejelekan maka akan terjerumus kepadanya.
Oleh karena itu, mengenal firqah-firqah dengan madzab-madzab dan
syubhat-syubhatnya serta mengenal golongan yang selamat Ahlus Sunnah wal Jamaah
dan apa yang ada padanya mengandung banyak kebaikan bagi kaum muslimin.
C. REFERENSI
Nashir bin Abdul
Karim Al-'Aql. 2009. Sebab-Sebab
Perpecahan Umat dan Cara Penanggulangannya. E-book: Islam House
Shalih bin Fauzan
Al Fauzan. Membongkar Firqah-Firqh Sesat. E-book: Pustaka As-Salaf
Tim Ulin Nuha
Ma’had Aly An-Nur. Dirasatul Firaq. Surakarta: Pustaka Arafah
Abu Abdirrahman
al-Fadani. Sejarah-iftiraq-perpecahan-umat-dalam.html. Dengan referensi
Buku Al-Iftiraq (Perpecahan Umat) Pengertian, Sebab, dan Cara Penanggulangannya
hal 30-38; karya Syeikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-'Aql, Penerbit : Pustaka
Istiqomah, Solo
Arham. Sejarah iftiroq.php.htm. hidayatullah.com
El-fatih kamil. bab-ii definisi iftiroq.html. Dengan
referensi Buku Perpecahan Umat Islam , alih bahasa A. Adzkia Chanifah,
cet. Ke-1 (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1991), hlm. 17-23; karya Dr. Nashir bin
Abdul Karim al-Aql
Tidak ada komentar:
Posting Komentar