Rabu, 03 Juli 2013

Dirosatul Firoq

A. MUQODDIMAH
Perkara aqidah merupakan perkara yang sangat krusial. Sebab aqidah merupakan syarat mutlak dan fondasi utama diterimanya amal. Bila aqidahnya benar maka amaliahnya insya Allah akan diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala. Sebaliknya apabila aqidahnya batil hingga keluar dari islam maka seluruh amaliyahnya akan sia-sia, tidak diterima oleh Allah.

Batalnya aqidah yang mengakibatkan rusaknya amal itu bukan sekadar seperti batalnya shalat ketika batalnya wudhu, yang hal itu mudah, dengan wudhu lagi kemudian mengulang shalat lagi dari awal maka sah. Namun kalau batalnya aqidah, akan menghapus seluruh amal. Karenanya, membentengi aqidah dari aneka kesesatan dan penyimpangan merupakan kewajiban yang tidak boleh dinomor duakan.

Untuk urusan kesyirikan mungkin banyak yang dapat menjaga diri darinya. Berbeda dengan aliran serta pemikiran yang mengatasnamakan islam, banyak yang tidak mengetahuinya. Berangkat dari ketidaktahuan tersebut masih ada sebagian kaum muslimin yang latah serta menerimanya mentah-mentah tanpa mencoba mencari tahu asal usul ajaran tersebut. Mereka mengira hal tersebut merupakan ajaran rasulullah salallohu ‘alayhi wassalam.

Maka dari itu diharapkan kita bisa mengetahui berbagai macam aliran dan pemikiran menyimpang tersebut, salah satu caranya dengan mempelajari dirosatul firoq. Setidaknya hal tersebut dapat menjadi benteng bagi pribadi kita dari penyimpangan aqidah tersebut, juga membentengi aqidah umat dari berbagai penyimpangan aqidah. Dengan mempelajarinya dapat memperingatkan umat tentang bahaya aliran sesat yang menyebar dewasa ini. Terlebih dengan munculnya berbagai aliran-aliran yang mengatasnamakan islam padahal telah keluar jauh dari ajaran islam sesungguhnya.

Di dalam dirosatul firoq tidak saja dibahas tentang teologi (firqoh aqidah) klasik saja, tetapi juga berbagai aliran-aliran kontemporer terutama yang banyak menyebar di Indonesia khususnya. Di dalamnya juga membahas sejarah kemunculan dan perkembangannya, pendiri firqoh, para tokoh yang turut andil dalam penyebaran aliran, pokok-pokok ajaran, komentar para ulama tentangnya, serta ciri khusus yang terdapat pada aliran tersebut dan penyimpangan dari aqidah ahli sunnah wal jama’ah.

Dengan dipaparkannya pemikiran-pemikiran sesat mereka bukan berarti ingin turut menyebarkan pikiran sesat terebut. Justru hal ini lakukan agar kita bisa mengetahui kesesatan pemahaman tersebut. Sehingga bisa menghindarinya dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikutinya, serta mengajak mereka yang sudah terlanjur terjerembab ke dalamnya agar bisa kembali ke jalan yang benar. Yaitu jalan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang merupakan Al Firqoh An Najiyah (kelompok yang selamat). Wallahu a’lam bi showab.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG PERPECAHAN UMAT ISLAM
1.   Pengertian Iftiraq

Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql dalam bukunya “Perpecahan Umat Islam” menjelaskan definisi Iftiraq secara etimologis berasal dari kata mufaraqah, yang berarti “perceraian, perpisahan, dan pemutusan”. Iftiraq juga diambil dari kata insyaab (pertentangan) dan syudzudz (nyeleneh, ganjil, atau aneh). Dari kata ini iftiraq berarti “sesuatu yang keluar dari asal (pokok), atau segala sesuatu yang keluar dari kesungguhan atau segala sesuatu yang keluar dari jama’ah”.

Iftiraq menurut istilah adalah “keluar dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam salah satu pokok (ushul) dari pokok-pokok agama yang qathiyyah ataupun pokok-pokok amaliyah yang sifatnya qath’iyyah ataupun pokok-pokok yang erat hubungannya dengan kemashlahatan kaum muslimin.

Dengan begitu, membuat selisih dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah pada masalah-masalah pokok yang berhubungan dengan akidah merupakan perbuatan iftiraq serta membuat selisih dengan Jama’atul Muslimin dan iman mereka pada masalah-masalah yang yang mendatangkan kemashlahatan dan kemajuan bagi kaum Muslimin juga merupakan iftiraq. Keluar dari ijma’ (kesepakatan) kaum Muslimin secara praktis dinamakan iftiraq, setiap kufur besar dinamakan juga iftiraq, tetapi tidak setiap bentuk iftiraq adalah menjurus kepada kekufuran. Setiap amalan atau keyakinan yang mengeluarkan manusia dari pokok-pokok islam, pokok-pokok Islam, kepastian-kepastian agama, dan dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang membuat dia kufur, maka hal itu juga berarti tindakan iftiraq. Namun, tidak setiap iftiraq itu kufur. Artinya, mungkin terjadi iftiraq dari sekelompok atau segolongan manusia atau jama’ah, tetapi kadang-kadang tidak bisa disebut kufur sampai dia dipastikan berbuat iftiraq (berpecah-belah) dari Jama’atul Muslimin dalam salah satu perbuatan, seperti pemisahan diri yang dilakukan kaum Khawarij. Kaum Khawarij telah memisahkan diri dari Jama’atul Muslimin, dam mengadakan pemberontakan kepada kaum Muslimin yang lebih besar. Oleh karena itu, mereka benar mengadakan pemisahan diri dengan Jama’atul Muslimin dan imam Yang dibai’at. Saat itu para sahabat belum memvonis kaum Khawarij sebagai kafir, tetapi masih dalam batas sebagai orang yang berselisih.


2.  Realita Perpecahan Umat
Apakah perpecahan  benar-benar  melanda  umat  Islam? Benarkah  hal  itu  terjadi? Persoalan ini terangkum dalam sembilan point berikut:

Pertama, Hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai  perpecahan yang melanda umat. Di antaranya adalah hadits iftiraq yang berbunyi. "Artinya: Umat Yahudi  telah  terpecah-belah menjadi  tujuh puluh  satu golongan. Dan umat Nasrani telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sementara umat ini (Islam) akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan"

Hadits Nabi ini sangat masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan dicantumkan oleh para imam dan huffazh dalam kitab-kitab sunan, seperti Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya'la Al-Maushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Baththah, Al-Ajurri, Ad-Darimi, Al-Lalikai dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa ahli ilmu di antaranya; At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuthi, Asy-Syathibi  dan  lainnya. Di  samping  banyak  terdapat  jalur  sanad  bagi  hadits  ini, secara keseluruhan dapat mencapai derajat hadits shahih.

Kedua, Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umat ini bakal mengikuti tradisi umat-umat terdahulu. Hadits tersebut berbunyi. Artinya: ”Kalian  pasti  akan  mengikuti  tradisi  umat-umat  terdahulu,  sejengkal  demi sejengkal,  sehasta  demi  sehasta.  Hingga  sekalipun  mereka  masuk  lubang  biawak, kalian  pasti  mengikutinya.  "Kami  bertanya: 'Wahai  Rasulullah, apakah mereka  itu kaum  Yahudi  dan  Nashrani? Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  menjawab: 'Siapa lagi kalau bukan mereka!" [Hadits Riwayat Al-Bukhari, silakan baca Fathul Bari, 8/300 dan  Muslim  hadits  no. 2669]. Hadits  ini  shahih  muttafaqun  alaihi,  tercantum dalam kitab-kitab shahih dan sunan.

Dalam beberapa matan dan lafalnya secara eksplisit hadist  ini  menjelaskan  makna "menyerupai dan mengikuti" yang dimaksud. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: “Ibarat bulu-bulu anak panah yang sama persis". Dan beberapa lafal lainnya yang sama menunjukkan  bahwa Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa  sallam memperingatkan bahaya  perpecahan  yang  bakal melanda  umat  ini. Bahwa hal itu pasti menimpa umat ini. Dan perpecahan yang bakal terjadi itu bukanlah cela dan cacat atas Islam, atas Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan atas Ahlul Haq, namun merupakan kecaman terhadap orang-orang yang memisahkan diri dari jama'ah.

Orang-orang yang memisahkan diri dari  jama'ah  tentunya bukan  termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebab Ahlus Sunnah  wal  Jama'ah  adalah  orang-orang  yang  memegang teguh  Al-Qur'an dan Sunnah,  yang  tetap  berada  di  atas nilai-nilai keislaman. Merekalah para penegak kebenaran yang dibangkitkan Allah kepada manusia hingga hari  Kiamat.

Jadi, perpecahan pasti terjadi berdasarkan berita yang sangat akurat, meskipun relitas dan logika belum mampu membuktikan kebenarannya!. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikannya melalui  hadits-hadits beliau yang shahih dengan beragam lafal. Peringatan terhadap bahayanya juga  telah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sampaikan. Peringatan yang disampaikan berkali-kali itu merupakan sinyalemen bahwa perpecahan pasti terjadi tanpa bisa dihindari.

Ketiga, Adanya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mencakup  larangan mengikuti jalan-jalan hawa nafsu dan perpecahan. Di antaranya Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

a. Q.S Ali Imran: 103

“Dan berpegang  teguhlah kamu semuanya kepada  tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai"

b. Q.S Al Anfal: 46

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan"

c. Q.S Ali Imran: 105

“Dan  janganlah  kamu  menyerupai  orang-orang  yang  bercerai-berai  dan  berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka"

d. Q.S Asy-Syura: 13

“Tegakkanlah agama dan  janganlah kamu berpecah belah  tentangnya"

e. Q.S Al-An'am: 153

“Dan  bahwa  (yang Kami perintahkan) ini adalah  jalanKu  yang  lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya"

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  telah menjelaskan  ayat  di atas, beliau menarik sebuah garis lurus yang panjang kemudian menarik garis-garis ke kanan dan ke kiri menyimpang dari garis lurus tadi. Lalu Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa garis lurus tersebut adalah jalan Allah, sementara garis-garis ke kanan dan ke kiri adalah jalan buntu yang menyimpang dari jalan yang utama yang  lurus  tadi. Beliau  juga menjelaskan bahwa  pada  jalan-jalan  kesesatan  tadi terdapat juru-juru dakwah yang menyeru kepada jalan setan. Siapa mengikuti mereka, niscaya akan dilemparkan ke dalam jurang kehancuran. [Hal ini  disebutkan  dalam  sejumlah  hadits,  sebagian dari  jalur  sanad  itu dinyatakan  shalih oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani. Silakan lihat kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi Ashim 1/13-14]



3.   Sejarah Munculnya Iftiroq

Sejarah iftiraq penting untuk diketahui, karena apa yang terjadi pada awal Islam merupakan ibrah (pelajaran/ renungan). Syeikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-'Aql dalam bukunya “Al-Iftiraq (Perpecahan Umat) Pengertian, Sebab, dan Cara Penanggulangannya” mengungkapkan bahwa tidak bisa membicarakan sejarah iftiraq secara terinci, tetapi beliau akan berhenti pada beberapa butir yang bisa dijadikan sebagai ibrah. Dan memang perlu ada pelurusan tentang pengertian serta pemahaman beberapa butir sejarah tersebut yang dewasa ini dipahami salah oleh kebanyakan orang.

a.  Awal timbulnya aqidah-aqidah iftiraq di tengah umat (aqidah yang menyimpang dari jama'ah) semula hanyalah berbentuk fikrah atau aqidah keji yang samar-samar, yaitu aqidah saba'iyah (aqidah Khawarij dan Syi'ah).

Itulah yang pertama kali didengar oleh kaum Muslimin, dan didengar oleh para shahabat tentang aqidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan kaum Muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Memang betul, ketika itu ada orang asing yang telah menyerukan benih-benih perpecahan. Tentang namanya orang berbeda pendapat, namun yang terkenal namanya adalah Abdullah bin Saba'. Mulailah dia melancarkan godaan-godaan fitnahnya di kalangan umat Islam, sehingga banyaklah yang memeluk aqidahnya dari kalangan kaum munafiqin, orang-orang yang hampir masuk Islam, orang jahil, para pemuda, dan para pendendam yang menyaksikan Islam tegak di negara mereka, menumbangkan dan merobohkan agama serta kekuasan mereka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka mereka pun mengikuti pernyataan-pernyataan Ibnu Saba'.

Begitulah keyakinan yang dilancarkan Ibnu Saba' ini terus berjalan di kalangan umat Islam secara rahasia sampai akhirnya muncul Syi'ah dan Khawarij. Ini jika dipandang dari sudut sejarah awal munculnya aqidah-aqidah atau pernyataan-pernyataan kelompok-kelompok sesat yang muncul di tengah-tengah kaum Muslimin. Aqidah serta pernyataan yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang meliputi semua perkara aqidah. Adapun jika dipandang dari firqah yang pertama kali muncul dan melakukan tindakan keluar dari imamah serta jama'ah kaum Muslimin adalah kelompok Khawarij. Khawarij merupakan sempalan Saba'iyah, jadi Khawarij adalah Saba'iyah.

Memang ada sebagian orang menganggap Saba'iyah sebagai kelompok tersendiri, sedangkan Khawarij pun merupakan kelompok tersendiri, namun pada hakikatnya Khawarij tumbuh dari tubuh Saba'iyah. Begitu juga Syi'ah tumbuh dari sana. Saba'iyah pecah menjadi dua golongan besar yaitu Khawarij dan Syi'ah, meskipun kemudian ada beberapa perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah, tetapi sebenarnya asal-usul mereka itu satu, semuanya tumbuh dari peristiwa fitnah terhadap Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu sebagai akibat dari apa yang dilancarkan oleh Ibnu Saba' dengan pemikiran-pemikiran, aqidah-aqidah serta perbuatan-perbuatannya. Dari sanalah munculnya aqidah yang paling keji pada waktu itu yaitu aqidah Khawarij dan Syi'ah.

Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah dibuat sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya untuk memecah belah umat, yakni Abdullah bin Saba' yang menabur benih untuk menghidupkan sekelompok pengikut hawa nafsu, dan menabur benih yang lain untuk menumbuhkan kelompok sesat lainnya.

Kemudian antara keduanya dibuat semacam ada permusuhan guna memecah belah umat, seperti yang terjadi dewasa ini, ketika terlihat musuh-musuh Islam mengadu domba umat Islam dengan istilah yang mereka namakan permainan Blok kanan dan Blok kiri. Umat Islam dibagi menjadi berpartai-partai; partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Muncullah permainan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, terbelakang, ekstrim, modernis, dan seterusnya. Semuanya adalah permainan yang sama dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya sama dan tujuannya pun sama, meskipun bentuk dan coraknya berbeda. Jadi semuanya ini mencerminkan kokohnya kebatilan, meskipun mereka saling bertentangan.

b. Adanya masalah penting yang harus diperhatikan. Dalam sejarah iftiraq, para shahabat tidak pernah tertimpa perpecahan sama sekali.

Perbedaan pendapat yang terjadi hanyalah perbedaan yang akhirnya dapat diselesaikan baik dengan ijma', atau dengan tunduk kepada pendapat jama'ah, atau dengan komitmen berkumpul di sekitar imam. Itulah yang terjadi dikalangan para shahabat. Tidak pernah terjadi shahabat meninggalkan jama'ah, tidak ada di antara beliau yang mengucapkan kata-kata bid'ah atau mengada-adakan perkara baru dalam agama Islam. Sungguh, para shahabat yang merupakan para Imam agama yang harus diteladani, tidak satu pun dari para shahabat yang meninggalkan jama'ah selama-lamanya. Tak ada satu pun yang pendapatnya menjadi sumber bid'ah atau sumber iftiraq.

Adapun orang-orang yang menisbatkan pendapat-pendapat sesat atau menisbatkan golongan sesat kepada shahabat, tentu mereka telah mendustakannya dan menimbuni para shahabat ini dengan cerita bohong. Dengan demikian, sama sekali tidak benar jika Ali dikatakan sumber Syi'ah, Abu Dzar dikatakan sumber sosialisme, ahlush-Shufah (orang-orang yang mensucikan diri) dikatakan sebagai asal-usul kelompok Sufi, Mu'awiyah dikatakan sumber Jabbariyah, Abu Darda dikatakan sumber Qadariyah, dan salah seorang shahabat menjadi sumber pendapat sesat ini atau itu, mengada-ada, bid'ah, atau sikap-sikap aneh lainnya. Akan tetapi semua itu hanya berasal dari kebatilan murni.

Sungguh iftiraq (Perpecahan umat) tidak pernah terjadi kecuali setelah terbunuhnya Utsman radhiyallahu 'anhu , bahkan belum ada iftiraq yang nyata di masa beliau. Baru pada masa terjadinya fitnah terhadap Ali radhiyallahu 'anhu, muncullah kelompok Khawarij dan sekelompok Syi'ah. Ada pun di masa dua khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, bahkan sampai pada masa khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu belum terjadi sama sekali iftiraq yang hakiki. Selanjutnya para shahabat pun melakukan penentangan terhadap iftiraq dan janganlah disangka bahwa para shahabat lalai atau tidak tahu menahu atau mereka tidak waspada menghadapi persoalan iftiraq; baik dalam hal pemikiran, aqidah, sikap maupun perbuatan. Bahkan mereka tegak menentang iftiraq dengan sebaik-baiknya. Mereka telah teruji secara baik dalam sejak terjang menghadapi iftiraq tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti tetap terjadi.

Setelah berbicara tentang sejarah iftiraq, sepantasnyalah kita tahu asal-usul bid'ah atau tahu siapa tokoh-tokoh pencetus golongan sesat yang menimbulkan iftiraq. Yang dimaksud dengan tokoh di sini ialah orang yang berjaya dan menjadi imam-imam sesat sampai hari kiamat. Dan sepeninggal mereka terbukalah pintu iftiraq, sehingga semakin banyaklah orang yang tersesat.

Di antara tokoh-tokoh (Yang pertama menimbulkan perpecahan) tersebut adalah:

a. Pelopor mereka : Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang mengaku-aku Islam, begitu pula pengikut-pengikut dan kelompoknya berjumlah banyak sekali. Ide-idenya mulai muncul pada tahun 34 H, yang meliputi bid'ah kaum Khawarij dan bid'ah golongan Syi'ah.

b.  Setelah itu muncul bid'ah dalam berpendapat mengenai qadar (takdir) pada tahun 64 H. Orang pertama yang menyerukan ide tersebut ialah seorang yang berpengaruh di lingkungannya yaitu Ma'bad al-Juhani -meninggal pada tahun 80 H. Dia telah memunculkan pernyataannya, tetapi bid'ahnya belum sampai berkembang sebagaimana penyimpangan serta bahayanya berkembang di masa-masa sesudah itu.

c. Kemudian datanglah Ghailan ad-Damsyiq (ad-Dimasyqi). Dia mengibarkan pengaruhnya yang besar tentang masalah qadar sebelum tahun 98 H. Juga tentang ta'wil, ta'thil (mengingkari sifat-sifat Allah) dan raja'. Di antara yang menentang Ghailan ialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau yang menegakkan hujjah atasnya, maka Ghailan menghentikan (kegiatannya) sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Setelah itu Ghailan kembali lagi melancarkan bid'ahnya. Inilah ciri-ciri umum bagi ahlul iftiraq dan ahlul ahwa' (pengikut hawa nafsu), artinya mereka tidak mau bertobat. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap menyimpang dan kembali lagi pada kegiatannya. Ghailan dibunuh pada tahun 105 H, setelah dia tidak mau bertobat.

d. Sesudahnya muncullah Al-Ja'd bin Dirham, yang memperluas pendapat-pendapat sesat ini, kemudian memadukan pendapat Qadariyah dengan Mu'athilah (pengikut madzhab yang mengingkari sifat-sifat Allah), dan Mu'awwilah (kaum pena'wil sifat Allah). Kemudian menyebarkan syubhat di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga para ulama salaf memperingatkan dan menghimbaunya agar bertobat, tetapi ia tidak mau. Mereka membantah pendapatnya dan menegakkan hujjah atasnya, tetapi ia tidak mau kembali. Maka setelah semakin banyak orang terkena fitnahnya, mereka menjatuhkan hukuman mati kepada Al-Ja'd sebagai pencegah (tersebarnya) fitnah. Khalid bin Abdullah al-Qasiri membunuhnya sebagaimana termuat dalam kisahnya yang masyhur ketika beliau berkata seusai khutbah 'Idul Adha : “Sembelihlah kurban, semoga Allah menerima sembelihan kurban kalian. Sesungguhnya aku akan menyembelih Ja'd bin Dirham sebagai kurban, karena mendakwa bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya dan Allah tidak mengajak berbicara langsung kepada Isa alahissalam ... dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dan membunuhnya pada tahun 124 H.

e. Setelah itu fitnah sempat padam untuk beberapa lama sampai kemudian muncul Jahm bin Shafwan, yang menghimpun kejahatan serta kesesatan orang-orang terdahulu, dan menambahkannya dengan kesesatan baru. Dari perbuatannya muncul bid'ah Jahmiyah. Bid'ah-bid'ah, pernyataan-pernyataan serta penyelewengan-penyelewengan Jahmiyah, semuanya merupakan kekufuran. Jahm bin Shafwan banyak mengambil pendapat-pendapat Ghailan dan Al-Ja'du kemudian menambahnya dengan ta'thil (penolakan terhadap sifat-sifat Allah), dan al-Jabar (Jabariyah), serta mengingkari istiwa'nya Allah, al-'Uluw dan masalah ru'yah. Jahm bin Shafwan dihukum penggal pada tahun 128 H.

f.  Dalam waktu yang bersamaan muncul Washil bin Atha', Amr bin 'Ubaid yang keduanya meletakkan dasar-dasar Mu'tazilah Qadariyah.

Setelah itu terbukalah pintu iftiraq, muncullah kelompok Rafidhah (Syiah) mengumumkan aqidah-aqidahnya dan sekte ini terbagi menjadi beberapa golongan. Muncullah kelompok Musyabbihah dari kalangan Rafidhah di tangan tokoh-tokohnya.; Daud al-Jawaribi, Hisyam bin al-Hakam, dan Hisyam al-Jawaliqi. Mereka itulah peletak dasar Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) yang pertama, mereka adalah orang-orang Rafidhah. Sesudah itu datang lagi kelompok Mutakallimin (tokoh-tokoh ilmu kalam), lalu kelompok sufi dan ahli-ahli filsafat, maka terbukalah pintu iftiraq dari berbagai celah bagi orang-orang sesat, pembuat bid'ah dan pengikut hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum Muslimin sampai sekarang ini.

Begitulah pokok-pokok perpecahan di kalangan kaum Muslimin terus tetap ada, bahkan bertambah dengan munculnya bid'ah-bid'ah dan peristiwa-peristiwa baru, sehingga di samping perpecahan ynag sudah ada, muncul pula perpecahan yang baru sejalan dengan hawa-hawa nafsu manusia, dan terbiasanya mereka dengan bid'ah-bid'ah dan kesesatan-kesesatan.

Sebagian orang -yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu- menyangka bahwa firqah-firqah tersebut sudah sirna dan sudah menjadi simpanan cerita-cerita bersejarah atau tumpukan warisan masa lalu. Hal ini jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu, masih tetap ada sekarang di tengah-tengah kaum Muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya, dan semakin menyimpang.

Rafidhah dengan kelompok-kelompoknya yang batil, serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahlul Kalam, Sufi, dan Filsafat (dan semacamnya), semuanya masih berusaha untuk menohok umat. Bahkan mulai menampakkan leher-lehernya. Aqidah-aqidahnya mulai bergelombang dengan gaya bahasa yang mampu menarik simpati umat satu demi satu, dan setiap waktu berkembang berdasarkan apa yang mereka klaim sebagai 'ilmu pengetahuan, kebudayaan,dan pemikiran', di samping sedikitnya pengetahuan pemuda tentang ad-Dien.



4.   Perbedaan Antara Ikhtilaf Dan Iftiraq

Mengetahui perbedaan antara ikhtilaf dengan iftiraq amatlah penting. Para cendekiawan dan pakar Muslim harus mewaspadainya hal ini, karena para da’i dan pemuda yang bangkit masih belum sempurna pemahaman mereka terhadap agama. Mereka cenderung tidak membedakan masalah ikhtilaf atau “perselisihan” dan masalah iftiraq atau “perpecahan”. Akibatnya mereka menghukumi ikhtilaf dengan iftiraq. Jelas ini merupakan kesalahan fatal yang berakar dari ketidak tahuannya tentang masalah pokok perpecahan. Perbedaan antara ikhtilaf dengan iftiraq dapat diuraikan sebagai berikut:

a.  Iftiraq adalah bentuk ikhtilaf yang lebih keras, bahkan bisa dikatakan pula merupakan buah ikhtilaf. Kadang-kadang ikhtilaf berkelanjutan kepada iftiraq dan kadang-kadang pula tidak. Jadi bisa dikatakan bahwa iftiraq itu merupakan ikhtilaf dengan tambahan (berbagai unsur). Meski demikian, tidak semua ikhtilaf itu adalah iftiraq dan dari sinilah akan muncul perbedaan dari keduanya.

b.  Tidak semua ikhtilaf bisa disebut iftiraq, tetapi setiap iftiraq pasti dimulai dari ikhtilaf. Kebanyakan masalah-masalah yang dipertentangkan kaum muslimin adalah masalah Khilafiah. Oleh karena itu, tidak boleh orang berselisih faham divonis kafir, atau memisahkan diri dari Jama’atul Muslimin atau keluar dari As-Sunnah.

c.  Iftiraq tidak akan terjadi pada hal-hal pokok yang besar (masalah ushuluddin) yang tidak diberi keleluasaan untuk terjadi ikhtilaf sebab hal itu telah menjadi ketetapan yang qath’i, telah menjadi ijma’, atau telah ditetapkan berdasarkan manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang tidak ada lagi perselisihan atas masalah tersebu. Hal-hal yang demikian itulah yang disebut dengan hal-hal pokok (ushul). Siapa saja yang menyelisihi atas hal tersebut berarti dia telah muftariq (orang-orang yang menyempal). Adapun hal-hal yang selain dari itu termasuk dalam masalah ikhtilaf. Oleh karena itu, perselisihan terjadi pada masalah yang bukan pokok, dimana dalam perkara tersebut masih dimungkinkan masuknya pendapat dan ijtihad. Bagi orang yang menyatakkan beda pendapat masih diperbolehkan, sebab hal iu biasanya disebabkan kaena kurang mengerti, pemahaman yang dipaksakan, atau salah penafsiran. Hal itu terjadi dalam medan ijtihadiyah dan masalah furu’ (cabang agama) atau juga disebabkan masalah pokok yang bertentangan di antara para imam agama. Sedangkan masalah furu’ biasanya terjadi pada masalah akidah yang pokok-pokoknya sudah disepakati tetapi bagiab-bagiannya diperselisihkan, seperti kesepakatan para imam tentang Isra’ Mi’raj. Mereka berselisih dalam hal apakah Nabi Muhammad melihat Allah dengan mata kepala atau dengan mata hati.

d.   Perselisihan kadang terjadi karena suatu ijtihad, yang mana masih didasari niat yang baik dan para pelakunya (mujtahid) akan diberi satu pahala bila ijtihadnya salah selagi masih dalam rangka mencari kebenaran. Sedangkan apabila ijtihadnya yang tepat, maka ia akan mendapatkan dua kali pahal mujtahid yang salah tersebut. Meskipun demikian, ijtihad yang salah masih diberikan pujian juga. Sedang bila mengakibatkan perpecaan maka hal itu akan mendapatkan celaan. Perpecahan tidak boleh disebabkan oleh suatu ijtihad yang didasari niat baik. Apabila ini dilakukan, pelakunya tidak akan mendapat pahala bahkan mendapat celaan dan dosa. Dari ketentuam ini, maka tidak mungkin terjadi perpecahan karena suatu ijtihad yang didasari oleh niat baik kecuali karena tindakan bid’ah, yaiu mengikuti hawa nafsu atau taqlid kepada hal yang tercela.

e.  Iftiraq selalu dikaitkan dengan peringatan kepada kita untuk menjauhinya, karena iftiraq akan mengakibatkan kita terjerumus kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan ikhtilaf bukanlah demikian, selagi ikhtilaf tersebut terjadi karena masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad, atau memiliki pendapat berbeda tidaklah menjadi persoalan, atau pelakunya kurang mengerti alasan dan tidak didukung dengan argumentasi yang jelas, atau karena pemaksaan ide yang tidak dimengerti oleh orang lain, atau karena penafsiran yang tidak akan jelas kecuali diperkuat oleh argument yang kuat.



5.   Meluruskan Beberapa Kesalah Pahaman

Ada beberapa kekeliruan sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan, berkaitan dengan beda antara iftiraq dengan ikhtilaf. Khususnya bagi para penegak amar ma'ruf nahi mungkar dan para juru dakwah. Yang lebih banyak lagi disebabkan karena lemahnya  ilmu  dan  pemahaman  dalam  agama  serta  minimnya  pengalaman,  atau karena  ketidakjelian  dan  salah  persepsi.  Terlebih  lagi  bagi  para  penopang  dakwah islamiyah pada hari ini. Beberapa kekeliruan itu di dantaranya:

Pertama, Mengingkari terjadinya perpecahan dalam umat ini. yang berakibat sebagian orang  menolak  hadits  ifftiraq  yang  telah  dinukil  secara  shahih  dari  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini  merupakan  kesalahan  fatal. Beberapa orang berasumsi atau mendakwahkan bahwa perpecahan  umat  tidak  mungkin  terjadi! Selintas kelihatannya  ia  ingin menampakkan keinginan yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir saja (yaitu semuanya muslimun), Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau  mentakwilkannya  kepada  makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan hanya terjadi pada  kelompok-kelompok  yang  jelas-jelas  di luar  Islam  atau  kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam. Ini jelas keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam dan nash-nash dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan terjadinya  perpecahan  umat.

Umat memang  telah dilanda perpecahan, realita  itulah yang benar-benar  telah  terjadi. Perpecahan  termasuk bala', sementara kebenaran  tidak akan tampak kecuali dengan lawannya (kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menuliskannya dalam catatan takdir bahwa pengikut  kebenaran  sangat  sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini terjadinya perpecahan bukan berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan begitulah realita yang harus diakui. Berita yang dibawa Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan fenomena perpecahan itu sendiri bukan berarti seorang muslim harus menerimanya  tanpa usaha menghindar. Apalagi beranggapan bahwa berpecah itu  dibolehkan,  rela  berpecah,  tidak  berusaha  mencari  kebenaran  karena  pasrah menerima  takdir.  Namun  sebaliknya,  perpecahan  yang  pasti  terjadi  itu justru mendorongnya mencari dan memegang teguh kebenaran.  Memicunya  mengenal keburukan untuk  dihindari  dan  dijauhi.  Dan  hendaklah  ia ketahui bahwa kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam serta manhaj Salafus Shalih.

Kedua, Asumsi  bahwa  perpecahan  pasti  terjadi,  berarti  umat  harus  menerimanya dengan rela. Dan para du'at harus menerima kenyataan ini, menerima kesesatan yang ada  tanpa  berusaha  memperbaikinya. Asumsi  seperti ini sering dijadikan alasan melegitimasi perpecahan. Mereka  beranggapan  seorang  muslim  bebas  memilih kelompok manapun! Beralasan dengan realita perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap  orang  bebas  memilih  kelompok  manapun  yang  disukainya,  meski  jelas-jelas bid'ah dan sesat. Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut atau berusaha menyatukan mereka. Ini merupakan anggapan batil, bahkan  termasuk memperdayai kaum muslimin. Sudah barang  tentu  tidak  boleh  menjadikan  hadits  iftiraq  tersebut  sebagai  alasan  untuk berpecah  belah atau  sebagai dalih menerima  bid'ah  dan menuruti  hawa  nafsu  atau rela berada diatas kesalahan. Sebab hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.

Lebih  parah  lagi,  sebagian  orang  yang  mengaku  juru  dakwah  berpendapat,  selagi Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  membenarkan  terjadinya  perpecahan  umat, maka  kita  terima  dan  kita  benarkan  saja  bid'ah  dan  kesesatan  yang  terjadi  sebagai suatu  realita. Bukankah  kita  tahu  bahwa  pasti  dalam  beragama  itu  ada  cemar  dan kurangnya. Jelas  ini  pendapat  yang  batil,  bahkan  termasuk  perangkap  setan  yang menjerat  umat manusia.  Sebab,  di  samping  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam menghabarkan terjadinya perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap ada satu  kelompok  yang  teguh  diatas  kebenaran,  yaitu  Ath-Thaifah  Al-Manshurah. Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran, menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Golongan yang menegakkan hujjah yang nyata, yang membawa panji hidayah bagi siapa yang  menghendakinya, yang  menjadi  panutan  bagi  yang  ingin kebenaran, kebaikan dan sunnah.

Jadi,  hujjah  mesti  selalu  tegak,  kebenaran  pasti  senantiasa  tampak,  tidak  akan tersamar sedikitpun bagi orang-orang yang memiliki bashirah dan bagi para pencari al-haq  yang  jujur.  Siapa  bertakwa  kepada  Allah  niscaya  Dia  akan  memberinya  jalan keluar.  Selama  kebenaran masih  tampak  jelas  dan  panji  sunnah masih  tetap  tegak, siapapun  tidak boleh berpaling darinya, meski dengan  itu pengikutnya  jadi berkurang, baik  ia  seorang  da'i  atau  bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid'ah dan kesesatan meski dengan begitu pengikutnya semakin betambah banyak. Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh tiga kelompok umat ini.

Maka  menerima  bid'ah  dan  kesesatan  dengan  dalih  takdir  tidaklah  dibolehkan. Anggapan seperti itu termasuk memperdayai kaum muslimin,  termasuk  pembenaran bagi  kebatilan  serta  berpaling  dari  kebenaran,  dan  termasuk juga selain jalan orang-orang yang beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.

Ketiga, Menjadikan ikhtilaf sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan dengannya, atau menghukumi mereka keluar dari agama atau dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Serta beberapa sikap kelewat batas  lainnya dalam menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah syari'at dan metode alim ulama dalam masalah ini. Perlu diketahui  bahwa dalam memvonis kafir ada batasan dan kaidah yang  perlu  diperhatikan. Meskipun  terhadap  ahli  bid'ah  dan  ahli  ahwa'  (hawa nafsu).  Sebab  vonis  kafir,  bara'ah  (berlepas  diri),  bughdu  (kebencian),  hajr (pemboikotan)  dan  tahdzir  (peringatan)  tidak  boleh  dilakukan  tanpa  meneliti  dan menegakkan  hujjah terlebih dahulu. Maksudnya, tidak boleh terburu-buru memvonis seseorang keluar dari jama'ah karena bid'ah yang ada padanya atau karena menyalahi syari'at  dan  menyelisihi  sunah.  Sebab  barangkali  ia  tidak  tahu  hukumnya,  seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi) hingga ia mengetahui ilmunya.

Banyak sekali kaum muslimin yang terperangkap lingkungan yang mengitarinya, hingga jatuh kedalam penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di beberapa negara-negara Islam. Banyak orang yang mencukur jenggotnya, meninggalkan shalat berjama'ah, melakukan amal-amal yang menyalahi  syari'at  bahkan mengucapkan  kalimat  kufur  karena  lingkungan memaksanya.  Sekiranya  tidak  melakukannya  mereka  bisa  dibunuh,  disiksa,  atau dirusak kehormatannya. Jadi, bilamana  ia  lakukan  itu semua karena  'terpaksa', maka seorang hakim yang bijaksana hendaknya dapat menggambarkan  hukum  apa  yang layak  diajatuhkannya. Boleh  jadi  seorang  pelaku  bid'ah  dan  seorang  yang meyakini i'tiqad  sesat  meyakininya  karena  takwil  (anggapan  keliru),  sementara  hujjah  belum ditegakkan atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas mereka.

Barangkali diantara  kita pernah melihat  seorang melakukan  sebuah bid'ah yang pada umumnya dilakukan oleh pengikut  kelompok-kelompok  sesat, misalnya  bid'ah maulid  nabi,  jika ternyata  dia  seorang  awam  yang  tidak  tahu, maka  kita  tidak  boleh  tergesa-gesa memvonis ia orang  sesat  dan  tidak  boleh pula menghukuminya keluar  dari  jama'ah sebelum  dijelaskan  duduk perkara  tersebut  dan ditegakkan  hujjah  atasnya. Adapun perbuatannya  dapat  kita  hukumi  sebagai  bid'ah.  Namun  jangan  cepat-cepat memvonisnya  keluar  dari  jama'ah  atau  menghukumi  sebagai  pengikut  aliran sesat hanya  karena  bid'ah  yang  dilakukannya  sebelum  ditegakkan  hujjah. Kecuali  bid'ah mukaffirah  (yang  menyebabkan  pelakunya  kafir),  akan  tetapi  risalah  kecil  ini  tidak mungkin memuat perinciannya. Bahkan sebaliknya, terburu-buru memvonis  orang  lain  keluar  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah-masalah  furu  termasuk bid'ah dan penyimpangan yang  tidak boleh  dilakukan.  Sikap  seperti  itu  sangat  tercela.  Bila  ia  melihat  saudaranya  jatuh dalam  perbuatan  bid'ah,  hendaknya  mengecek  terlebih  dahulu,  menanyakannya kepada  ahli  ilmu,  serta menganggap  orang  yang melakukannya  jahil/tidak  tahu,  atau melakukannya karena  takwil atau  ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta bimbingan. Dan  hendaknya  ia  perlakukan  saudaranya  itu  dengan  lemah  lembut  terlebih  dahulu. Sebab tujuan kita adalah membimbingnya kepada hidayah bukan memojokkannya.

Keempat, Tidak mengetahui perkara mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat dan mana yang tidak boleh. Yaitu tidak dapat membedakan perkara-perkara khilafiyah dan perkara-perkara yang tidak boleh diperselisihkan. Hal ini banyak menimpa orang awam, bahkan juga para du'at. Berikut ada beberapa contoh:

a.   Sebagian orang menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam masalah ushul (pokok).  Tanpa merujuk kaidah  dan  arahan  ahli  ilmu  serta  tanpa bimbingan dari ahli fiqih yang dapat membantu mereka dalam hal ini.

b.  Tidak membedakan  antara  perkara  mukaffirah  (yang  dapat mengeluarkan pelakunya dari  Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam). Tidak memperhatikan  tingkatan-tingkatan  bid'ah,  di antara bid'ah ada yang  dapat mengeluarkan pelakunya dari  Islam  dan  ada yang tidak. Banyak sekali kesalahan yang dilakukan seseorang, sebuah kelompok atau jama'ah di vonis kafir secara terburu-buru oleh sebagian oknum. Sebenarnya tidak demikian caranya. Sebab setiap orang yang mengetahui  perkara-perkara  yang  dapat menyebabkan  kekafiran, seperti meyakini  bahwa  Al-Qur'an makhluk,  lalu  ia menerapkan  hukum kafir itu atas setiap orang yang meyakini demikian tanpa membedakan antara menghukumi ucapan dan menghukumi  orang  yang  mengucapkannya,  maka  ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah membedakan antara menghukumi  kafir,  bid'ah  atau  fasik terhadap  sesuatu  secara  umum  dengan menghukumi  orang  tertentu. Boleh jadi  kita menghukumi  kufur  suatu  amalan  atau  sebuah  ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya  atau  melakukannya  jatuh  kafir.  Banyak sekali orang yang  tidak membedakan hal  ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran).  Padahal  vonis kafir  tidak  boleh  dijatuhkan  sehingga  benar-benar  diteliti,  ditegakkan  hujjah  dan  dalil, serta  telah diketahui  tidak adanya alasan dan uzdur lainnya yang menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang  tertentu.  Boleh  jadi  karena  ia  jahil,  dipaksa  atau mentakwil.

Masalah  takfir  (mengkafirkan),  seseorang  perlu  penelitian  lebih  dalam  dan perlu mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya disamping perlu diajak  diskusi  dan  diberi  nasihat.  Janganlah  kita memvonis kafir setiap orang yang melakukan perbuatan kufur,  mengucapkan  dan  meyakini  keyakinan  kufur. Kecuali dalam  masalah-masalah  prinsipil  yang  sudah dikenal  luas  oleh  segenap  kaum muslimin. Seperti mengingkari syahadat Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencela  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa sallam dan masalah-masalah prinsip lainnya. Perlu diketahui, bahwa ada juga beberapa permasalahan usuhuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian orang awam. Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat  Allah pada hari  Kiamat,  masalah  syafa'at,  mensikapi sahabat  dan beberapa  permasalahan  lain  yang  tidak  diketahui  orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar perinciannya atas  sebagian  ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur tanpa mereka  sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa memperhatikan dengan seksama ucapan yang dilontarkan. Apakah harus dihukumi kafir ? Jawabannya tentu saja tidak.

Kesalahan  besar  yang  sering  dilakukan  oleh  beberapa  oknum-oknum yang suka menghukumi  orang  lain  adalah  tidak  berhati-hati  dalam  masalah  ini  sehingga  jatuh dalam  bahaya. Khususnya  penuntut  ilmu  yang masih  pemula  dan masih muda serta belum  matang  mendalami  ilmu  agama  melalui  para  ulama,  namun  hanya  belajar secara  otodidak  dari  buku-buku  dan  sarana-sarana  lainnya,  tanpa  dibimbing  dan dituntun para ulama, dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan  penetapan  hukum. Mereka  kerap  kali  keliru  dalam menempatkan  kaidah  umum dan  dalam  menerapkan  kaidah  itu  pada  perkara-perkara  parsial  dan  kasus-kasus tertentu.

Hukum kufur dan kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti hukum  kafir  bagi  setiap  orang  yang  melakukan,  mengucapkan  dan  meyakininya. Demikian  pula  halnya  hukum-hukum  yang  berkaitan  dengan  al-wala'  (loyalitas) serta  al-bara'  (berlepas  diri),  bukan  berarti  setiap  orang  divonis  kafir  lalu  diterapkan padanya hukum-hukum tersebut.

Sehingga perkaranya  menjadi  jelas. Maksudnya adalah jelas hukum-hukum al-bara', sementara al-wala', adalah  hak  bagi  setiap  muslim.  Tidak  boleh memutus  al-wala', sebab al-wala' wajib diberikan kepada setiap orang yang menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim sehingga kita mendapatinya menyelisihi identitas tersebut.

Di antara kesalahan mereka juga adalah tidak memperhatikan  maslahat dan mafsadat serta tidak mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat. Hal ini juga merupakan salah satu pemicu utamanya.



B.  PENUTUP

Sesungguhnya pembicaraan tentang firqah-firqah bukanlah mrupakan penjabaran sejarah semata yang bertujuan sekedar menelaah pokok-pokok firqah untuk dimengerti seperti dipelajarinya kejadian dan peristiwa sejarah lain yang telah lewat. Tetapi sesungguhnya pembicaraan tentang firqah-firqah memiliki kedudukan yang lebih besar dari sekedar mengerti sejarah yaitu sebagai peringatan dari kejelekan-kejelekan dan bid’ah-bid’ah firqah-firqah tersebut dan sebagai anjuran untuk berpegang dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Meninggalkan penyimpangan-penyimpangan yang ada pada firqah-firqah tersebut tidak bisa dilaksanakan secara spontan oleh setiap manusia kecuali setelah mempelajari dan mengerti apa itu golongan yang selamat. Dengan demikian ia dapat berhati-hati dan waspada terhadapnya karena barangsiapa yang tidak mengenal kejelekan maka akan terjerumus kepadanya.

Oleh karena itu, mengenal firqah-firqah dengan madzab-madzab dan syubhat-syubhatnya serta mengenal golongan yang selamat Ahlus Sunnah wal Jamaah dan apa yang ada padanya mengandung banyak kebaikan bagi kaum muslimin.



C.  REFERENSI

Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql. 2009. Sebab-Sebab Perpecahan Umat dan Cara Penanggulangannya. E-book: Islam House

Shalih bin Fauzan Al Fauzan. Membongkar Firqah-Firqh Sesat. E-book: Pustaka As-Salaf

Tim Ulin Nuha Ma’had Aly An-Nur. Dirasatul Firaq. Surakarta: Pustaka Arafah

Abu Abdirrahman al-Fadani. Sejarah-iftiraq-perpecahan-umat-dalam.html. Dengan referensi Buku Al-Iftiraq (Perpecahan Umat) Pengertian, Sebab, dan Cara Penanggulangannya hal 30-38; karya Syeikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-'Aql, Penerbit : Pustaka Istiqomah, Solo

Arham. Sejarah iftiroq.php.htm. hidayatullah.com

El-fatih kamil. bab-ii definisi iftiroq.html. Dengan referensi Buku Perpecahan Umat Islam , alih bahasa A. Adzkia Chanifah, cet. Ke-1 (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1991), hlm. 17-23; karya Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql


Tidak ada komentar:

Posting Komentar