Sabtu, 03 Mei 2014

Bukan Hanya Istri Biologis



Suatu ketika, di tengah kemacetan lalu-lintas Jakarta, frekwensi radio terhenti di channel 68 H. Adik kelas saya pernah jadi reporter radio itu dan dia bilang banyak orang Yahudi disana. Ada wawancara dengan Suciwati; Janda munir KontraS dalam rubrik Humaniora. Pejuang HAM itu akhirnya dibunuh dengan arsenik saat hendak kuliah ke Belanda. Saya masih teringat di suatu sore hari, saat kami menggelar pameran buku di Jogja, tiba-tiba ada SMS masuk dari keluarga ustadz Abu Bakar Baasyir; ‘Innalillahi wa-inna Ilaihi raji’un, Munir baru diberitakan meninggal dunia dalam pesawat Garuda’. Hal yang sering kuingat dari Cak Munir adalah statemen beliau mensikapi jaringan kelompok jihadis yang mudah terbongkar, katanya: “Mereka diajari membuat bom, tapi tidak diajari menghadapi interogasi.”


Cak Munir telah pergi, tapi energi sang istri serasa tak pernah habis untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Begitu mendengar suaminya meninggal, ia segera kontak ke Maskapai Garuda dan ke instansi terkait untuk menanyakan kebenaran berita. Ia marah saat merasa dipimpong dan tak ada keterangan resmi. Ia ‘memahami haknya’ sebagai istri untuk  mendapatkan info yang benar dan resmi. Ia marah dan terus mengejar saat tak diberitahu hasil otopsi sampai akhirnya instansi terkait tak bisa menolak. Ia pernah ‘curhat’ menghadap SBY sampai Pak Presiden membuat Tim Pencari Fakta. Ia bahkan ratusan kali berunjuk rasa untuk menuntut agar ‘sang dalang’ diseret ke pengadilan.

Saat ditanya kenapa tidak Anda lepaskan saja Munir agar ia istirahat dengan tenang, dan Anda melanjutkan hidup Anda..? Ia menjawab, “Saya sudah ikhlaskan kematian suami saya karena itu kehendak Tuhan. Jika Tuhan tidak berkehendak, kematian itu tak akan terjadi. Yang saya tidak bisa ikhlaskan adalah kelakuan pembunuh karena kelakuan itu salah. Kesalahan itulah yang harus diluruskan dan jangan sampai terulang”. Saat ditanya, kenapa Anda menikah dengan Munir, bukankan Anda tahu bahwa ia telah memiliki musuh dari dulu? Apakah Anda sudah pikirkan resikonya? Dengan kadang diselingi canda, ia menjawab bahwa ia telah merasa satu visi sejak masa remaja. Suci aktif memimpin pemogokan buruh; berhadapan dengan polisi dan tentara, sementara Munir juga aktif di advokasi. Ia merasa match untuk hidup di dunia ‘keras’ bersama Munir. ‘Kami memiliki frame yang sama’ Kata Suci. Bahkan, ketika menyertai suaminya mengisi seminar yang isinya ‘menguliti’ institusi Negara ini, imajinasi Suci melayang bahwa suaminya akan ditembak oleh intel saat itu juga. Suci sangat memahami resiko menjadi istri seorang Munir.

Yang juga menarik dari wawancara itu, disebutkan bahwa Garuda pernah menawarkan duit ganti rugi sebanyak 600 juta lebih. Tentu itu bukan fulus yang sedikit. Tapi tawaran itu tidak diterima kecuali dengan dua syarat: Garuda harus melakukan audit tahunan dan membuat pernyataan permintaan maaf atas keterlibatannya dalam pembunuhan Munir. Agaknya, adalah sebuah kemenangan moril bagi Suci jika Garuda mengabulkan tuntutannya. Ia ternyata telah memainkan jenis ‘perang’ yang diyakininya.

Ahaa… jadi terlalu panjang saya cerita soal wawancara itu. Padahal saya hanya ingin menyampaikan kesan bahwa Suciwati ternyata bukan hanya istri biologis tapi juga istri ideologis bagi Munir. Cerita di atas sekurang-kurangnya adalah hal dzahir yang bisa kita lihat kendati kita tak mengerti ‘pedalamannya’. Nilai yang diusung Munir tentu berbeda dengan aktifis harakah. Meski demikian antara keduanya tetap memiliki irisan di soal issu kedhaliman, ketidakadilan, kemanusiaan…; termasuk resiko bisa dibunuh oleh pihak yang tidak senang, dan resiko menjadi janda bagi sang istri.

Menyimak wawancara itu, imajinasi saya melayang pada kasus-kasus terorisme. Agaknya elok, jika para istri menyiapkan atau disiapkan untuk tidak sekadar menjadi istri biologis tapi juga ideologis. Istri yang mengerti dan mengikuti jalan hidup suaminya. Istri yang mengetahui ‘dunia’ suaminya dan dalam keadaan tertentu bisa menjadi ‘assisten’. Istri yang saat ditinggal oleh suami (baik untuk sementara atau selamanya), bisa diandalkan untuk mengarahkan anak-anaknya juga menjadi anak ideologis dan bukan anak biologis belaka. Istri yang dalam keadaaan darurat bisa berdiplomasi dengan baik saat menghadapi wartawan atau bahkan pak pulisi.

Dunia Munir memang lebih banyak dunia jahriyah dan dalam frame demokrasi sekular. Sementara dunia aktifis sebagian ruangnya sirriyyah dan terikat dengan nilai-nilai syar’i. Sifat pergerakan ini yang cukup berbeda dan agaknya membuat aktifis harakah dituntut pelit informasi terhadap Istri. Ada juga nilai-nilai syari’at yang harus dijaga. Disinilah seorang suami dituntut cerdas untuk bisa mencari jalan tengah antara amanat amniyah versus amanat tarbiyah bagi sang istri. ‘Menyiapkan’ istri tentu bukan dengan memasok info secret yang justru kelak menyulitkan, tapi lebih ke arah menyiapkan mental, wawasan, dan skill. Kitman, bukanlah penghalang untuk terjadinya penyamaan frekwensi dengan Istri.

Yang harus diingat, bahwa selama ini Istri selalu menjadi sasaran konfirmasi pertama bagi instansi atau pers jika suaminya sedang menghadapi kasus. Dalam kondisi semacam itu, mental, wawasan, dan skill menjadi sangat menentukan. Perpaduan antara pembinaan iman dan kefahaman akan waqi’ akan menjadi perpaduan yang unggul. Bukankah banyak yang secara dzahir shalih,  tapi bisa ditipu musuh oleh sebab tak mengerti bahwa itu tipudaya? ‘Suapan’ ala Garuda misalnya, juga lazim terjadi dalam kasus penanganan terorisme dalam banyak model dan bentuk. Ada yang bersikap ‘iffah dengan menolak dan ada yang berdalih, ‘Ini dari pos pendapatan halal pak pulisi.’

Sebagai closing, ada makna hadits dha’if riwayat Baihaqy yang menarik untuk disimak buat para istri atau calon istri. Suatu ketika Sahabiyah Anshar bernama Asma’ pernah bertanya kepada Rasulullah perihal keterbatasan wanita versus kelebihan yang diberikan kepada lelaki. Kaum lelaki mendapat keutamaan untuk shalat Jum’at, shalat jama’ah, takziyah, haji, umrah, dan yang paling besar adalah berjihad. Sementara saat mereka menjalankan keutamaan itu, kaum wanita bertugas menjaga rumah, menjaga harta, mengandung, mendidik anak-anak, dan memintal kain pakaian. “Maka, adakah kami berserikat dalam kebaikan dan ganjaran Ya Rasulullah..?” Tanya Asma’ mewakili muslimah Anshar. Rasul kagum dan bertanya kepada para Sahabat, "Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita dalam bab agama yang lebih baik dibanding  wanita ini?" Kepada Asma’, Rasul kemudian menyampaikan berita gembira untuk disampaikan ke muslimah di belakangnya, bahwa; kebaikan wanita terhadap suaminya, mencari ridha suaminya, ikut senang saat suami senang; adalah sebanding dengan amal laki-laki yang disebutkan tadi.
( Ust. Bambang Sukirno)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar