Minggu, 27 April 2014

Infiltran di Pondok Ngruki



Pertengahan 1991  Belum lama saya diangkat menjadi ustadz. Ketika itu, saya mendapat amanah membina santri baru. Suatu ketika, datang seorang ustadz membawa seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya tegap lagi atletis. Kulitnya putih menyerupai bule. Saya mempersilahkan masuk ke ruangan saya. Ustadz pengantar kemudian meninggalkan kami berdua. Kepada saya, sang pemuda mengaku ingin belajar agama Islam. Sejurus kemudian, kami terlibat ta’aruf penuh suasana kehangatan. Maklum, datang saudara baru, berpenampilan menarik pula, ditambah ketika itu saya sedang sangat semangat membina generasi muda. Saya pun memintanya mengisahkan latar belakang kehidupan dan jalan cerita sampai di pondok Ngruki.


Dengan sangat dramatis lagi memukau, ia memulai ceritanya. Sungguh sebuah permainan watak tingkat tinggi. Seorang bintang film pun barangkali tak bisa menandinginya. Ia bercerita sembari kadang menangis, kadang menitikkan air mata, dan kadang tertawa lirih. Semua menghantarkan pada rasa ia harus dikasih-sayangi. Saya tersihir. Seluruh ceritanya saya telan mentah-mentah. Tak peduli khayal, kurang logis, dan carut-marut. Maklum ketika itu kondisi iman saya lemah. Sebab orang yang imannya kuat, tak akan gampang ditipu. Karena orang yang imannya kuat, memiliki firasat yang tajam. Bahkan ketajaman firasat orang semacam Umar bin Khattab, sebelum seseorang yang datang menemuinya untuk menyampaikan maksudnya, beliau sudah paham. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Takutlah kamu akan firasat orang beriman, karena ia melihat dengan mata Rabb-nya”.

Kepada saya ia mengaku berasal dari Prancis. Semua anggota keluarganya beragama Kristen. Ada beberapa keluarganya yang tinggal di Indonesia, termasuk kakak perempuannya. Ayahnya sudah meninggal dunia dan semasa hidupnya berstatus sebagai pastur. Sewaktu ibunya hendak meninggal dunia (sekarat), sang ibu memanggil anak-anaknya. Secara khusus ibunya memberikan secarik kertas bertulis “Laailaahaillallah" sembari berpesan kepadanya, “Carilah makna dan kandungan kalimat ini sampai di ujung dunia, pahamilah dan amalkan isinya!” Menuruntnya, ibunya mati Kristen dan mengakui kesesatannya sebelum meninggal.

Kepada saya ia mengaku bahwa ketika khitan, ia langsung sembuh hanya dalam beberapa menit. Ia juga mengaku telah berkelana kesana kemari  tapi belum mendapatkan makna “Laailaahaillallah". Ia mendapat informasi bahwa hanya di pondok Al-Mukmin Ngruki terdapat penjelasan makna “Laailaahaillallah" secara benar.

Kepada saya ia mengaku tengah  mendakwahi saudara dan famili-familinya agar memeluk Islam. Karenanya, ia meminta dispensasi khusus untuk menemui mereka jika ada masa libur (di kemudian hari saya tahu bahwa itu adalah tipu muslihat untuk memberikan laporan kepada boss-nya). Ia juga bercerita sebagian keluarganya menduduki posisi-posisi penting di IGGI, CSIS dan lain-lain.  Itulah antara lain yang ia ceritakan, saya sudah lupa bualan- bualannya, maklum 20 tahun telah berlalu.

Terkesan dengan pertemuan pertama, saya tak menaruh curiga sama sekali. Terlebih, didukung penampilan lahiriyah kesehariannya yang menampakkan profile anak shalih. Ia selalu shalat berjamaah dan duduk di shaf depan. Ia rajin berpuasa Senin-Kamis bahkan puasa Dawud. Ia sangat rajin belajar dan dapat menunaikan tugas kelas dengan baik. Ia sangat cerdas dan pandai. Beberapa bahasa ia kuasai. Jika diajar, cepat memahami termasuk bahasa Arab, Aqidah dan sejenisnya. Jika berpidato sangat memukau, baik menyangkut teknis orasi maupun isinya. Ia sering berpidato soal jihad, diseratai kritik tajam buat Ali Murtopo, Daud Yusuf, Sudomo c.s dan lain-lain.  Akhlaq dan budi pekertinya sangat menarik. Jika bersalaman dengan ustadz kadang cium tangan. (Cium tangan, akhirnya kami larang untuk menghindari pengkultusan). Jika ia berjumpa dengan orang lain, selalu menebarkan senyum sambil menundukkan kepala. Dia tak pernah menatap mata secara langsung, dan hanya sesekali curi pandang. (di kemudian hari, ketika di Afghanistan, seorang pemimpin mujahidin yang terkenal memberikan nasehat bahwa di antara cara mengetahui seseorang jujur atau tidak, jasus atau bukan, adalah dengan menatap matanya)

Ia lebih banyak diam daripada bicara. Berbicara hanya kalau perlu. Tampak ada sesuatu yang disembunyikan. Namun ketika itu saya hanya husnudzan: mungkin ia tengah diliputi kegundahan atas kondisi keluarganya yang belum masuk Islam. Selama di pesantren, ia tak pernah terdengar melanggar peraturan meski hanya sebuah pelanggaran kecil. Potret dia semacam ini, membuat ia menjadi murid kesayangan saya. Tidak berjumpa dengannya sehari laksana sebulan. Keadaan semacam ini berlangsung selama setahun, terutama pada semester pertama. Siang-malam saya selalu mengikuti perkembangan pembinaannya. Bahkan saya memberi keistimewaan kepadanya boleh berkunjung ke kamar saya kapan pun dia perlu. Ia pun sering datang untuk private makna “Laailaahaillallah”. Kepadanya saya ajarkan secara urut; pengertian, makna, syarat-syarat, konsekwensi dan pembatal dari kalimat tauhid tersebut. Ketika itu ia berkomentar, “Ini mungkin yang dikehendaki ibu dalam wasiatnya. Saya baru mendengar pertama kali penjelasan seperti ini.”

Demikianlah, seluruh kegiatan belajar dia ikuti dengan penuh semangat, baik aktivitas kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Tak heran jika ia langsung memiliki posisi strategis misalnya dengan menjadi Ketua Kelas, Sekretaris Kelas, Sekretaris Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Islam Al Mukmin (OP3IA), Bagian Keamanan, Bagian Ta’limat dan jabatan-jabatan lain. Ia juga menjadi anak kesayangan para ustadz terutama mereka yang berasal dari Jawa Barat, dan mendapat hak khusus bisa keluar kompleks kapan ia mau untuk berkirim surat, telephone, dan keperluan-keperluan lain.

Saya masih ingat, betapa semangat ia mengikuti kegiatan yang sangat melelahkan sekali pun. Suatu ketika kami mengadakan longmarch; kegiatan rutin yang biasa kita lakukan minimal satu semester sekali. Kali ini, medan yang kami lalui cukup berat. Dari Solo naik ke Tawangmangu, naik lagi ke lereng Lawu, kemudian turun ke Sarangan. Kulitnya tampak terbakar kemerah-merahan. Maklum, kulitnya seperti bule. Semua ia lalui dengan paripurna. Kasihan juga dia, hanya demi ridha bossnya, rela berlelah-lelah, terbakar pula kulitnya. “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar ” (Al-Baqarah: 9)


Seorang aktor ulung

Sering dia bermain sandiwara. Seperti saya sebutkan, ia adalah santri yang mendapat keistimewaan. Ia sering pergi selama kurang lebih 3 hari. Anehnya, setiap habis bepergian, di depan saya ia menampakkan kondisi tubuh yang sangat loyo sembari menetaskan air mata. Katanya, dia barusan bergulat hebat dengan salah seorang saudaranya karena tak menyukai keislamannya. Apalagi, ia nyantri di Ngruki, yang menurut saudaranya termasuk pesantren penghambat laju kristenisasi.

Kadang, sepulang bepergian, ia menemui saya dalam kondisi anggota tubuhnya gosong, lebam-lebam, dan memar-memar. Kadang di pipi, kadang di tangan, kadang di punggung. Katanya,  ini disebabkan ulah saudara-saudaranya yang menolak ajakan masuk Islam. Saat diajak berislam, mereka bukannya menyambut, tapi malah memukul dengan alat pukul, menendang, melempar kursi, dan bermacam-macam penganiayaan lainnya.

Pernah suatu ketika ia bepergiaan agak lama. Katanya, ia baru kembali dari Prancis. Saat di Prancis, ia mengaku disiksa oleh keluarganya, baik mental maupun fisik. Antara lain, ia disekap dan tidak boleh keluar rumah. Sesampainya di Jakarta, ia singgah di rumah kakak perempuannya dengan maksud curhat dan meraih empati. Ia pun  menceritakan pengalaman pahitnya selama di Prancis. Namun, bukan empati yang ia dapatkan melainkan dampratan. Kakaknya bahkan mengultimatum, jika ia tidak segera keluar dari Ngruki, tidak akan dianggap sebagai saudara dan tidak diperkenankan menginjakkan kaki di rumahnya. Tidak hanya itu, ia juga dilarang berkunjung ke rumah saudaranya di mana pun. Seribu satu alasan disampaikan oleh kakaknya atas sikap kerasnya. Saya tidak ingat semua ceritanya. Yang saya ingat, katanya, kakaknya selalu bilang, “Kamu tahu nggak, Ngruki itu musuh bebuyutan Kristen Indonesia.”

Keanehan lainnya, ia sering diantar ke pesantren oleh orang-orang yang tak dikenal. Dalihnya, mereka berjumpa di jalan, atau di bus umum, dan menemukannya dalam keadaan pingsan, sebelum akhirnya mereka menolong dan mengantarkan ke pondok Al-Mukmin. Demikianlah, seribu satu sandiwara ia lakukan, sampai saya tak mampu mengingat semuanya.


Terbongkarnya Jaringan Infiltran

Sampai akhirnya… Sepandai-pandai tupai melompat, mesti jatuh juga… Serapat-rapat tahi dibungkus, pasti berbau juga… Sependai-pandai musang membalut tubuhnya dengan bulu ayam, pasti ketahuan juga. Bagaimana cerita kedoknya bisa terbongkar?


Setahun telah berlalu. Si bule mulai kurang akrab dengan saya, bahkan terkesan menjaga jarak. Ia tidak berani menatap muka saya. Jika berpapasan jalan ia mengubah arah. Pada suatu hari, seperti kebiasaannya, ia meminta izin untuk menemui keluarga yang menjadi pastur di Yogyakarta. Itu alasan dia, aktifitas sebenarnya kita tidak tahu. Seperti lakon yang biasa ia perankan, ia pingsan sewaktu turun dari bus. Tiba-tiba, datang ambulan menjemput. Konon ceritanya begitu. Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin ambulan datang begitu cepat kalau belum di atur sebelumnya. Saya sudah mulai curiga. Saya juga tidak tahu apa betul ambulan yang mengambil atau kroni-kroninya. Singkat cerita, sampai khabar bahwa ia tengah diopname di Rumah Sakit Umum Surakarta

Mendengar ia opname, saya segera menugaskan santri-santri untuk piket bergiliran. Sudah menjadi kebiasaan, jika ada santri opname di rumah sakit, pesantren menugaskan beberapa santri untuk membantu dan melayani si sakit. Ternyata, di RSU tempat si bule opname, telah berjaga seorang wanita yang selama ini mengaku sebagai keponakannya.

Sedikit setback, selama ini ia mengaku memiliki keponakan putri yang sekolah di SMA Al Islam. Karena keponakan, maka sudah tentu muhrim. Karenanya, selama ini tak ada halangan bagi dia dikunjungi oleh si wanita “muhrim” tadi. Si wanita pun sering bertandang karena memang lokasi sekolahnya tidak jauh dari pesantren; hanya sekitar 7 – 10 KM. Menurut warta yang kami kumpulkan, si wanita juga tergolong aktifis berat di SMA yang ketika tergolong sekolah favorit. Kepandaiannya, kecerdasannya, akhlaknya yang terpuji, budi pekertinya yang memikat, munuai banyak simpati di kalangan guru-gurunya. Ia bahkan telah lebih dulu mengenakan jilbab sebelum kawan-kawannya mengenakannya. Saya sendiri beberapa kali menyaksikan ia telah berjilbab dengan baik saat mengunjungi si bule. Tak heran, si wanita ini juga menduduki pengurus teras OSIS SMA Al Islam Surakarta.

Karena mafhum bahwa si penunggu adalah keponakan dan muhrimnya, maka tak ada yang menyoal apalagi curiga ketika si wanita setia melayaninya. Kecurigaan santri-santri piket mulai muncul sering mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar opname si bule. Para santri piket kemudian mewartakan kepada saya ihwal kecurigaan mereka. Kepada mereka saya katakan, “Antum jangan berburuk sangka. Kalau Antum memiliki kecurigaan, dan menilai ada yang tidak beres, harus memiliki bukti.” “Bagaimana cara mencari bukti” tanya mereka. Setelah memutar otak saya berkata, “Begini, sewaktu mereka berdua di kamar, jangan ada salah seorang pun dari kalian yang mendekat. Kemudian, salah seorang dari Antum datang meminta izin pergi mencari makanan. Selang 2 -3 menit, Antum kembali diam-diam dan perhatikan apa yang mereka berdua lakukan.” Demikian strategi yang kami rencanakan.

Para santri piket kemudian menjalankan skenario di atas, dan … astaghfirullahal adhim… para santri menyaksikan bagaimana mereka melakukan adegan cinta. Saya pun malu menceritakannya. “Pokoknya seru ustadz” ujar santri piket. Berhasil mendapatkan bukti, para santri piket bergegas lari ke pesantren untuk memberikan laporan. Ternyata, pada saat yang sama, si bule; musang berbulu ayam itu, lari kabur. Aneh…, katanya sakit, kok bisa kabur. Mungkin kroni-kroninya yang menyelamatkannya.

Dan inilah awal terkuaknya jaringan “musang-musang” yang bergentayangan di kota Solo, khususnya di pesantren Al Mukmin. Dengan sigap, kami segera memeriksa isi almari, buku-buku, diary, dan perabot-perabot lain milik di bule. Dugaan kami tidak salah. Kami menemukan banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama ini ia adalah infiltran yang tengah bertugas. Nampaknya si bule teledor, atau ini memang rencana Allah untuk menunjukkan kepada kami: ada dokumen-dokumen yang belum sempat dimusnahkan, seperti telegrap-telegrap dan lain-lain.

Kami juga segera memanggil si wanita untuk meminta keterangan. Dengan malu-malu, ia pun datang memenuhi panggilan. Maklum, habis tertangkap basah melakukan adegan cinta. Setelah kami minta menjelaskan silsilah keluarga, ternyata ia tidak fasih menjelaskannya. Kesimpulan kami, mereka berdua bukan keluarga apalagi muhrim. Kepadanya kami bertanya, apakah kalian sama-sama agen intelijen yang tengah menjalankan misi? Kontan ia menyatakan tidak. Untuk menyelamatkan dirinya, secara tidak sengaja ia mencatut nama seseorang yang kebetulan juga santri Ngruki sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan mata-mata. Kami kemudian memanggil santri tersebut. Dari keteranganya, kamu justru memperoleh banyak informasi seputar sepak-terjang si wanita, si bule, dan agen lain yang juga nyantri di Ngruki. Pengalaman mengajarkan kepada kita, “siapa yang mengorek isi perut saudaranya, sama halnya mengeluarkan isi perut sendiri.”

Akhirnya, terbongkarlah jaringan mereka selama ini.  Mereka semua kemudian kabur. Termasuk santriwati yang mengaku berasal dari Singapura dan memiliki perangai aneh-aneh. Kadang malam hari ia berteriak-teriak minta dinikahi oleh seorang ustadz. Kadang ia kabur ke sawah malam hari hingga terpakasa seorang ustadz yang berbadan kuat menggendongnya.Dua pekan setelah adegan cinta, seorang laki-laki tegap bersama istrinya datang ke pesantren. Ia mengaku sebagai keluarga si wanita. Saya menemuinya dan tidak menanggapi bualannya. Saya hanya mendengar sambil sedikit berbasa-basi. Si bule juga datang menemui saya untuk merehabilitasi nama baiknya. Ia menjelaskan bahwa sebagai  orang baik-baik yang tinggal di Solo, dan selama ini bersungguh-sungguh ingin menuntut ilmu, bukan menjadi mata-mata… Tapi penjelasan-penjelasan itu sudah tak berarti.

 @bangkir...

Sampai sini saja wan kawan... Nuwun.
Tunggu tanggal main nya... kisah2 ngruki undercover berikutnya...apecial dr ust. Bambang sukirno...😅

Tidak ada komentar:

Posting Komentar