Minggu, 27 April 2014

Sang C E O



Osama bin Laden diwartakan syahid. Andai ia kembali hidup, mungkin akan mendatangi Obama untuk mengucapkan ‘syukron’ atau ‘tengkiu’. Kesungguhan Obama, mengantarkan cita-cita Osama terwujud. Ia telah beroleh hakekat kebahagiaan yang selama ini ia buru. Nikmat hakiki dan bukan kepalsuan. Kalau soal dunia, nikmat duniawi apa yang tak dimiliki Osama? Fulusnya lebih banyak dari Bush. Bisnisnya lebih menggurita dari Hillary Clinton. Istrinya lebih banyak dan cantik-cantik dibanding istri Obama. Dalam bab dunia, individu-individu petinggi Amrik itu jelas sulit mengejar. Apalagi kelas Hamid Karzai, Zardari, Sidney John, dan abdi-dalem sejenis;  jelas bukan level Osama. Kemiskinan kadang membuat para penguasa, politisi, polisi, peneliti, menjadi abdi Amerika. Kefakiran kadang mengantarkan kepada kekufuran. Tak terkecuali, di negeri ini.


Bagi Osama, melimpahnya dunia bukanlah hakekat hidup. Tak ada kemuliaan yang sangat diharapkan mujahid kecuali kematian di ujung peluru. Kadang hal itu mengundang kecemburuan antar mujahid; ‘kok bukan saya?’ Dan kadang untuk bisa menggapainya, dilakukan wirid tiada henti. Tak jarang, keintiman yang dibangun dengan Rabb Semeta Alam membuat seorang mujahid beroleh isyarat eksklusif dari langit. Saat media ramai memberitakan rencana eksekusi terpidana mati di negeri ini, ada yang menyampaikan kepada mereka di penjara dan jawabnya, ‘bukan sekarang’.  Ternyata kalimat itu terbukti benar. Dan pada suatu hari, terpidana tersebut memberitahu adiknya bahwa agaknya ajalnya sudah dekat. “Saya bermimpi pergi, dibawa terbang tinggi oleh burung-burung ke angkasa.’ Tak lama, eksekusi terjadi.

Hampir semua mujahid siap untuk mati tapi tak semua mujahid siap untuk hidup. Bukankah banyak mujahid yang sukses di medan laga tapi gagal saat diuji panjang umur? Ada yang gila kuasa. Ada yang gila dunia. Ada yang jadi kawan polisi. Manusia dinilai dari khowatim atau penutupannya. Kematian Osama tentu tergolong telat dibanding kawan-kawannya. Itulah takdir. Selalu ada misteri Ilahi yang kadang tak terjangkau manusia. Bukankah ada hadits ihwal rajulul-maakits?; Sosok yang ‘ditunda’ syahidnya (bahkan mati biasa) karena Allah bermaksud meninggikan derajatnya dari yang lebih dulu syahid? Kita berharap demikian.

“Om, mana berita yang benar; osama syahid atau tidak?” bunyi SMS seorang kawan mensikapi simpang siur berita lelayu; termasuk sanggahan dari Thaliban Pakistan. “Yang benar; Allah tidak mati dan jihad tidak padam.” Jawab saya. Jadi tidak terlalu penting Osama syahid atau tidak bagi kesinambungan jihad karena memang tidak ada hubungannya. Jihad itu syariat dan Osama hanya salah satu pelakunya. Hilang satu tumbuh seribu. Sepanjang Amerika masih dhalim, akan selalu ada thaifah Islam yang melawan. Itu janji Allah. Sepanjang masih ada ideologi merebut tanah Islam seperti bumi Palestina, maka disitu pasti ada gejolak. Sayang, belum ada kemauan politik dari Obama untuk melihat akar masalah. Dan sayang, banyak penguasa negeri muslim tertipu. Mereka ternyata tidak serius memerangi terorisme, menegakkan keadilan, dan menciptakan kedamaian di dunia ini.

Tapi SMS kawan tadi merefleksikan betapa kematian Osama cukup pahit dirasa. Itu manusiawi. Kecintaaan Umar bin Khottob terhadap Rasululullah, membuat Umar seakan kehilangan obyektifitas. Sampai datang  Abu Bakar menyadarkan dalam ‘sabda’ yang popular: “Barangsiapa menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati. Dan barangsiapa menyembah Allah maka Allah hidup dan tidak pernah mati.” Hidup kadang unik. Melihat kebaikan orang, kita merasa tak ingin ditinggalkan. Tapi yang diharap punya harapan sebaliknya; siang dan malam ia bermunajat kepada Allah agar segera dipanggil dengan tubuh berlumuran darah. Ia punya dunia sendiri.

Dan Osama sangat sadar untuk tidak meletakkan jihad yang bergantung kepada figur melainkan sistem. Merugilah tandzim yang mengandalkan ketokohan figur. Sekuat-kuat figur personal, ia laksana sinar mentari di senja hari. Sedangkan ‘kekuatan sistem’ adalah laksana sinar mentari di pagi hari. Dan Osama telah meletakkan asas  penting dalam jihad modern. Tak salah, pemikir Barat menjulukinya Sang CEO Jihad. Sosok yang sejak lahir hidup di tengah perusahaan multi-nasional, tentu juga berjiwa multi-nasional. Seorang CEO, selalu memiliki semangat ekspansi, akuisisi, waralaba, dan sinergi... itu perilaku pebisnis di jagad ini.

Tapi bisnis Osama kali ini dengan Allah Taala. Bagaimana jika hal itu ia lakukan untuk ideologi jihad? Ekspansi membuat idenya melampaui ruang dan waktunya. Jika shahwah Islam di banyak negeri muslim memiliki fokus mereformasi penguasa lokal, maka fokus Osama adalah mereformasi penguasa interlokal atau SLI. ‘Akuisisi’ membuat orang disekelilingnya berasal dari ragam tandzim dan kebangsaan; melebur dalam satu wadah. Waralaba atau ‘franchise fikrah’ membuat banyak umat Islam yang tak pernah kenal menyambut seruannya. Sinergi atau tansiq membuat Taliban ikhlas menjadi anshar.

Inilah ‘bahaya’ yang paling dikhawatirkan oleh Amerika. Seorang Jendral AS yang bertugas di Afghanistan sampai terbelalak dan berkata, “Kami tidak menghadapi Thaliban. Ternyata Kami menghadapi networking.” Sang Jendral bahkan memprediksi Amerika akan kesulitan dan kalah. Ya.. tapi tak ada konsep yang sempurna di dunia ini. Sisi lemah ‘Franchise fikrah’ semacam ini akan melahirkan ‘desentralisasi tak terkendali.’ Dan itu sangat rawan akan adanya ‘operasi bendera palsu’; seolah operasi itu dilakukan bendera mujahidin padahal intelejen. Saya yakin Osama tak sebodoh itu dan pasti ada mekanisme kontra-nya. Untuk membedakan, saya sering menggunakan parameter, ‘Adakah operasi ini ada klaim atau pernyataan resmi dari Osama atau yang mewakili?’ Jika tidak, patut dicurigai ada intelejen bermain disini.

Pelajaran menarik justru dari negeri ini. Tiba-tida ada bom buku, bom Serpong, dan kejadian-kejadian menghebohkan lain. Tiba-tiba para petinggi menuduh ‘ini orang lama, pola lama’. Kemudian dinisbahkan kepada Osama sebagai ‘inspirator’. Ujung-ujung ujarannya, ‘Ini gara-gara kami tak punya payung hukum semacam ISA atau UU Subversif.’ Masyarakat menjadi terbelalak saat kemudian yang tertangkap bukan jaringan lama. Omongan petinggi negara ternyata keliru. Beruntung ini bukan negeri Jepang yang birokratnya punya tradisi mengundurkan diri jika salah statement. Aktifisis jihadis juga bingung karena tak mengerti asal usul yang tertangkap. Saat masyarakat yang semakin cerdas ini kebingungan, tiba-tiba banyak adegan menarik di negeri ini; Mantan ketua BIN habis-habisan membela NII Az-Zaitun (Loh.. ini Negara Islam Indonesia atau Negara Intelejen Indonesia?). Publik juga akhirnya mengerti bahwa salah satu istri pelaku bom Serpong bekerja di BNN pimpinan orang yang ngetop di D-88. Jadi? Ya Rabb.. Selamatkan umat Islam Indonesia dari konspirasi orang-orang nakal.
( Ust. Bambang Sukirno)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar