Sabtu, 07 Juli 2012

EVALUASI MATERI AL WALA’ WAL BARO’

1. Jelaskan kedudukan al wala’ wal baro’ dalam islam !
Jawab  :
Kedudukan al-wala' wal  bara' dalam Islam sangatlah tinggi, karena ia merupakan bagian terpenting dari makna kalimat syahadat Laa Ilaaha Illalloh. Maka ungkapan ‘tiada Ilah’ dalam syahadat ‘tiada Ilah selain Alloh’ berarti melepaskan diri dari semua sesembahan selain Alloh.
Alloh berfirman :

“Sungguh kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rosul (yang menyerukan):’Sembahlah Alloh dan jauhilah thoghut’. (Q.S An-Nahl [16] : 16)
“Dan Kami tidak mengutus rosul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian ! (Q.S Al-Anbiya’ [21] : 250)
Ketika menjelaskan agungnya kedudukan masalah ini dalam keimanan dan tauhid, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Tidak akan lurus (benar) keislaman seseorang, meskipun dia telah mentauhidkan Allah dan menjauhi (perbuatan) syirik, kecuali dengan memusuhi orang-orang yang berbuat syirik dan menyatakan kepada mereka kebencian dan permusuhan tersebut.” [Kitab Ad-Durarus Saniyyah, (8/331)]
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika keimanan dan kecintaan di dalam hati seorang (muslim) kuat, maka hal itu menuntut dia untuk membenci musuh-musuh Allah.” [Kitab Majmu’ul Fataawa, (7/522)]

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah lebih lanjut menjelaskan, “Sikap loyal dan cinta terhadap orang-orang yang menentang Allah menunjukkan lemahnya keimanan dalam hati seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, karena tidaklah masuk akal jika seseorang mencintai sesuatu yang dimusuhi kekasihnya (Allah Subhanahu wa Ta’ala). Bersikap loyal terhadap orang-orang kafir adalah dengan menolong dan membantu mereka dalam kekafiran dan kesesatan yang mereka lakukan, sedangkan mencintai mereka adalah dengan melakukan sebab-sebab yang menimbulkan kecintaan mereka, yaitu berusaha mencari kecintaan (simpati) mereka dengan berbagai cara. Tidak diragukan lagi perbuatan ini akan menghilangkan kesempurnaan iman atau keseluruhannya. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk membenci dan memusuhi orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang tersebut adalah kerabat terdekatnya, akan tetapi ini tidak menghalangi kita untuk menasehati dan mendakwahi orang tersebut kepada kebenaran.” [Syarhu tsalaatsatil ushul (hal. 36)]

Selain itu aqidah al wala’ wal baro’ merupakan tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam : "Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Abi Syaibah, dan Ahmad, Hadist Hasan)

Adapun kedudukan penting aqidah al wala’ wal baro’ lainnya adalah :
a. Al wala’ wal baro’ merupakan sebab utama yang menyebabkan hati bisa merasakan manisnya iman. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam : “Ada tiga perkara yang jika seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Alloh dan Rosul-Nya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Alloh, dan hendaklah ia benci kepada kekufuran setelah Alloh menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhori dan Muslim)
b. Al wala’ wal baro’ merupakan tali pemersatu yang menjadi pondasi tegaknya bangunan masyarakat islam. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Cintailah bagi saudaramu sesuatu yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadist lain disebutkan, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sebdiri.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Adanya pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Alloh, Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dalam hadits tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Alloh pada hari kiamat diantaranya ‘…dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Alloh, bertemu dan berpisah karena Alloh…’ (HR. Bukhori dan Muslim)
c. Adanya perintah syari’at untuk mendahulukan hubungan ini dari pada hubungan lainnya. Sebagaimana firman Alloh dalam Q.S At-Taubah [9] : 24
“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, sanak keluarga, harta yang telah kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat tinggal yang kamu sukai, itu semua lebih kamu cintai dari pada Allh dan rosul-Nya serta melaksanakan jihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan urusan-Nya (adab-Nya) ! Dan Alloh sekali-kali tidak akan menunjuki orang-orang fasik ”
d. Denagn menerapkan aqidah al wala’ wal baro’, umat islam akan memperoleh walayatulloh (kedekatan, kecintaan, perlindungan dan perwalian dari Alloh), sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata, “Barangsiapa yang mencintai karena Alloh dan membenci karena Alloh, nerkawan karena Alloh dan memusuhi karena Alloh, maka sesungguhnya ia hanya akan mendapatkan walayatulloh ( perwalian dari Alloh) dengan hal itu seorang hamba sekali-kali tidak akan merasakan lezatnya iman, sekali pun ia banyak melakukan sholat dan shoum, sehingga ia melakukan hal itu (wala’ wal baro’).” (HR Ibnu Jarir dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazi)
e. Aqidah al wala' wal baro' merupakan tali ikatan pertemanan yang kekal di antara manusia hingga hari kiamat. Alloh berfirman :
“Ketika orang-orang yang di ikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubngan di antara mereka terputus sama sekali.” (Al Baqoroh [2] : 166)
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Az Zukhruf [43] : 67)
f. Aqidah al wala' wal baro' merupakan syarat sahnya ucapan syahadat yang menyebabkan seseorang masuk islam. Karena salah satu konsekwensi dan syarat sahnya syahadat adalah mencintai kalimat syahadat, mencintai orang yang mengucapkan dan mengamalkannya, menyeru kepadanya dan membenci orang-orang yang tidak mengucapkan dan tidak mengamalkannya. Alloh berfirman :
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (Q.S Al Baqoroh [2] : 165). Juga firman Alloh dalam Q. S Al Maidah [5] : 54.
g. rang yang mencintai sekutu selain Alloh beserta agama-Nya dan membenci Alloh beserta agama-Nya serta penganutnya adalah kafir. Firman Alloh : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bai sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Q.S Al Maidah [5] : 51)
h. Iman tidak akan lurus dan sah bila tidak disertai wala’ kepada Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang mukmin, dan baro’ dari segala sesuatu yang di ibadahi selain Alloh (arbab, alihah, andad, dan thaghut), orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan murtad. Alloh berfirman : “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. ” (Q.S Al Baqoroh [2] : 256)
i. Al wala' wal baro' merupakan penyempurna keimanan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa yang mencintai karena Alloh dan membenci karena Alloh, memberi karena Alloh dan mencegah (pemberian) karena Alloh, maka sungguh ia telah menyempurnakan iman.” (HR Ahmad dan Tirmidzi, Hadits Hasan)

Sumber :
Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani. 2009. Mizanul Muslim. Surakarta: Cordova Mediatama. Hal 541-544
http://www.alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=806&idjudul=1 

2. Jelaskan Mudahanah dan mudaroh ; Apa kaitannya dengan al wala’ wal baro’!
Jawab:

Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Kaitan mudahanah dengan al-wala'wal bara' tampak dari arti dan definisi yang kita paparkan tersebut, yaitu meninggalkan pengingkaran terhadap orang-orang yang bermaksiat padahal ia mampu melaksanakannya. Bahkan sebaliknya ia menyerah kepada mereka dan berpura-pura baik kepada mereka. Hal ini berarti meninggalkan cinta karena Allah dan permusuhan karena Allah. Bahkan ia semakin memberikan dorongan kepada para pendurhaka dan perusak. Maka orang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik)." (Q. S Al-Ma'idah [5] : 78-80)
Adapun Mudarah adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.  Dalam sebuah hadits disebutkan: "Sejahat-jahat kamu adalah orang-orang yang ditakuti manusia karena mereka khawatir akan kejahatannya." (HR. Ibnu Abu Dunya dengan redaksi senada)

Mudarah terhadap al-wala’ wal bara’:
Dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha bahwasanya seorang laki-laki meminta izin masuk menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam, seraya berkata, "Dia saudara yang jelek dalam keluarga". Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam beliau berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut. Maka Aisyah berkata, "Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan". Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, 'Sesungguhnya Allah membenci 'fuhsy' (ucapan keji) dan 'tafahuhusy' (berbuat keji)." (HR. Ahmad dalam Musnad). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,  padahal orang itu jahat, karena beliau menginginkan kemaslahatan agama.
Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al wala' wal bara', kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memeperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdakwah kepada Alloh. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.

Sumber:
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan. 2001. Kitab Tauhid 1. Yogyakarta: UII. Hal 146-148
 

3. Jelaskan hukum berwala’ kepada ahli maksiat dan hukum bermusuhan dengan mereka!
Jawab:

Orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad. Bagaimana hukumnya pemberian wala' dalam hal ini (kepada ahli maksiat) ?
Jawabannya adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala') dan mu'adah (dimusuhi). Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemung-karan dan mengucilkannya bilamana pengucilan itu memang membu-atnya jera dan malu.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid'ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka berkumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemuliaan dan mengharuskan penghinaan. Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya karena mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang bisa mencukupinya. Inilah hukum asal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, berbeda dengan Khawarij, Mu'tazilah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala saja atau mendapat siksa saja." [Lihat Majmu’ Fatawa, 28/209-210]
Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.

4. Jelaskan hukum meminta bantuan kepada orang kafir dalam hal bisnis/pekerjaan dan peperangan !
Jawab:

a. Meminta bantuan orang kafir dalam suatu pekerjaan
Alloh berfirman:      
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi…" (Q.S: Ali Imran [3] : 118 )
Al-Baghawi rahimahullah berkata," Maksud firman Allah:
"janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu".
Yaitu: mengangkat orang diluar agamamu untuk menjadi orang kepercayaanmu, kemudian Allah menjelaskan alasan larangan mengangkat orang tersebut untuk menjadi orang kepercayaan dengan firman-Nya:
"mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu".
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata," Para ahli tahu benar bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan Munafik yang hidup di bawah naungan daulah islam (ahli dzimmah) selalu menyampaikan berita dan rahasia umat islam kepada kaumnya yang berada diluar daulah islam, seperti yang diungkapkan oleh sebuah bait syair yang masyhur: Setiap permusuhan, dapat diharapkan bersemainya rasa cinta, Kecuali permusuhan yang dikarenakan beda agama
Karena alasan diatas dan alasan lainnya, umat islam dilarang mengangkat orang kafir untuk menduduki suatu jabatan yang berhubungan langsung dengan hajat umat islam, sesungguhnya mengangkat orang islam yang kemampuannya berada di bawah orang kafir untuk menduduki suatu jabatan lebih bermanfaat untuk umat islam itu sendiri, baik ditinjau dari sudut agama maupun dunia, sedikit, tetapi halal lebih diberkahi daripada banyak tetapi haram, karena Allah mencabut keberkahan dari sesuatu yang haram." [Lihat Majmu` Fatawa, jilid: 28, hal: 646]

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa:
1) Tidak dibolehkan mengangkat orang kafir untuk menduduki suatu jabatan yang berhubungan langsung dengan hajat dan rahasia umat islam, seperti; jabatan menteri, penasehat kepala Negara atau pegawai di sebuah instansi pemerintahan Islam. Allah berfirman: "…janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu…"
2) Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dibidang yang tidak penting (sampingan), yang tidak membahayakan kebijakan daulah islam, seperti; pemandu jalan, perbaikan jalan dan pembangunan gedung, dengan syarat bahwa tidak ada orang islam yang layak melakukan pekerjaan tersebut. Karena sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dan Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang musyrik dari bani Ad-Diil sebagai pemandu jalan mereka di saat melakukan hijrah ke Madinah. (HR Bukhori)

b.   Meminta bantuan orang kafir dalam peperangan.
 Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, pendapat yang kuat mengatakan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan bila dibutuhkan, dengan syarat orang kafir yang diminta bantuan tersebut dapat dipercaya.
Ibnu Al Qayyim berkata, "Diantara pelajaran yang dapat diambil dari perjanjian Hudaibiyah; boleh meminta bantuan orang musyrik yang dapat dipercaya dalam jihad, jika benar-benar diperlukan, gunanya; orang ini bisa dimanfaatkan sebagai mata-mata untuk mencuri berita dari musuh tanpa ada kecurigaan dan pada orang (musyrik) itu juga terdapat maslahah yaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur dengan musuh dan dapat mengambil kabar dan rahasia mereka." [Zadul Ma’ad, 3/301, Tahqiq Syu’aib Dan Abdul Qodir Arna’uth]
Juga dibolehkan dalam keadaan darurat, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Imam Zuhri bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam meminta bantuan orang-orang Yahudi pada perang Khaibar di tahun ketujuh Hijriyah, Shafwan bin Umaiyah ikut dalam perang Hunain, di saat itu ia belum masuk islam, contoh darurat; jumlah orang kafir jauh lebih banyak dan dengan perlengkapan yang menakutkan, dengan syarat, orang kafir tersebut benar-benar berpihak kepada umat islam. Adapun bila tidak dibutuhkan, maka tidak boleh meminta bantuan mereka, karena bagaimanapun juga orang kafir tetap memendam makar dan kejahatan, karena busuknya hati mereka. Tapi yang tampak dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta pertolongan kepada mereka secara mutlak. [Lihat Majmu’ Fatawa 28/624-643]

Sumber :
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan. 2001. Kitab Tauhid 1. Yogyakarta: UII. Hal 157-159
http://almanhaj.or.id/content/1824/slash/0  
5. Jelaskan hukum mengucapkan selamat hari raya dan takziyah kepada orang kafir !
Jawab:

a. Hukum mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir

1) Fatwa Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.
“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?
Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:
“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.” Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.
Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya ;
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”
Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam; “Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85).
Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.
Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com)
2) Penjelasan syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni'ah) atau ucapan bela-sungkawa (ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.
Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata, "Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata, "Semoga Allah memuliakanmu".
Kecuali jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam", atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni'ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni'ah dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari raya Natal" umpamanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib; bah-kan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau yang sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid'ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan laknatNya. [Ahkam Ahli Dzimmah, tahqiq Dr. Subhi Shaleh, 1/205-206]
Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni'ah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.

b. Hukum bertakziyah kepada orang kafir

1) Fatwa Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin
Syaikh al Utsaimin rahimahullah berkata, “Berta’ziyah kepada orang kafir, apabila dia mati padahal dia memiliki kerabat atau teman yang dapat khilaf antara para ulama: Di antara ulama ada yang mengatakan: Ta’ziyah kepadanya (orang kafir) hukumnya adalah haram. Sebagian yang lain mengatakan: Hal itu boleh. Sebagian lagi ada yang merinci masalah ini dengan mengatakan: Apabila ada mashlahatnya – seperti diharapkan akan masuk Islam dan menahan kejahatannya yang tidak mungkin kecuali dengan berta’ziyah kepadanya, maka hal itu dibolehkan. Apabila tidak demikian, maka hukumnya haram.
Pendapat yang rojih (kuat) adalah apabila dipahami dengan taziyahnya itu bahwa ia (orang muslim itu) memuliakan orang kafir tersebut, maka haram. Dan apabila tidak demikian, maka dilihat mashlahatnya.” [Majmu’ Fatawa wa Rasa-il Syaikh al Utsaimin, jilid 2 hal.304, dikumpulkan oleh Fahd bin Nashir as Sulaiman]

2) Penjelasan Lajnah Da’imah
Ada orang yang bertanya dengan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah dibolehkan bagi seorang muslim untuk berta’ziyah kepada orang kafir apabila dia adalah bapaknya atau ibunya atau diantara kerabatnya, yang mana dia khawatir apabila mati dan dia tidak mendatangi mereka, maka mereka akan mengganggunya atau menyebabkan jauhnya dari Islam?”
Lajnah menjawab, “Apabila tujuan dari berta’ziyah itu adalah agar membuat mereka senang dengan Islam, maka hal itu dibolehkan, ini adalah diantara tujuan syariat ini. Demikian pula (dibolehkan berta’ziyah) apabila dengan ta’ziyah tersebut akan menolak gangguan mereka kepadanya atau dari kaum muslimin. Hal itu karena mudharat-mudharat yang juziyyah yang terdapat dalam mashalah-mashlahat islamiyyah yang umum dapat dimaafkan.” [Fatwa Lajnah Da’imah, jilid 9, hal.132]
Adapun ucapan yang ditujukan kepada orang kafir yang dita’ziyahi, sedangkan yang meninggal adalah muslim, maka contohnya adalah seperti mengatakan: “Tidaklah ada yang menimpamu melainkan kebaikan”. [Ahkam ahli Dzimmah, jilid I hal.439 dari perkataan al Hasan]
Sumber :
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan. 2001. Kitab Tauhid 1. Yogyakarta: UII. Hal 155-157
http://www.voa-islam.com/islamia/aqidah/2011/12/25/12415/hukum-mengucapkan-dan-menjawab-selamat-natal/
ibnuabbaskendari.wordpress.com
http://www.saaid.net/fatwa/f56.htm


6. Jelaskan hukum meniru ciri khas orang kafir !
Jawab:

Meniru kaum kuffar dalam hal-hal yang menjadi kekhasan mereka atau adat mereka adalah haram dan di ancam dengan ancaman yang keras, karena itu merupakan bentuk wala’ kepada mereka.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud , di shahihkan oleh Ibnu Hibban. Di shahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”(HR. At-Tirmizi no. 2695)
Oleh karena itu diharamkan menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh) dalam hal yang menjadi ciri khas mereka, baik berupa tradisi atau adat istiadat, ibadah, simbol dan akhlak mereka, seperti mencukur janggut, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka kecuali dalam keadaan terpaksa, demikian pula dengan mode mereka dalam berpakaian, makan, minum, dan lain sebagainya.
Dalil-Dalil Diharamkannya Tasyabbuh :

a.Dalil Umum.
1) Dalam Q. S Al-Hadid ayat 16, Allah  berfirman: “Dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan Al Kitab sebelumnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsipil) maupun yang hanya merupakan furu’ (perkara cabang)”. Tafsir Ibni Katsir (4/323-324)
2) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar r.a dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83 Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
3) Bahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu beliau berkata, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi, jika istri mereka haid, mereka tidak mau makan bersamanya dan mereka tidak berhubungan dengannya di dalam rumah. Maka para sahabat menanyakan masalah ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga turunlah ayat, ["Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah dia adalah kotoran (najis), maka jauhilah perempuan saat haid"] (QS. Al-Baqarah: 222) sampai akhir ayat. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lakukan semuanya dengan istrimu kecuali nikah (jima’)”. Berita turunnya ayat ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi, lalu mereka berkata, “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut“. (HR. Muslim : 1/169)
Syaikhul Islam berkata dalam Al-Iqtidha` hal. 62, “Hadits ini menunjukkan banyaknya perkara yang Allah syari’atkan kepada Nabi-Nya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi. Bahkan hadits ini menunjukkan bahwa beliau r telah menyelisihi mereka pada seluruh perkara mereka, sampai-sampai mereka berkata, “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut.”

b.Dalil Khusus
Di sini disebutkan beberapa perkara yang diharamkan karena merupakan tasyabbuh kepada orang-orang kafir atau kepada kaum musyrikin.
1. Larangan menjadikan kuburan sebagai masjid karena menyerupai ahli kitab. Dalam hadits Jundab bin Abdullah Al-Bajali radhiallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya saya melarang kalian dari hal tersebut”. (HR. Muslim no. 532)
2. Syari’at makan sahur untuk menyelisihi ahli kitab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pemisah (baca: pembeda) antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur”. (HR. Muslim no. 1096 dari sahabat Amr bin Al-Ash)
3. Disyari’atkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi kaum musyrikin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan dalam hadits Ibnu Umar : “Selisihilah orang-orang musyrikin: Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot”. (HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259) Lihat contoh-contoh lainnya dalam kitab Iqtidha` Ash-Shirathal Mustaqim hal. 56-70, Jilbab Al-Mar`atil Muslimah hal. 167-212, dan kitab Man Tasyabbaha bi Qaumin fa Huwa Minhum hal.36-56.

Berdasarkan seluruh dalil di atas dan selainnya, maka para ulama bersepakat akan haramnya tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan musyrikin. Setelah memaparkan banyak ayat, hadits, dan perkataan para ulama yang memerintahkan untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang untuk tasyabbuh kepada mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Berlandaskan dari semua yang telah kami sebutkan, diketahuilah ijma’ umat ini akan dibencinya tasyabbuh kepada ahli kitab dan orang-orang ajam (non Arab) secara umum”.
Maka semua dalil di atas menunjukkan bahwa perkara tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan musyrik bukanlah perkara yang ringan dan sepele. Bahkan menyelisihi mereka merupakan salah satu tiang dan pondasi tegaknya keislaman seseorang. Dan tidaklah seseorang muslim tasyabbuh kepada orang kafir kecuali akan hilang keislamannya disesuaikan dengan besar kecilnya tasyabbuh dia kepada orang kafir tersebut.

Kemudian keharamannya berbeda-beda menurut mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkannya serta dampak-dampak yang disebabkan olehnya. Adapun sikap menyerupai, meniru-niru, dan menyesuaikan diri dengan ciri khas orang-orang kafir mempunyai tiga keadaan :
a. Menyerupai dan menyesuaikan diri dengan ciri khas orang kafir secara lahir batin. Artinya secara batin (hati) ia mencintai, mendukung dan memihak orang-orang kafir. Dan secara lahir (ucapan dan perbuatan anggota badan) ia menaati, mendukung, dan melakukan hal-hal yang menjadi keinginan dan ciri khas orang-orang kafir. Menyerupai orang kafir secara lahir dan batin seperti ini, menurut kesepakatan seluruh ulama adalah kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari islam (murtad), walaupun ia melakukannya secara terpaksa. Karena hati adalah asal pokok keimanan yang tidak menerima paksaan, dan paksaan itu hanya berlaku untuk ucapan dan perbuatan. Dalilnya adalah firman Alloh dalam Q. S An Nahl [16] : 106.
b. Menyerupai dan menyesuaikan diri dengan ciri khas orang kafir secara batin semata, tidak secara lahir. Misalnya seorang muslim yang secara lahiriah melaksanakan sholat dan ajaran-ajaran islam, namun hatinya mencintai, menghormati, dan menganggap benar agama orang-orang kafir (yahudi, nasrani, hindu, budha, dll), atau pedoman hidup orang kafir (demokrasi, sekulerisme, kapitalisme, nasionalisme, sosialisme, materialisme, dll). Menurut kesepakatan ulama, muslim yang seperti ini juga telah murtad ala munafik, yaitu secara batin telah kafir namun secara lahir tetap diakui dan diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap umat islam lainnya.
c. Menyerupai dan menyesuaikan diri dengan ciri khas orang kafir secara lahir, namun secara batin (hati) menyelisihi mereka. Hal ini mempunyai tiga kemungkinan :
1) Ia berada dalam kekuasaan dan cengkeraman orang kafir. Ia ditangkap, disiksa, dan dipaksa untuk mengucapkan ucapan kufur atau melakukan perbuatan kufur. Bila tidak mau mentaati kemauan orang kafir tersebut, maka ia akan dibunuh, diciderai, atau dibuat cacat. Dalam kondisi seperti ini, seorang muslin boleh menyesuaikan diri dengan kemauan orang kafir tersebut secara lisan dan perbuatan anggota badan, namun hatinya hrus tetap bertahan dalam keimanannya. Dalilnya firman Alloh dalam Q.S An Nahl [16] : 106 dan Q. S Al Imron [3] : 28
2) Ia menyerupai dan menyesuaikan diri dengan ucapan kufur dan perbuatan kufur orang-orang kafir dalam keadaan bebas merdeka, tidak dalam cengkeraman, siksaan, dan paksaan orang-orang kafir. Tujuannya adalah untuk meraih keuntungan duniawi, seperti: pengakuan kedaulatan, bantuan ekonomi, bantuan militer, dukungan politis, jabatan, kekayaan, dan nama baik, dll. Contohnya adalah menerapkan pedoman hidup orang kafir (demokrasi, dll). Menurut pendapat mayoritas ulama---sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa ini telah ijma’--- tindakan ini menyebabkan pelakunya kafir dan keluar dari islam (murtad). Pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat dan sesuai dengan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Perhatikan Q. S An Nahl [16] : 107, Al A’rof [7] : 175-176, An Nisa’[4] : 138-139 dan Al Maidah [5] : 52-53.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore harisudah menjadi kafir, dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan sekeping dunia.” (HR Muslim no 169, Tirmidzi no 2121, dan Ahmad no 7687)
3) Ia menyerupai dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan perilaku sehari-hari orang kafir yang berupa kemaksiatan atau hal yang sebenarnya halal namun menjadi ciri khas mereka. Misalnya ikut-ikutan merayakan pesta ulan tahun, dansa dengan lawan jenis bukan mahrom, memakai pakaian-pakaian yang mengikuti trend perancang mode barat, dll. Tindakan ini nilainya maksiat dan berdosa, namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari islam.

Sumber :
Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani. 2009. Mizanul Muslim. Surakarta: Cordova Mediatama. Hal 565-568
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan. 2001. Kitab Tauhid 1. Yogyakarta: UII. Hal 161-164
http://al-atsariyyah.com/seputar-tasyabbuh-penyerupaan-terhadap-non-muslim.html


7. Sebutkan beberapa hal yang tidak berguna yang digeluti orang kafir dan harus dihindari oleh orang muslim!
Jawab:

Di antara hal-hal yang tidak berguna yang digeluti orang kafir dan harus dihindari oleh orang muslim adalah sebagai berikut:
a.  Apa yang mereka sebut sebagai dunia seni; seni suara, seni musik, seni tari, seni drama, dunia pentas dan panggung serta gedung-gedung bioskop yang banyak didatangi oleh orang-orang yang bingung, jauh dari jalan kebenaran dan jalan yang serius dalam kehidupan.
b.  Menggeluti dunia gambar, fotografi, lukisan dan pembuatan patung-patung dan lain sebagainya yang mereka sebut-sebut sebagai seni yang indah.
c. Banyak di antara pemuda yang hidupnya mati-matian demi menggeluti beberapa cabang olah raga, sampai ia lupa kepada Allah, lupa ketaatan, menelantarkan shalat dan lupa kewajiban-kewajiban lain dalam rumah maupun sekolah. Semestinya yang lebih pantas bagi mereka adalah mengarahkan perhatian pada apa yang baik bagi umat dan tanah airnya serta berjuang untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Di antara hal-hal tersebut di atas ada yang diharamkan dalam agama, ada pula yang dibolehkan sebatas tidak mengalahkan apa yang lebih bermanfaat daripadanya. Apalagi umat Islam dewasa ini sedang menghadapi berbagai macam tantangan dari para musuhnya. Tentu yang lebih utama adalah menghemat waktu dan kekuatan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, untuk memadamkan atau memperkecil pengaruh dan bahayanya. Orang-orang Islam sebenarnya tidak mempunyai waktu luang untuk bersantai-ria dengan segala macam hiburan itu. Dan Alloh-lah tempat kita meminta pertolongan.

Sumber:
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan. 2001. Kitab Tauhid 1. Yogyakarta: UII. Hal 165-166

1 komentar: