Minggu, 25 Februari 2018

Cinta yang Tak Kunjung Datang



Belum setahun yang lalu wajahnya cerah, mengulurkan undangan pernikahan dan berkata lirih, "Saya akan memperoleh separuh agama. Doakan agar ridha Allah singgah ke rumah tangga kami."  Saya mengangguk pelan. Hati terasa bergemuruh dan haru.


Pagi itu dia datang. Mukanya keruh membuat saya heran. Dia berkata,"Saya ingin menceraikan istri saya", ujarnya dingin, tanpa ekapresi. Saya terkejut luar biasa. Bak petir menyambar.


Saya tatap wajahnya. Matanya serius dan nada suaranya terdengar tanpa ragu. Dia melanjutkan, "Sebelas bulan menikah, saya baru menyadari sebuah kenyataan. Saya tidak mencintainya. Dan saya tak sanggup melanjutkan lagi."


Mengapa romantisme dalam rumah tangga tidak hadir? Pasangan hidup kita saat ini bukanlah 'dia' yang hadir dalam memori remaja kita dulu. Disaat kita menyadari bahwa pasangan kita yang sekarang ini berbeda dengan apa yang dibayangkan, maka akan muncul perasaan sedih dan kecewa. Kemudian membuat kita tertekan.


Kondisi ini bisa disebabkan oleh paksaan keluarga, kurang mengenal calon pendamping yang baik, dan bergesernya pemahaman tentang arti berkeluarga, serta sebab lain yang muncul ditengah perjalanan.


Kalau Anda termasuk yang mengalami hal ini, maka Anda tidak sendiri. Banyak orang yang mengalami hal serupa. Suatu hal yang sangat alami dan sering terjadi. Tidak bisa didramatisir. Sebab, mencintai adalah sensivitas hati yang sangat relatif dan subyektif yang tidak dapat dipaksakan.


Jika Anda memulai pernikahan secara Islami, tidak berpacaran lebih dulu, peluang terjadinya hal seperti ini sangat besar, meski tidak selalu. Yang jelas, Anda sedang diuji. Penyelesaiannya bukan terletak pada berapa banyak orang yang mendengar kisah sedih Anda. Atau seberapa cepat Anda memutuskan untuk bercerai. Tetapi, pada bagaimana kedewasaan Anda menyikapi kondisi ini.


Mengumbar cerita, menunjukkan kualitas Anda selerti kanak-kanak. Hal tersebut juga termasuk menyebarkan aib keluarga dan menyakiti hati pasangan.


Terlalu cepat memutuskan untuk bercerai. Menunjukkan egoisme Anda dan bukan pilihan cerdas. Karena Anak-anak akan menjadi korban. Juga belum tentu akan mendapatkan yang lebih baik jika kemudian menikah lagi. Betapa banyak orang menyesali perceraian mereka yang ternyata hanya berasal dari kondisi jiwa yang tergesa-gesa tanpa pertimbangan matang.


Ketika memutuskan menikah, harusnya kita sudah memahami tujuan pernikahan yang benar. Pemahaman ini yang akan menjauhkan dari kesempitan berpikir dan menuruti kata hati serta mengabaikan pasangan. Maksudnya, jika tidak puas dengannya, bisa jadi ia juga tidak puas dengan kita dan bukan pasangan yang diharapkannya.


DR. Leo Wallman, analis kejiwaan melaporkan penelitiannya bahwa empat dari lima wanita tidak kau menikah lagi dengan suami mereka yang sekarang jika masih diberi kesempatan untuk memilih. Nah!


Bisa jadi, rasa kecewa dan tertekan yang mereka alami lebih berat dari kita. Bukankah para istri harus menaati perintah suaminya yang bisa jadi ia tidak dicintainya? Tetapi mereka bisa menyembunyikan perasaan dan tetap menunaikan kewajiban dengan baik. Harusnya  sadar bahwa posisi mereka juga sama dengan kita. Sehingga akan membuat kita lebih sabar dan bijak.


Bisa juga mendasarkan rumah tangga pada pemenuhan tugas ibadah. Dan berdoa agar Allah menumbuhkan cinta pada pasangan kita. Jika belum hadir rasa itu, semoga cinta kita kepada Allah yang akan menjadi motivasi untuk berlaku baik kepada pasangan.


Ketika ada seorang bapak bertanya kepada Al-Hasan bin Ali, "Saya mempunyai anak gadis. Menurut anda, dengan siapa saya harus menikahkanya?"  Al-Hasan menjawab, "Nikahkanlah dengan lelaki yang bertakwa kepada Allah. Jika mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika tidak mencintainya, dia tidak akan mendhaliminya."


Inilah bashirah. Ketakwaan seseorang akan mampu membuatnya berlaku adil dan tidak dhalim. Sebuah cermin besar untuk berkaca diri, seberapa takwa yang telah kita miliki. Jika cinta itu tidak datang juga, maka ketakwaan kitalah yang akan membawa kepada kesabaran, menambah tawakal dan mengharap pahala akhirat. Keridhaan atas hal ini, bisa jadi akan menjadi sebab untuk memperoleh pahala yang besar di sisi Allah Ta'ala.
Semoga!




Sumber:
Asmoro, Tri. 2011. Amanah di Pundak Ayah. Solo: Arafah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar