Selasa, 20 Februari 2018

Penuntut Ilmu Kelas Elite (Bag. 2)



Lalu sang guru teringat kenangan indahnya semasa mencari ilmu dan bercerita:

"Wahai anakku (menyapa muridnya)! Dulu aku juga berpergian sepertimu. Demi menyimak hadits dari Kitab As Shahih. Berjalan kaki barsama ayahku dari kota Herat menuju Dawoudi di Busang, sedang umurku belum genap 10 tahun".


Dan kebiasaan ayahku, selalu membekaliku dua bongkahan batu dan berpesan agar aku senantiasa membawanya. Ayah adalah orang yg aku segani maka aku bersungguh-sungguh menggenggam keduanya selama perjalanan.


Ketika ia tahu bahwa kondisi jalanku mulai sempoyongan, ia menyuruhku agar membuang satu batu sehingga bebanku berkurang. Tiap kali aku terlihat letih. Beliau selalu bertanya, 'Kamu sudah merasa capek?' Dengan segan aku katakan, 'Belum'. Lantas beliau menimpali, '(jika belum), kenapa jalanmu melambat?'.


Sampai beberapa jam setelah berjalan, aku merasa benar-benar capek dan tidak kuasa lagi meneruskan. Ayahku mengetahui hal itu. Beliau pun segera mengambil batu yang tersisa dalam genggamanku dan membuangnya.


Ini pembuktian dariku, aku paksakan diri agar tetap melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya aku sampai pada titik nadir dari kekuatanku. Tubuhku tak lagi berkutik saking capeknya, hampir-hampir  tersungkur pingsan. Karena belum sampai di tempat tujuan, Ayahku rela  memanggulku di atas pundaknya dan melanjutkan perjalanan yang tersisa.


Kemudian kami berjumpa dengan sejumlah pekebun. Mereka merasa iba terhadap kami dan menawarkan bantuan, 'Wahai Syaikh Isa, bawa kemari anak Anda! Kami akan mengantarkannya dengan tunggangan kami'.


Ayahku pun menyanggah mereka, 'Hanya Allah tempat kami berlindung. Tidak mungkin kami memilih berkendaraan tatkala mencari hadits. Kami memang harus berjalan kaki'.


Demikian itu kami lakukan karena besarnya penghormatan kami terhadap hadits-hadits Rasulullah dan harapan kami terahadap pahala yg melimpah." (Siyar A'lam An Nubala' 20/307-308)


Saudaraku, Itulah perjuangan mereka dalam menuntut ilmu. Lalu mana perjuanganmu? Mereka memilih berjalan kaki bukan karena terpaksa. Tetapi karena memang itu yang mereka pilih. Bahkan sampai menolak tawaran tunggangan.


Adapun kita hari ini berjalan karana faktor keadaan terpaksa karena tidak ada pilihan lain.


Saudaraku, mungkin inilah jawaban dari pertanyaan, "Kenapa seseorang lebih memilih tidak berangkat kajian ketika tidak ada kendaraan, sekalipun dekat?". Ya, karena surutnya kesungguhan dan pasangnya kemalasan.
Allahul musta'an wa 'alaihi tuklan



*Fachrurozi. Kampus LIPIA, Jakarta Selatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar