Selasa, 20 Februari 2018

Penuntut Ilmu Kelas Elite (Bag. 1)



Hari ini kesungguhan penuntut ilmu terancam punah. Seringkali kita dengar gumaman berikut,

"Kondisi Langit gelap ni, sepertinya akan hujan, jadi berangkat ngaji tidak ya?"

"Wah hujan rintik-rintik (senyum bahagia), semoga kajian diliburkan"

"Yah, malah gak jadi hujan (melipat muka)"

"Hari ini panas sekali, belum jalan macet, ragu mau berngkat kajian"

"Sebenarnya jalan kaki  sampai, jaraknya gak jauh kok. Cuma ngajinya  mending minggu depan aja dah, nunggu motor selesai diservis"


Sepertinya menghadiri majelis ta'lim memang sesuatu yang berat. Bayangkan, kendala sepele seperti di atas saja mampu mengkandaskan niat bertholabul ilmi. Padahal sekedar menghadiri kajian rutin, tapi pertimbangannya tak terhitung.


Elite sekali!
Harus menemukan kondisi yang nyaman dulu baru berangkat ngaji. Sepertinya kita butuh membuka mata, agar dapat melihat kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Bagaimana mereka menerjang badai kebodohan dan menaklukkan jarak yang jauh dengan berjalan kaki.


Yusuf bin Ahmad As Syairoziy dalam kitabnya "Arba'in Al Buldan", berkisah tentang sepak terjang pencari ilmu yang sesungguhnya.

(Dahulu) Ketika aku sedang dalam perjalanan mencari guru, tujuan pertamaku adalah mengembara. Namun (sepertinya) zaman enggan melihat perjalananku sia-sia. Hingga Allah takdirkan diriku bertemu dengan orang alim di kota Kerman. Sehingga berubahlah haluan niatku.


(Diawal pertemuan itu) aku ucapankan salam kepadanya terlebih dahulu, mencium keningnya lalu duduk di hadapannya. Spontan Ia menanyaiku: "Apa gerangan yg membuatmu singgah di kota ini?"


Aku pun menjawab: "Maksud kedatanganku adalah pertemuanmu, aku ingin menjadi muridmu. Ini, aku bawa catat kecilku siap berguru kepadamu. Dan aku menyengaja sampai di tempat ini dengan berjalan kaki supaya bisa meraih keberkahan ilmumu dan sanadmu yang tinggi".


"Semoga Allah memberimu dan juga kepada kami taufik-Nya. Menjadikan tujuan dan jalan yang kita tempuh ikhlas karena-Nya. Kiranya kau tahu diriku sebenarnya, niscaya kau tidak akan sudi menghadiahkan untukku ucapan salam dan duduk seperti ini". Sahut sang guru merendah.


Kemudian ia menangis terisak-isak membuat orang-orang di sekitarnya ikut menguraikan air mata. Dan berdoa: "Ya Allah Tutuplah aib-aib kami dengan kain penutup terbaik, dan anugrahi kami petunjuk menuju ridhaMu".
Lalu sang guru teringat kenangan indahnya semasa mencari ilmu dan bercerita:


Bersambung...



*Fachrurozi. Kampus LIPIA, Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar